Berkali-kali saya ditanyai tentang seberapa lama waktu puasa di Perth. Tentu saya menjawabnya dengan gembira. “Subuh jam 5.47, Magrib jam 5.20!”
Ini sudah Ramadan ketiga yang saya jalani di kota ini. Kebetulan dapat musim dingin, musim ketika siang hari lumayan pendek. Makanya, tiap kali jawaban saya berikan, selalu ada yang komen, “Uenakeee …!”
Namun, setelah saya pikir-pikir lagi, ada yang mengganjal. Kita melulu mengukur berat ringannya puasa dengan seberapa lama kita menahan lapar dan dahaga. Memalukan sekali, macam anak TK saja. Padahal tantangan puasa yang beneran bukan di situ.
Yang paling terasa adalah perkara suasana. Ini faktor penting yang sangat menentukan kekhusyukan dan kenyamanan Ramadan kita, tapi acap antum tidak sadari.
Antum di situ enak sekali. Tiap hari melihat artis-artis dan host TV yang mendadak berhijab, yang laki mendadak berpeci. Acara-acara keislaman bertaburan. Kuis-kuis Ramadan, sinetron Ramadan, iklan-iklan berganti tema Ramadan, dan yang penting di antara segala yang penting: wajah agung Om Deddy Mizwar yang berseliweran nyaris setiap lima menit!
Itu belum semua. Setiap jam sahur, antum bisa ngemil sambil menyimak pengajian dan “Tafsir al-Mishbah” (tentu saja cuma buat mereka yang sadar dirinya lebih bodoh ketimbang Pak Quraish Shihab. Kalau yang merasa lebih alim dan saleh sih sudah pada nggak mau mendengar beliau). Berangkat kerja, tiba di kantor, pemakluman selalu diberikan bos. Misalnya saat ketahuan ada karyawan ngorok karena kelaparan. Pulang kantor, jalanan sudah riuh rendah oleh berjibun orang yang ngabuburit atau sekadar cari kolak dan es pisang ijo.
Sampai di rumah, menjelang buka selalu ada suara anak-anak di masjid terdekat yang berebut mikrofon dan membaca doa-doa. Belum lagi malamnya, saat dari TOA yang sama bentar-bentar terdengar, “Aaamiiin …!” dari jamaah Tarawih. Duh, Ramadan bangeeet!
Ha, di sini? Boro-boro suara anak berisik di TOA. Suara azan saja dengarnya cuma kalau pas kebetulan ada teman yang hapenya dipasangi aplikasi waktu salat dan tiba-tiba bunyi kenceng banget. Itu pun biasanya dia langsung geragapan cepat-cepat mematikan hape karena sedang di tempat umum. Hahaha.
Beberapa kali di waktu sahur saya buka yutub buat nyetel lagu-lagu yang buat saya paling so Ramadan. Ada tiga nih kalau buat saya: Bimbo, Hadad Alwi, sama Opick. Eh giliran saya setel, anak saya langsung protes karena dia juga punya agenda sendiri.
Anak saya Hayun lagi tergila-gila sama mainan aneh, Hatchimals namanya. Itu telur-teluran yang bisa menetas sendiri, lalu keluar dari dalamnya makhluk jelek hibrid antara penguin dan ayam, dan kalau diajak ngomong bisa begini begitu. Dia nonton itu di yutub tak bosan-bosan sampai membubarkan konser Bimbo dan Hadad Alwi, lalu minta bapak ibunya membelikan itu mainan.
Jelas saya tak sudi. Harganya 79 dolar alias 800 ribu perak, Brooo! Mihil! Tapi akhirnya saya menyerah juga. Penyebabnya adalah puasa dan keringnya suasana Ramadan itu tadi.
Dua tahun lalu, waktu kami di Ramadan di Indonesia, Hayun kuat puasa. Tapi, tahun berikutnya kami sudah balik ke sini. Kemudian muncullah itu. “Kok di sekolah cuma aku to the only one yang puasaaa?” Maka tumbanglah dia.
Tahun ini dia sudah menjelang delapan tahun. Kacau juga kalau sama sekali nggak mulai dibiasakan. Maka, dengan berat hati kami menyerahkan nasib anak kami kepada Hatchimals sialan itu.
“Ya sudah, sekarang tiap kali berangkat sekolah kamu bawa duit 4 dolar. Kalau beneran nggak kuat puasa, itu duit kamu pakai buat jajan. Tapi kalau kuat, duitnya kamu tabung, terus kalau sudah cukup boleh buat beli Hatchimals.”
Tentu ini kompromi politik habis-habisan. Saya sebenarnya pengin ngomong sambil menyeka air mata, “Heh, duit segitu itu gaji bapakmu sebulan waktu dulu ngelamar emakmuuu!” Tapi sudahlah. Toh tanpa iming-iming surga Hatchimals, agaknya dia juga bakalan kebanyakan alasan buat menolak puasa.
***
Itu terkait suasana. Berikutnya terkait godaan. Dengan situasi seperti yang antum semua jalani, godaannya palingan cuma lapar, haus, dan gibah politik di grup-grup WhatsApp. Lha di sini, sudah cantolan suasananya nggak dapat, tekanan-tekanan eksternal berjibun.
Bukan, ini bukan tentang diskriminasi dan semacamnya. Saya kasih contoh saya sendiri saja. Saya kerja jadi delivery man, kurir barang. Setiap hari pasti kirim barang ke banyak restoran dan warung makan. Di saat antum nggak lihat ada restoran buka, saya ini malah belusukan masuk ke dapur-dapur restoran, menciumi bau steak panggang atau apalah yang langsung menerobos hidung saya, juga bau seduhan kopi yang diseruputi orang-orang lebih kencang saat musim mulai mendingin.
Kadang kepikiran juga betapa asyiknya kalau saya bisa macam antum semua. Bawa rombongan, datang ke restoran-restoran itu, lalu sambil mengatasnamakan sebuah ormas memberi ultimatum dengan dua opsi: tutup atau gebuk. Sepertinya nikmat sekali kalau saya bisa menjalankan puasa dengan cara begitu. Saya pasti akan merasa lebih bertakwa. Apalagi kalau bisa minta THR ke restoran yang barusan saya razia, tentu ketakwaan saya bakalan makin sempurna.
Ah, tapi soal bau dan tampilan makanan mah enteng. Cuma puasawan cengeng aja yang lihat orang makan terus maunya langsung main sweeping. Yang lebih berat adalah … anu. Gimana ya ngomongnya.
Begini. Area kerja saya adalah daerah perkantoran merangkap wisata kota, lalu memanjang mentok sampai ke pantai. Ini membawa konsekuensi tak ringan buat iman saya yang ndlap-ndlup ini. Kenapa? Sebab mayoritas pelanggan yang setiap hari saya jumpai adalah mbak-mbak resepsionis kantor, pelayan restoran, penjaga toko, para asisten dokter gigi, mbak-mbak perawat di rumah sakit, dan … pokoknya segala jenis keindahan duniawi lainnya. Oh ….
Jangan antum bilang, “Halaaah, sama penjaga toko aja ngiler lu, Ndro ….” Antum salah sangka. Di sini, konsep status yang berlaku tidak sama dengan di tempat kita. Pekerjaan-pekerjaan yang saya sebut di atas tak jarang diisi oleh mbak-mbak kinyis-kinyis, yang kalau di Indonesia sudah jadi rebutan banyak production house buat dilamar jadi artis sinetron menggantikan Chincha Laura.
Belum lagi sekarang ini musim dinginnya nggak jelas. Kadang dingin beneran waktu pagi, eh siangnya mendadak jadi gerah. Di saat panas begitu, mbak-mbak tadi jadi suka pakai kostum yang, anu, lucu-lucu. Bayangkan saja, bagaimana saya harus memegangi kertas atau PDA di depan mereka, dan mbak-mbak berkostum lucu itu mendekat, dekat sekali, untuk mencoretkan tanda tangan bukti penerimaan barang. Apa mereka peduli dengan dada saya yang berdentam-dentam tak keruan demi perdjoeangan mempertahankan iman?
Belum lagi di toko-toko dan restoran di area pantai. Tapi, saya tak mau menceritakannya. Takut puasa antum rusak jadinya karena bisa-bisa malah saya yang menghadirkan godaan ke hadapan otak antum semua. Padahal ingat, antum menyiapkan diri berpuasa bukan untuk melawan godaan kan? Melawan gimana, lha wong sebelum godaan datang sudah antum berangus duluan kok. Hwahwahwa.
Dan persis di titik itulah saya jadi teringat tausiah Ustadz Goenawan Mohamad, Lc.: “Moralitas itu hanyalah bangunan ketakutan dari mereka yang cemas akan libido diri sendiri.”
Wallahualam bissawab.