MOJOK.CO – Hikmah tentang makna hidup dari percakapan aliran air dan pasir.
Dari sebuah gunung yang sangat tinggi terbentuk satu jalur air yang deras. Aliran airnya melewati beratus-ratus mil jarak dari sumbernya. Telah banyak hutan, perladangan, kota, dan desa yang ia lalui.
Suatu hari di depan aliran air ini membentang dataran padang pasir luas yang membuatnya ragu dan berpikir. Setiap kali bagian tubuhnya mengalir ke hamparan pasir di depannya, saat itu juga tubuhnya terserap ke dalamnya dan musnah. Semakin deras ia menghempaskan bagian dirinya kepada pasir yang berada di depannya, ia merasa kehilangan dirinya. Ia berpikir bahwa dataran pasir di depannya adalah penghalang dan batas bagi keberlanjutan hidupnya.
“Wahai air, kau bisa lihat sendiri udara saja bisa menyeberangi padang pasir, kenapa kamu menyerah? Kamu pasti juga bisa.” Entah dari mana, terdengar suara lembut yang menyemangati aliran air.
“Aku telah mengusahakannya. Tapi, setiap kali aku menerjang keras ke pasir, tubuhku serasa terserap dan musnah. Aku berbeda dari udara. Aku tidak bisa terbang. Bagaimana mungkin aku bisa menyeberangi padang pasir yang luas ini?” Air itu menyanggah pendapat suara yang membisikinya.
“Jika kamu hanya mengandalkan kebiasaanmu seperti itu terus-menerus, bagaimana kamu bisa melintasi padang pasir ini? Itulah yang membuatmu hanya terserap ke dalamnya. Atau paling banter kamu hanya akan jadi air rawa yang tergenang tidak ke mana-mana. Biarkan dirimu terserap angin dan dibawa oleh angin, lalu serahkan takdir masa depanmu kepada angin yang akan membawamu ke mana pun! Itu saranku,” kata suara itu menimpali lagi.
“Ah, bagaimana mungkin?” kata air. “Aku sebelumnya belum pernah membiarkan diriku terserap ke dalam angin. Aku belum punya pengalaman akan itu. Belum lagi jika membiarkan diriku terserap dalam angin, apakah ada jaminan bahwa diriku akan kembali seperti semula? Bagaimana aku memastikan bahwa diri pribadiku kembali utuh kembali untuk selanjutnya? Siapa yang bisa menjaminnya?”
Tiba-tiba pasir di depan aliran air ikut berbicara, “Itu sudah merupakan tugas angin, wahai air! Ia akan membawamu menyeberangi aku yang begitu luas ini, dan nanti akan menurunkanmu kembali dalam bentuk hujan, lalu kamu bisa menjadi aliran sungai kembali,” kata pasir.
“Bagaimana aku yakin apa yang kamu katakan itu benar?”
“Memang sudah seperti itu. Jika tak mau mempercayainya, ya kau hanya akan terserap ke dalam tubuhku terus-menerus meskipun kau menunggu bertahun-tahun. Paling beruntung kau hanya akan menjadi rawa yang tergenang. Bukankan itu juga bukan aliran air? Bukankah itu juga tidak kau kehendaki?”
Namun, aliran air itu masih ragu. Suara lembut itu terdengar kembali.
“Bagian penting dari inti dirimu akan dibawa oleh angin dan akan menjadi aliran air yang sama sekali baru. Kamu merasa dirimu seperti ini, sebagaimana kamu yakini hari ini, karena kamu belum mengerti dari bagian apa dirimu ini menjadi bagian alam semesta. Dan kamu akan mengetahui ini kelak.”
Tak jauh dari tempat percakapan, sebuah gema yang meskipun tidak ikut berbicara menyimak percakapan ini dengan saksama. Mendengar percakapan mereka, gema itu teringat akan asal dirinya. Ia ingat saat dirinya dibawa oleh angin. Ia ikut terempas dan terantuk dari dinding bebukitan ke dinding gunung yang lain. Ia terenyuh mendengar percakapan mereka.
Aliran air akhirnya membiarkan dirinya terserap dalam angin dalam wujud uap. Ia dibawa oleh oleh angin melintasi padang pasir. Setelah berkilo-kilo jarak yang dilalui, saat melintas di atas sebuah gunun ia pelan-pelan jatuh dalam bentuk hujan. Aliran air kemudian bergabung bersama aliran air lain pada sungai di lereng gunung tersebut. Aliran air lamat-lamat bisa mengingat identitas dirinya sebelumnya. Ia mulai memahami perjalanan dan perubahan dirinya.
“Sekarang aku mulai mengerti apa yang dikatakan suara itu dulu di depan padang pasir. Aku mulai mengerti siapakah sebenarnya aku,” batin aliran air.
Saat air mulai bisa menyesap makna perjalanan hidupnya, pasir di pinggir sungai yang dilalui si air tiba-tiba berkata,
“Kita mengetahui siapa diri kita justru setelah mengalami kejadian-kejadian dalam hidup hari demi hari. Aku, pasir di pinggir sungai lereng gunung ini, adalah bagian dari pasir yang dulu kau temui di padang pasir. Aku mengetahui siapa diriku karena telah melewati beribu-ribu pengalaman yang menyadarkan bahwa adalah bagian dari pasir di di bumi ini. Aku bisa menjadi diriku karena aku telah mengenali, dari bagian mana diriku ini berwujud dalam rangka keseluruhan wujud.”
Si pasir melanjutkan lagi, “Itulah mengapa sering dikatakan, jawaban akan makna perjalanan seseorang sama seperti seluruh perjalanan dalam ‘aliran hidup’ ini. Perjalanannya tak bisa dielakkan dan mesti berlangsung, berlanjut terus-menerus—dan semuanya telah tertulis sejak pertemuan pertamamu dengan pasir.
“Seseorang diminta terus berjalan agar makna kesejatian dirinya diraih dan pengalaman hidup akan mengajarinya makna; makna itu setia menunggu di depannya hanya jika ia mau menyesap pelajarannya.”
Dinukil, disadur, dan dikembangkan dari Idries Shah Tale of Dervish E.P Dutton & Co., New York, 1969.
Baca edisi sebelumnya: Betapa Drastis Rasa Takut Bisa Mengubah Manusia dan artikel kolom Hikayat lainnya.