“Bal, betul ya harga rokok di Australia per batang 10.000?” Seorang teman sekelas SMP bertanya, beberapa pekan silam.
Berti, teman saya itu, sangat berkepentingan dengan kabar tersebut. Ia benci sekali melihat suaminya merokok tak putus-putus. Maka, segera ia susulkan link dari sebuah situs berita. Membaca berita di tautan itu, saya jadi ingat cerita dari Syekh Abu Hayyun. Sore itu beliau menerima tamu, seorang aktivis antirokok dari Yogyakarta.
***
“Data-data di lapangan semua tersedia, Syekh,” Si Mbak Cantik di depan Syekh Abu Hayyun mengeluarkan buku kecil. Tampaknya itu catatan tugas dari LSM tempat ia bekerja.
“Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain, harga rokok di Indonesia murah banget. Terlalu murah, malah. Sampai-sampai kami ini maluuu buanget, tiap kali ikut forum internasional antitembakau. Rekan-rekan dari negara lain sering sekali membandingkan harga rokok di tempat mereka dengan harga di Indonesia. Waduuuh…,” raut wajah Si Cantik semakin unyu, ketika bercerita soal rasa tengsinnya. Ia benar-benar penuh penghayatan dalam menjalankan tugasnya.
“Mmm.. Contohnya negara mana?”
“Contoh yang dekat ya Australi, Syekh. Di sana sebatang rokok harganya sepuluh ribu rupiah! Ya Allah ya Robbiii, bayangkan saja, Syekh. Mahal! Di sini per batang cuma seribu, di sana sepuluh ribu! Sepuluh kali lipat! Gila sekali kan harga rokok di Indonesia ini. Dibikin murah pasti karena pabrikan rokok di sini mau semakin menjerat masyarakat dengan ketergantungan!” Wajah cantik itu kini berapi-api. Syekh serasa melihat Bung Karno ketika pidato “Tahun-tahun Vivere Pericoloso”.
“Mmm.. Mbak, Mbak.”
“Ya, Syekh?”
“Mbak bisa enggak, membayangkan ada orang yang bekerja setiap hari di Indonesia, dapat duit rupiah dengan nilai wajar dari penghasilannya, tapi tiap kali butuh rokok dia belinya harus di Ostrali?”
“What?? Maksudnya, Syekh?” Si Mbak tiba-tiba keceplosan keminggrisnya. “Masa ada sih yang macam gitu? Ah, Syekh lebay deh hahaha…” Gadis itu mulai bisa agak rileks dan tertawa mendengar pertanyaan lucu dari Syekh Abu Hayyun.
“Hehehe,” Syekh tertawa kecil. “Begini maksud saya, Mbak. Memang kalau dikurskan ke rupiah, sebatang rokok di Ostrali harganya 10 ribu. Tapi yang beli dengan harga segitu siapa sih? Bukannya orang Ostrali sendiri? Nah, apa mereka belinya pakai uang rupiah, Mbak?”
Si Cantik tercenung, berpikir sesaat. Wajahnya mulai waspada. “Ya tentu mereka beli rokok pakai dolar Australi dong, Syekh. Wong mereka bekerjanya juga di sana kok.”
“Nah, persis itulah yang saya maksud. Harga per batang di sana memang sepuluh ribu, per bungkus dengan isi 20 batang 18 dolar alias 180-200 ribu rupiah. Mahal sekali ya Mbak? Iya, memang. Kalau saya kerja di Purwokerto, misalnya, tapi rokoknya beli di Ostrali ya bokek, Mbak. Beli sepuluh bungkus saja sudah habis gaji sebulan. Tapi kalau yang beli orang Ostrali sendiri, dengan duit yang mereka dapat dari kerja di negara mereka sendiri, ya hitungannya beda dong. Mbak mesti jeli juga melihat variabel-variabel yang lain.” Syekh Abu Hayyun menatap Si Cantik di hadapannya, menanti reaksinya.
“Variabel-variabel lain? Ngg.. maksudnya gimana ya, Syekh?”
Syekh tampak agak bete, tapi ia menahan diri di depan aktivis militan itu. Setelah menghela nafas sebentar, Syekh meneruskan.
“Jadi begini. Mahal dan murah itu bukan sesuatu yang mutlak dan bisa dibaca secara tekstual. Ia harus diletakkan pada konteks ekonomi sebuah masyarakat. Dari situ, kemudian, muncul apa yang disebut daya beli. Andai harga rokok di Indonesia 300 ribu per bungkus, misalnya, tapi gaji rata-rata orang Indonesia per bulan 100 juta, apa ya mahal harga rokok segitu? Enggak, kan? Nah, itu pengandaian ekstrim.”
“Variabel-variabel yang saya maksud itu terutama ya daya beli, yang sangat bergantung pada tingkat penghasilan. Pertanyaan saya, dengan harga rokok sepuluh ribu per batang, apa Mbak juga sudah menghitung berapa penghasilan orang Ostrali per bulannya?”
Si Cantik terdiam. Syekh kembali mendesak. Gadis di hadapannya menggeleng pelan. “Belum, Syekh.”
Kali ini Syekh tersenyum tipis. “Lha, kalau nggak tau rerata penghasilan orang Ostrali, bagaimana bisa kamu yakin rokok di sana mahal, Mbak?”
Wajah cantik itu menegang. “Itu dari berita di media-media, sih. Juga data resmi yang pernah dipresentasikan oleh Bapak-bapak di Jakarta, di depan anggota dewan.”
Sontak Syekh tersenyum lebar, manggut-manggut sebentar, lalu membetulkan letak kacamatanya. “Huehehehe.. Bapak-Bapak di Jakarta ya? Huehehehe… Baiklah…”
Setelah menyeruput kopinya seteguk dan membetulkan posisi duduknya, Syekh melanjutkan.
“Sekarang saya ceritain. Di Ostrali ya Mbak, orang bekerja itu hitungan upahnya per jam. Saya ambil contoh di Perth saja, karena saya pernah lumayan lama di sana. Di kota itu, upah per jam rata-rata 20 dolar. Bisa lebih. Pekerjaan buruh paling kasar nilai upahnya segitu. Taruhlah orang bekerja setiap harinya 8 jam saja, dia sudah mendapatkan 160 dolar per hari. Sementara di Indonesia, ambil contoh di Jogja, kota tempat Anda bekerja, upah minimum sekarang berapa?”
Si Cantik membuka hapenya, masuk ke browser, dan mengadu kepada Kyai Google. Beberapa detik berlalu, sampai ia menjawab, “Upah Minimum Kota Yogyakarta untuk tahun 2014 ada di angka Rp 1.173.300, Syekh.”
“Nah, sekarang,” jari Syekh menunjuk HP android yang masih digenggam oleh tamunya. “… Mbak buka dulu kalkulator di hape itu.”
Si Cantik menurut.
“Coba hitung, dengan standar seperti itu, per harinya pekerja di Jogja dapat berapa rupiah?”
Jemari Si Cantik beraksi lagi. Jidatnya sedikit berkerut. “Ngg.. dengan asumsi 5 hari kerja, sehingga hari aktif per bulan katakanlah 20 hari ya, Syekh.. maka pekerja di Jogja per harinya mendapatkan Rp 1.173.300 dibagi 20. Ketemunya… Rp 58.665.”
“Nah, kamu pintar. Sekarang mari kita lihat satu per satu. Di Jogja, seorang pekerja dapat duit 59 ribu rupiah per hari, sebutlah demikian, harga sebatang rokoknya seribu rupiah. Artinya, untuk beli sebatang rokok yang seribu perak itu, di sini dibutuhkan seribu dibagi 59 ribu, atau 1/59 dari upah bekerja sehari. Betul, kan?”
“Betul, Syekh,” sahut Si Cantik.
“Sekarang kita lihat Perth. Pekerja di Perth mendapat 160 dolar per hari. Sementara, harga sebatang rokok di sana sepuluh ribu, atau sebutlah setara satu dolar. Dengan penghasilan per hari 160 dolar itu tadi, artinya untuk beli sebatang rokok dibutuhkan seperberapa upah per harinya, Mbak?”
“Ya 1/160 dong, Syekh,” Si Cantik menjawab sigap.
“Lha iyes! Kamu sudah tambah pintar, Mbak. Kesimpulannya sudah tahu, kan? Benar, di Jogja harga sebatang rokok adalah 1/59 dari upah sehari. Sementara, di Perth harga sebatang rokok 1/160 upah sehari. Gampangnya, harga rokok di Jogja hampir tiga kali lipatnya harga rokok di Perth! Dahsyat, kan?” Syekh Abu Hayyun tersenyum lebar.
“Naaah… sekarang sampeyan masih yakin harga rokok di Ostrali mahal dan di Indonesia murah, Mbak? Masih percaya media-media yang bikin framing berita ngawur, dan percaya Bapak-bapak di Jakarta yang bikin pembodohan publik itu?”
Wajah Si Cantik memerah. Ia tampak berpikir sebentar, mengingat-ingat sesuatu, lalu berkata dengan agak ragu-ragu, “Eee tapi, Syekh, saya jadi ingat, beberapa teman LSM yang kuliah di Australi bilang, di sana harga sebungkus rokok 18 dolar dan itu tetap terasa mahal…”
“Hahahaha!” Syekh meledak tawanya. “Yaaa karena teman-temanmu itu otaknya masih otak rupiah. Dapat beasiswa sih memang dolar, kerja part time juga dibayar pakai dolar, isi rekeningnya semua dolar, tapi kalau beli apa-apa standarnya standar rupiah! Ya bakalan susah bahagia hidupnya kalau gitu caranya Mbak, hahahaha!”