MOJOK.CO – Seseorang yang berilmu, atau sebut saja orang yang tahu, ia punya kewajiban menyelamatkan orang lain dengan pengetahuannya. Sedangkan orang bodoh lebih memilih berhenti pada dugaannya dan berharap semua berjalan normal tanpa ada kesakitan yang mengganggunya.
Suatu hari diceritakan seorang pengelana telah melakukan perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan. Ia berjalan tak berhenti hingga malam tiba menjelang. Saat melihat sebuah dataran agak terbuka yang ditumbuhi rumput dan pepohonan, laki-laki ini memutuskan untuk berhenti dan merebahkan tubuhnya.
Ia berpikir bahwa tempat ini sungguh cocok untuk istirahat. Sebab, tak jauh dari situ terdapat sebuah sungai jernih yang ia pikir bisa ia gunakan untuk mandi esok hari sebelum melanjutkan perjalanan. Ia membuat perapian, kemudian merebahkan tubuhnya di samping perapian tersebut hingga terlelap nyenyak.
Tidak begitu lama ada seorang penunggang kuda tak sengaja melintasi perapian tempat laki-laki pelancong tersebut tidur. Ia tergeragap dan segera menghentikan laju kudanya. Ia dengan mata kepalanya sendiri melihat seekor ular merayap masuk ke dalam kerongkongan laki-laki tersebut karena mulutnya yang terbuka saat tidur.
Melihat kejadian berbahanya ini, si penunggang kuda segera memukulkan cambuknya keras-keras kepada laki-laki yang tidur. Tentu si pelancong terbangun kaget. Tapi, belum reda kekagetannya, si penunggang kuda telah menyuruhnya dengan ancaman cambuk untuk segera berlari menuju sungai tak jauh dari tempat mereka.
“Cepat! Cepat! Lari ke sungai itu!” perintah si penunggang kuda disertai gelegar cambuk yang diayunkannya.
“Ayo! Cepat! Atau cambuk ini akan kuayunkan padamu! Cepat!” seru penunggang sekali lagi dengan ancaman yang lebih keras.
Si pelancong dengan setengah kesadaran yang belum teraih bingung atas apa yang terjadi. Ia benar-benar tak punya kesempatan menjawab. Penuh ketakutan, ia berlari menuju sungai. Si penunggang tak kalah cepat menyusulnya dengan gaya semula: terus menghantamkan cambuknya keras-keras ke tanah.
Setelah tiba di pinggir sungai, pemuda penunggang kuda itu memaksa laki-laki tersebut meminum air sungai sebanyak-banyaknya.
“Ayo, cepat! Minum! Minum yang banyak atau kau akan merasakan cambukku!” seru si pemuda mengancam. Si pelancong patuh dalam ketakutan. Ia meminum berteguk-teguk air dari aliran sungai tersebut.
“Ayo! Minum lagi! Lagi! Sebanyak-banyaknya!”
Si laki-laki untuk kesekian kalinya mematuhi dan meneguk kembali air sampai perutnya kembung.
Si penunggang kuda yang sedari tadi mengawasinya tiba-tiba menyahut buah apel yang banyak bergantungan di sampingnya lalu melemparkan beberapa si pelancong.
“Makan! Kamu harus memakannnya! Cepat!”
Lagi-lagi pelancong itu memenuhi permintaan penunggang kuda tanpa bantahan. Setelah memakan beberapa buah apel yang dilemparkan si penunggang kuda, ia mulai mencari cara agar ia bisa melarikan diri.
Si penunggang kuda masih mencari-cari apel, namun buah yang terdekat tak ia temukan. Ia mengarahkan kudanya ke pohon lain. Saat melihat si penunggang kuda lengah, si pelancong itu bangkit dan berlari sekencang-kencangnya. Namun, si penunggang kuda dengan mudah mengejar dan segera menyusulnya. Si penunggang kuda melayangkan cambuknya lagi keras-keras, mendera tubuh laki-laki tersebut. Si lelaki yang merasa kesakitan berteriak, mengeluhkan sesuatu sambil menangis.
“Kenapa kau begitu tega terhadapku, penunggang kuda? Sungguh ini tindakan tak manusiawi,” keluh si laki-laki dengan tangis kecil memelas.
Gelegar suara cambuk berbunyi kembali. Terkaget-kaget dan berusaha untuk berlari, si laki-laki tiba-tiba terpeleset dan tersungkur di atas tanah berpasir. Mulutnya memuntahkan air, buah apel, dan seekor ular dari dalam perutnya. Ia lalu berusaha untuk duduk. Tubuhnya masih lemas, namun ia mulai tahu apa yang sedang terjadi padanya. Ia menyadari si penunggang kuda tadi ternyata sedang berusaha menolongnya. Menyadari hal itu ia pun berterima kasih.
“Terima kasih, penunggang kuda. Aku kini tahu apa yang tadi kamu perbuat. Namun, kenapa kau tak memberi tahuku saja apa yang terjadi sehingga kau tak perlu melakukan tindakan kasar-kasar tadi? Aku pasti mematuhinya. Kenapa harus dengan paksaan dan ancaman?”
Si penunggang kuda menjawab, “Teman, jika aku mengatakan apa yang terjadi padamu, pasti kamu tidak percaya dan menganggapku sedang meracau. Karena kau tak akan percaya, tubuhmu bisa saja menjadi lumpuh. Atau kalau tidak begitu, kau pasti akan pergi jauh-jauh dan kemudian melanjutkan tidurmu sehingga aku tak bisa apakah ular tersebut akan keluar dari tubuhmu atau tidak.”
“Dalam kasusmu ini,” tambah si penunggang kuda itu lagi, “peribahasa yang mengatakan tentang menyanggah orang berilmu lebih baik daripada mendukung orang bodoh ternyata tidak terlalu tepat. Seseorang yang berilmu, atau sebut saja orang yang tahu, ia punya kewajiban menyelamatkan orang lain dengan pengetahuannya. Sedangkan orang bodoh lebih memilih berhenti pada dugaannya dan berharap semua berjalan normal tanpa ada kesakitan yang mengganggunya.”
Si penunggang kuda yang misterius itu segera melecut kudanya dan kemudian menghilang dalam kegelapan malam.
Dinukil, disadur, dan dikembangkan dari Idries Shah Tale of Dervish, 1969.
Baca edisi sebelumnya: Badui Penemu Air Surga dan artikel kolom Hikayat lainnya.