Saya pikir, semua anak perempuan jika mendapat akses, kesempatan, dan sumber daya yang sama, harusnya menyukai sekolah. Itu teori awal yang saya percayai dan ternyata tidak sepenuhnya tepat.
Beberapa bulan lalu, ketika ada sedikit rezeki, saya teringat satu nama kerabat perempuan. Dia baru lulus SMA dua tahun lalu, kemudian langsung bekerja sebagai buruh pabrik.
Saya pikir, dia pasti mau jika saya tawarkan peluang untuk kuliah. Saya bersemangat menghubunginya dan menyampaikan maksud baik. Saya bilang, ada pendaftaran Universitas Terbuka. Barangkali ada jurusan yang dia suka untuk melanjutkan studi.
Dia bilang, dia tidak suka sekolah.
“Sudah enak kerja, Mbak. Saya nggak suka sekolah.”
Saya mak-deg dan sempat terbengong-bengong beberapa saat. Sampai beberapa hari kemudian, saya sampai pada sebuah kesimpulan, bukan dia yang salah, tapi saya yang keliru memaknai sekolah.
Anak perempuan itu pasti suka belajar, dengan definisi belajar yang ada dalam kepalanya, bukan kepala saya. Anak perempuan itu pasti punya keinginan untuk berkembang dalam harapan-harapan yang dia bayangkan, dan itu bukan seperti bayangan saya.
Gedung yang megah dan elitis, kertas dan buku, metode berpikir abstrak, konsep pemecahan masalah, barangkali memang bukan untuk semua orang.
Saya menertawakan diri sendiri. Jika mengaplikasikan teori Need Analysis, untuk mencapai goals (tujuan) sebuah kebijakan, harusnya saya lebih dulu mencari tahu background research (latar belakang) sedetil-detilnya untuk menggali apa yang dia anggap sebagai kebutuhan. Dari kebutuhan itu, baru akan tampak tools (perangkat) apa yang sebetulnya dia mau.
Ada perbedaan yang cukup signifikan antara bersekolah dengan berpengetahuan. Contoh, dalam sebuah pelatihan, saya menerima pernyataan dari seorang mahasiswi yang mengalami kehamilan tak direncanakan.
Ia mengira, satu kali berhubungan seksual tidak akan membuatnya hamil. Artinya, ilmu biologi yang ia terima selama ini kurang terang hingga tak sampai menjadikan diri mengambil keputusan tepat dalam hidup berdasarkan justifikasi-justifikasi ilmiah.
Demikian pula dengan makna pendidikan secara luas. Tidak semua anak beruntung memiliki kerabat berprofesi sebagai dosen, ilmuwan, hakim, atau dokter sehingga imajinasinya kepada profesi-profesi itu sangat terbatas.
Akan tetapi, menjadi berpengetahuan, mandiri, dan berdaya dalam kehidupan agar dapat bertanggung jawab untuk diri sendiri adalah kemutlakan. Dengan cara apa saja. Besok-besok saya akan bertanya kepadanya, “Hal apa yang membuatmu merasa mandiri dan punya daya dalam hidup? Adakah yang bisa saya bantu untuk membuat daya hidupmu semakin menyala?”
***
Seorang istri berusia hampir 40 tahun dengan tiga anak usia SD sedang panik karena suaminya di-PHK perusahaan. Ia adalah satu dari puluhan juta masyarakat Indonesia dan seluruh dunia yang mengalami kepanikan mirip-mirip dalam masa krisis Covid-19 ini.
“Jualan kue saja. Saya bisa bantu develop marketplace-nya. Atau, mau jualan pempek atau ayam goreng frozen? Saya mau ikut investasi kulkasnya. Masakan Mbak kan enak. Ayok, optimis aja.” Dengan mudah, saya katakan itu padanya.
Tiga bulan pertama, tak ada perubahan. Ternyata, dalam kondisi krisis ini, tiga bulan pertama adalah masa panik, bertanya bagaimana dan bagaimana lagi, panik kembali, bertanya bagaimana dan bagaimana lagi, lalu panik kembali.
Saya mencoba memahami kondisi itu. Kondisi yang sebelumnya saya abaikan sebab saya ikut panik. Namun, sembilan bulan berlalu, tetap belum ada perubahan.
Ia sudah tidak panik. Masih bertanya bagaimana, tapi berhenti di tahap mempertanyakan ke dalam diri apakah ia bisa menjalankan produktivitas itu.
Saya belajar lagi satu hal bermakna.
Seorang perempuan istri dan ibu yang 12 tahun lebih menjadi istri, mengelola aktivitas domestik dan mengelola anak-anak, jelas perlu jeda untuk masa krisis ini.
Pivot dari domestik ke publik itu ternyata tak bisa ujug-ujug dalam situasi ini. Lagi-lagi, kamu tidak bisa hanya memakai isi kepalamu sendiri.
Ada banyak kasus para istri yang ujug-ujug oleng ketika kehilangan pasangan. Terlebih dahulu, ia harus menerima kenyataan dan memulihkan diri dari rasa kehilangan. Selanjutnya, ternyata muncul kesadaran bahwa ada modal diri dan modal sosial yang telah lama pergi.
Bertahun-tahun, ada potensi dalam diri yang tak lagi dilatih. Sibuk dengan anak-anak juga berpengaruh pada keterbatasan akses ke dunia luar. Semua perlu diproses dari awal kembali.
Para perempuan ini perlu lingkungan suportif agar bisa bangkit kembali. Yang sedih, status mereka sebagai perempuan kepala keluarga atau ibu tunggal sering kali direduksi sebagai janda semata.
Mertua yang menyalahkan dirinya, lingkungan malah memandang sebelah mata, hingga nilai diri semakin runtuh.
Ada pekerjaan rumah utama untuk membangkitkan kepercayaan diri para perempuan istri dan perempuan ibu yang ingin memulai produktivitas ini. Meskipun sudah sangat sering saya bilang, makanan buatanmu enak, tapi ia terus saja berkata, banyak yang lebih enak.
Membangkitkan kepercayaan diri kepada seorang perempuan yang masa produktifnya “telah lewat” ternyata tidak mudah. Ia merasa, hari ini kesuksesan adalah milik anak-anak muda, bukan miliknya yang tak lagi muda.
***
Ketika mengetik tulisan ini, seorang saudara jauh dari Bekasi kembali menghubungi. Ia seorang Yakult lady yang kembali dirumahkan.
Blok tempatnya berkeliling sudah zona hitam, penuh dengan kasus Covid-19. Ia tak bisa lagi menyuplai Yakult ke wilayah edarnya dengan berkeliling membawa sepeda seperti biasa. Dua anaknya masih harus belajar daring dari rumah. Suaminya juga sudah lebih dulu dirumahkan.
Saya sedang dalam proses… memproses dari awal kembali. Seperti awal krisis setahun lalu.
Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.