MOJOK.CO – Tabayyun Ridwan Kamil dengan Ustaz Baequni soal simbol illuminati di Masjid Al Safar ternyata hasilkan info-info yang thriller. Tegang sih, tapi nikmat.
Tahukah kamu jika bentuk tumpeng adalah bagian dari “Dajalisasi” karena bentuknya yang kerucut itu tergolong sikap tasyabbuh bil kuffar? Tahukah kamu jika One Piece dan Naruto ternyata adalah agen illuminati?
Tahukah kamu jika perang armageddon akan segera tiba lima tahun mendatang, tepatnya nanti pada tahun 2024? Tahukah kamu jika peristiwa bom Sarinah adalah upaya Pemerintah untuk mengalihkan isu Freeport? Tahukah kamu jika peristiwa 911 adalah konspirasi George Bush untuk memfitnah umat Islam sebagai teroris?
Tahukah kamu jika, ah, sebelumnya, tolong siapkan mentalmu untuk menerima informasi maha penting ini: Habib Rizieq pergi ke Mekkah ternyata karena misi yang begitu penting untuk kekhilafahan. Sebab Imam Besar Rizieq Shihab adalah salah satu dari tujuh ulama yang dijanjikan Allah untuk berbaiat kepada Imam Mahdi.
Ya Tuhan, ke mana saja saya selama ini sehingga baru mengetahui peristiwa penting buat nasib umat di masa depan ini?
Informasi soal Khalifah Rizieq Shihab itu, konon, diterima Habib Rizieq lewat telepon, bahwa beliau harus bersegera bertemu dengan enam ulama pilihan lain di Mekkah.
Sungguh-sungguh mencengangkan.
Tunggu, tunggu, dari mana semua informasi rahasia skala dunia itu saya peroleh?
Tentu saja dari kajian Ustaz Rahmat Baequni. Alhamdulillah, jelang tengah malam tadi, saat sedang youtube-an, saya mendapat hidayah untuk sekalian mendengarkan kepiawaian otak-atik gathuk Ustaz Rahmat Baequni yang membuat Ridwan Kamil kerepotan itu.
Saya baru paham mengapa Ustaz Rahmat Baequni akhir-akhir ini berhasil bikin Jawa Barat gonjang-ganjing. Sampai-sampai, kemarin siang, Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat sengaja menghadiri debat terbuka untuk klarifikasi hoaks simbol illuminati yang konon bentuknya identik dengan salah satu sudut bangunan Masjid Al Safar, Bandung.
Ridwan Kamil yang juga arsitek masjid itu lalu disebut oleh banyak orang sebagai keturunan Dajjal dan keturunan Yahudi. Konon, ibunda Ridwan Kamil sampai menangis karena keributan ini.
Dalam pertemuan itu, Pak Ridwan Kamil menjelaskan bahwa banyak sekali masjid di dunia ini yang memakai desain berbentuk segitiga. Kang Emil juga memberikan bukti desain Masjid Nabawi, masjid suci umat Islam. Selain itu, logo Front Pembela Islam (FPI) pun bentuknya segitiga.
Kalau mau konsisten, harusnya kan diprotes juga. Lagipula, bentuk sudut yang dituduh sebagai propaganda illuminati di Masjid Al Safar itu trapesium, bukan segitiga dengan satu mata di perut. Sial, saya lalu mengamati sekali lagi gambar sudut masjid yang viral di media sosial ini, dan ternyata betul, memang trapesium!
Tentu saja banyak pihak berdebat untuk langkah Ridwan Kamil ini. Sebagian mendukung langkahnya untuk meladeni perdebatan agar isu yang berkembang di masyarakat tidak semakin liar. Repot juga kalau broadcast via pesan instan terus-terusan beredar meminta masyarakat agar tidak salat di Masjid itu sebab salatnya dianggap tidak sah. Percuma salat di dalam bangunan orang kafir, begitu bunyi propagandanya.
Sebagian lain tentu saja menyayangkan, kenapa Ridwan Kamil buang-buang waktu untuk meladeni kebodohan. Toh, jelas itikad baiknya itu terbukti sia-sia.
Setiap pemaparan Ridwan Kamil soal logika bangunan sesuai latar belakangnya di bidang arsitektur, berakhir disoraki “huuuu” oleh ribuan pendukung si Ustaz, sedangkan pemaparan Ustaz Rahmat Baequni perihal fitnah-fitnah Dajjal tentu saja disambut dengan pekikan takbir.
Maaf Pak Ridwan Kamil, sekalipun Bapak adalah lulusan University of California, Berkeley, tapi kan Bapak tidak punya akses ala informasi-informasi langit seperti si Pak Ustaz.
Acara yang ditengahi oleh ketua MUI Jawa Barat, Rahmat Syafei itu berujung salam-salaman. Ketua MUI meminta agar masing-masing pihak menghormati pendapat masing-masing.
Artinya, kita harus tetap menghormati pendapat Ustaz Rahmat Baequni yang percaya bahwa bentuk mimbar Masjid Al Safar adalah simbol All Seeing Eye kelompok-kelompok rahasia yang ingin mewujudkan tatanan dunia baru untuk menyesatkan masyarakat Jawa Barat dan tetap mengijinkan pendapat itu beredar liar di luar sana. Modiiiiyar.
Sudahlah, manusia-manusia yang kecanduan cerita simbol illuminati memang sulit disembuhkan, Pak Emil. Jamaah pendengarnya bagaikan penikmat film thriller yang terus penasaran dan terkagum-kagum ketika sang ustaz menghadirkan sesuatu yang tampak seperti ceceran bukti-bukti, padahal itu tak lebih keterampilan mencocok-cocokkan alias kliping.
Sayang sekali, kecanduan umat Islam ini tidak muncul ketika mendiskusikan sampah plastik dan limbah domestik yang mengapung di Sungai Citarum, tambang kapur di kawasan Padalarang, isu kawin anak dan perdagangan manusia yang angkanya sangat tinggi di Jawa Barat.
Permasalahan-permasalahan ini levelnya sudah realita di depan mata dan tidak menarik untuk dimain-mainkan di imajinasi. Penanganannya tidak selesai dengan takbir, wong menggerakkan kesadaran umat untuk tidak buang sampah sembarangan saja susahnya setengah mati.
Solusinya bukan hanya menyatukan umat sebagai jamaah dalam kekhilafahan, karena pertanyaan selanjutnya, kalau sudah bersatu terus mau ngapain? Tetap saja perlu saintis untuk menemukan teknologi pengolah limbah, teknologi pengganti plastik, teknologi kesehatan untuk menyelamatkan anak-anak yang terlanjur stunting, cacat dan lain-lain. Gimana, sudah pusing antum?
Dulu saya pernah juga fobia simbol illuminati, fobia beli coklat di hari valentine bahkan jadi ketua panitia pengajian tolak valentine tiap tanggal 14 Februari, saya juga fobia pakai daleman ciput ninja karena kata mbak-mbak murabbiyah di kampus, bentuk ciput ninja sama dengan kain penutup kepala yang dipakai suster gereja. Pemaparannya itu tentu dilengkapi dengan dalil larangan menyerupai suatu kaum.
Saya nggak tahu tepatnya kenapa saya akhirnya sembuh dari pikiran-pikiran begitu. Sependek ingatan, saya bergeser dari pikiran-pikiran klenik begitu bukan karena belajar dalil-dalil lain, melainkan menghayati konsep hidup merdeka.
Prosesnya tentu tidak singkat. Mungkin pertemuan dengan istilah kaum merdika Tan Malaka, merdeka ala Kartini, merdeka ala Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, merdeka ala Umar Kayam dalam novel Para Priyayi, merdeka ala Hamka, merdeka ala Soekarno, merdeka ala Ahmad Wahib, sampai merdeka ala tasawuf enteng-entengan.
Mengenal kata berpikir merdeka tak hanya jadi sejarah melek budaya keberaksaraan buat saya pribadi, tapi juga bikin hidup lebih hidup: tidak mudah mengeluh, tidak mudah patah, tidak lekas kalah.
Tapi rasanya, mengajak semua orang buat baca buku dengan dasar epistemologi ini itu jelas nggak mungkin. Memaksa pentolan berseragam agamawan tapi punya keterampilan pendongeng kisah-kisah misteri buat turun panggung jauh lebih tidak mungkin lagi.
Kita umat Islam diminta bangga jadi umat yang besar. Semua kritik kepada umat pasti berbalas dengan pertanyaan “anda Islam bukan?” atau kita diminta maklum karena sebaik-baiknya persaudaraan adalah saudara se-Islam.
Ya nggaklah. Saudara yang baik itu ngeplaki ndase saudaranya yang udah mabok sampai jadi nggak eling karena kebanyakan konsumsi hoaks dan makan teori konspirasi illuminati modal kliping.