Hampir semua orang yang mengikuti Pemilihan Presiden Amerika Serikat dibuat terhenyak dan terkejut. Nama yang semula dianggap hanya sebagai kandidat gareng-garengan, kini menjadi frontrunner bacapres Partai Republik. Ya, dia adalah Donald Trump.
Entah muncul dari mana, mendadak banyak suara muncul memilih Trump. Banyak pengamat yang mengatakan, bahwa dirinya bakal menjadi calon dari GOP (grand old party, sebutan lain Partai Republik) untuk maju menantang calon Demokrat yang diprediksi akan dipegang oleh Hillary Clinton.
Dianggap sebagai calon dagelan, bertingkah kasar, berwatak bigot (dengan rencana menolak muslim masuk AS, dan membangun tembok perbatasan dengan Mexico), bersifat punitive (rencana akan membunuh keluarga para teroris dan meyakini penyiksaan tersangka itu efektif), hingga menjadi calon yang diperhitungkan. Sampai-sampai dengan pongah dia berkata:
“Aku bisa berdiri di 5th Avenue, dan menembak mati seorang pejalan kaki tanpa kehilangan elektabilitasku”.
Sangar dan pongah sekali. Pertanyaannya: bagaimana mungkin seperti itu?
Yang pertama harus diingat adalah realita politik berbeda dengan nalar sehat manusia. Persoalan pemilu selalu adalah orang-orang yang mau pergi memilih ke TPS, apa pun motivasi yang menggerakkannya. Bukan orang-orang yang menempuh jalur ‘golput’.
Itulah makanya kenapa ada banyak calon yang sebenarnya jauh lebih bagus, tumbang oleh lawan yang kualitasnya lebih buruk. Siapa terpilih adalah orang yang mendulang suara terbanyak dari orang yang datang ke TPS, bukan yang terbaik kualitasnya.
Yang kedua, adalah menguatnya basis konstituen yang selama ini luput dihitung. Yakni, massa yang otoriter. Otoriter? Ya, tentu saja yang saya maksud bukan diktator fasis, melainkan massa dengan kondisi psikologis yang otoriter.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa gejala ini sudah ada sejak 2009 lalu. Ketika itu, sejumlah ilmuwan politik di sana menyebutkan bahwa pilihan politik masyarakat AS tidak hanya ditentukan variabel-variabel yang biasa dilihat, seperti kondisi geopolitik, preferensi parpol, atau pun money politics. Yang akan terus menguat justru basis konstituen dengan kecenderungan otoriter dalam dirinya.
Ada banyak ciri-cirinya, tapi yang paling utama adalah mendambakan keteraturan dan sangat takut terhadap kaum liyan. Mereka ingin penyelesaian sederhana, mendambakan pemimpin tegas yang sanggup menghukum kaum yang berbeda untuk mereka. Dan Donald Trump representasi hal tersebut.
He’s real, penyelesaiannya simple (tendang saja semua muslim dari AS dan bangun tembok), dan punitive.
Sebuah survey yang dilansir PPP (bukan parpol Indonesia ya, tapi Public Policy Polling) menyebutkan 2/3 di antara pemilih Trump menghendaki untuk mengusir semua kaum LGBT dari tanah Amerika (ehem.. ehem.. fenomena ini kok rasanya tidak asing, ya. Jangan-jangan banyak pendukung Trump di Indonesia). Bahkan, yang lebih tak masuk akalnya, 20% di antara mereka menyesalkan kenapa dulu Abraham Lincoln menghapus perbudakan.
Tentu saja ini mengkhawatirkan dunia jika kandidat yang didaku Fadli Zon sebagai sahabat itu benar-benar jadi. JK Rowling pun menyebutnya lebih buruk dari Voldermort. Bahkan figur sentral Partai Republik sendiri, Mitt Romney, turut terang-terangan menyebut Trump sebagai bencana dan membuat dunia less safe.
Majalah Economist juga sampai memajang Trump sebagai sampul muka dengan mengenakan pakaian Uncle Sam dengan satu tulisan saja: “Really?”.
Saya membayangkan Mojok suatu saat akan menampilkan sampul muka Agus Mulyadi dengan mengenakan pakaian nikah dengan tulisan: “Really? That’s Impossible…”
Tapi, sekali lagi, permasalahannya bukan hanya suka atau tidak suka, bencana atau tidak. Kembali lagi realita politiknya seperti itu. Harus diterima fakta, bahwa masyarakat AS mengalami masalah otoriterisasi yang makin meluas. Kendati demikian, jangan buru-buru bernafas lega bahwa itu hanya terjadi di Amerika saja yang jauh jaraknya dengan kita.Â
Di sini pun, di Indonesia, fenomena otoriterasi dan Donald Trump juga terjadi.
Masyarakat yang beringas, baik di dunia nyata dan media sosial, dan orang-orang seperti Jonru, Felix Siauw, dan yang terbaru Tere Liye, kerap bermunculan. Tak peduli seberapa besar kengawuran mereka, pendukungnya akan tetap banyak. Makin banyak malah. Sebab tokoh-tokoh tersebut tak akan muncul dan berkembang dari masyarakat yang plural dan toleran.
Jadi, pertanyaan bagaimana bisa Donald Trump menjadi frontrunner itu sama dengan bertanya kenapa Jonru, Felix Siauw, dan Tere Liye mempunyai basis massa yang banyak.
Kelompok masyarakat yang otoriter ini justru makin kuat, ketika para aktivis HAM dan liberal yang seharusnya toleran kerap menyerang keras. Dengan cara-cara yang hampir sama pula. Mereka lupa bahwa fanatik kepada ketidakfanatikan itu juga sebuah kefanatikan pula.
Hukum sosial kuno, serangan apa pun, sering justru meradikalkan kelompok bersangkutan. Apalagi, kemudian merasa mayoritas dan merasa agamanya diserang. Maka, satu-satunya cara yang bisa dipikirkan adalah tendang saja semua orang yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan kita.
Masyarakat AS, dan masyarakat kita, sudah mulai menunjukkan apa yang disebut the rise of authoritarianism. Masyarakat yang otoriter. Dan orang-orang yang memanfaatkannya, yang kemudian melakukan tindakan njembeki ke depan publik. Suka atau tidak suka, kita harus menelannya mentah-mentah.Â
Jadi bukan tidak mungkin Donald Duck, eh, Trump bisa menjadi Presiden Amerika, sebagaimana sangat mungkin Jonru menjadi Gubernur Jakarta, Felix Siauw menjadi Menteri Agama, dan Tere Liye menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Indonesia.