MOJOK.CO – Jujur soal hobi kepada pasangan adalah salah satu hal penting yang sering kita abaikan. Padahal, di Amerika, masalah ini sampai diseminarkan dengan judul besar, “How to Keep Your Hobbies and Your Marriage?” lho.
Sahabat Celenger yang motivasi menabungnya naik turun seperti roller coaster rusak,
Hal yang sering luput dijadikan perbincangan pasangan yang akan menikah adalah kebiasaan-kebiasaan setelah menikah, apakah dalam perkembangannya akan mengganggu atau membawa konsekuensi ketidakharmonisan. Pernahkah kalian dengan pacar membahas soal-soal tersebut?
“Ay, ini misalnya ya, ntar kalo sudah serumah, satu saat Mas tidurnya ngorok karena kerja keras bagai kuda, kira-kira bikin sebel nggak?”
“Ihhh… Mas ngorok ya? Duhhh Adek ngeri nih. Eh, halus apa kenceng? Staccato atau crescendo?”
“Ay… itu kan misal. Sejak awal udah kukatakan misalnya,”
“Becanda, Mas sayang. Kalau pun satu saat ngorok, sekencang apa pun itu, kalau asalnya dari orang tersayang pasti seperti orkestrasi yang menjanjikan rasa tenang, teduh dan menghanyutkan. Jadi nggak sabar nikah nih, Mas”
Kenyataan biasanya ya tidak seempuk omongan saat lagi sayang-sayangnya. Begitu akhirnya berumah tangga, ternyata capek atau tidak suaminya tetap ngorok dengan kekuatan penuh. Tidak ada orkestrasi alam yang menakjubkan, kuping harus ditutup rapat, dan bahkan kalau dibiarkan berlangsung sampai pagi, getarannya akan membuat biaya renovasi rumah harus dianggarkan lebih.
“Pah, lihat tuh dinding kamar retak karena dengkuran semalam. Papa harusnya paham kalau mama itu sayang banget sama Papa, tapi kalau begini terus, kan kasihan dindingnya!!1!”.
Mengerikan sungguh. Bagaimana dengan perempuan?
Saat masih pacaran sering terjadi pembicaraan ngelantur soal bagaimana melakukan kegiatan ekonomi, bagaimana mengelola rumah tangga kelak setelah menikah. Dari mulai siapa yang bertugas mencari nafkah, siapa yang mendidik anak dengan porsi lebih sampai dengan bagaimana memenuhi keinginan-keinginan.
“Mas, aku itu pengin berkarir sejauh yang aku bisa, dan aku sangat yakin mampu terbang jauh.”
“Nggak perlu, Dek. Adek tenang aja di rumah, menemani permata hati kita dari detik ke detik.”
“Lah, aku nggak boleh ngapa-ngapain dong? Sayang banget ilmuku”
“Bukan begitu. Bisa kok tetap berkarya di rumah….”
“Tapi, Mas Sayang. Aku tu pengin koleksi tas, sepatu, piknik, dan juga meringankan beban rumah tangga.”
“Tenang aja. Itu semua akan jadi urusan Mas.”
Setelah menikah semua rencana bisa saja tidak berjalan dengan mulus. Obrolan dengan taburan kegagahan dan rasa tanggung di masa pacaran mendadak menjadi ampang. Ini acap kali terjadi dan selalu akan terjadi.
“Pah, ihh lucu banget ini tasnya. Duh dah lama banget pingin yang model ini. Cocok banget kalo dipadupadan dengan sepatu mama yang warna merah. Duh lucu bangettt”
“Lucu mana sama Cak Lontong?”
Sahabat Celenger, itu bakal getir banget. Bayangkan remuknya hati perempuan yang sudah menyalakan harapan dengan jalan memadamkan mimpinya? Cobaan belum selesai. Kalau belanja di minimarket, kemudian anak merengek minta kinder joy yang karena dianggap mahal dan pemborosan kemudian sama sekali tidak diluluskan? Itu ya, perasaan Si Mamah tambah remuk dan berandai-andai, “coba aku bekerja dan mempunyai uang sendiri.”
Sahabat Celenger yang mendadak pingin mengoreksi kesepakatan dengan calonnya,
Tenang… tenang… tenang… tidak semua urusan kehidupan rumah tangga itu soal pahitnya saja. Jangan sampai pernikahan yang merupakan monumen suci suatu hubungan jadi hancur sebelum tegak berdiri. Segera kembalikan ke marwahnya bahwa pernikahan merupakan lembaga permakluman atas segala keinginan-keinginan kita yang sering berubah dari waktu ke waktu seiring dengan kenaikan pendapatan.
Permakluman?
Loh, iya! Kalian para laki-laki harus maklum seandainya suatu saat pasangannya mengatakan, “Aduh, mau pesta nggak punya baju”, “Duh sepatu kok ya cuma itu-itu saja”. Sementara dengan mata kepala sendiri kita menjadi saksi bahwa pasangan kita tak ubahnya seperti artis saat tampil di panggung. Ganti lagu, ganti baju hahaha.
Para perempuan juga kelak akan menyaksikan bagaimana para lelaki setelah menjadi suami tidak ubahnya seperti anak kecil. Velg mobil diganti, sementara saat mengendarai tidak ada orang yang memperhatikan velg termasuk dirinya. Apa ada jenis orang yang saat mobil berjalan melongokkan kepalanya keluar untuk melihat perputaran velgnya?
Anak pun sering harus dijadikan alasan oleh orang tua untuk melakukan pembenaran atas belanja konsol game yang disukainya, “Wah seru ini. Adek pasti suka, Ma. Sekarang kalau main ngegames tidak perlu sendiri lagi atau ke rumah teman”. Sementara anaknya masih bayi, berjalan pun belum. Nanti begitu anaknya yang masih bayi pingin main playstasion terbaru dengan cara dibanting-banting dinasehati, “Adek mainnya nanti aja kalau dah TK”
Di US, mungkin saja hal-hal biasa, kerap kita anggap remeh, dan sering kita abaikan tersebut sangat perlu diseminarkan dengan judul besar, “How to Keep Your Hobbies and Your Marriage?” Hahaha serius, apa pun bisa jadi mereka pikirkan secara serius. Apa lagi satu kebiasaan yang dianggap mengancam sendi-sendi keutuhan rumah tangga. Walaupun setelah mengikuti seminar tetap tidak menunjukkan perbaikan juga.
Hobi atau kegemaran sifatnya ada yang permanen ada yang sementara, ada yang murah ada yang mahal. Misal temannya pelihara burung ikut pelihara. Sudah ikut-ikut, mahal pula! Begitu tau ternyata urusan teleknya tidak segampang dan seindah suara kicauannya yang kadang-kadang saja, segera bosan! Padahal tau sendiri, seorang pehobi pemula biasanya sangat royal. Kandang harus dari perajin khusus, burung harus yang kualitas lomba, dan makanan seperti ulet juga harus dari Hongkong. Emang dikasih makan ulet Pasar Rebo, Bang? Hahaha
Itu belum belanja mainan model kit (rakit merakit) seperti gundam. Judulnya saja mainan tetapi para pelajar hingga mahasiswa secara umum, dengan alasan mahal kurang bisa mengikuti sesuka apa pun terhadap action figures tersebut. Bentuknya sepele saja tetapi berat di ongkos, dari mulai ngerakitnya hingga ngecat mainan tersebut kalau dituruti bisa untuk membeli kendaraan. Nah ini yang kadang para pehobi pun bersiasat di depan pasangannya untuk menutupi hobi mahal tersebut. Tidak jujur atau bahkan pasang tampang melas pun dilakoni.
“Murah kok, Ma. Ini belinya titip teman, trus yang 2 itu bootleg (palsu). Nah, yang kerdusnya jelek itu dikasih teman.”
“Lha murah kok belanjanya berkurang. Ya sudah belikan Mama La Mer, Kanebo, dan Chanel. Nanti aku tulis lengkapnya.”
“Kalo Kanebo Papa punya, Ma.”
“Hiiihhh itu sih lap mobil!”
Jangan, saya kira untuk urusan menekuni hobi kita tetap harus jujur pada pasangan. Toh secara alamiah, manusia dikaruniai ilmu untuk menghindar dari tekukan-tekukan mematikan dari pasangan saat mewujudkan hobi kok. Nah, sebenarnya tinggal dikompromikan saja dengan pasangannya agar setidaknya ada hobi yang seiring. Walaupun mahal pasti akan lebih bisa dipahami.
Begitu mau belanja buku kita diingatkan bahwa masih banyak buku yang belum terbuka plastiknya. Sangat mungkin kita akan dikatakan sebagai, Tsundoku, rajin sekali belanja buku tapi blas tidak hobi membacanya. Kita bisa mengatakan kalau itu demi cita-cita bersama membangun perpustakaan di ruang keluarga. Gimana, jeniyes kan?
Begitu pun untuk yang mengaku hobi fotografi. Saat harus membeli kamera profesional beserta gearnya yang sudah pasti mahal dan butuh biaya tidak sedikit kita bisa mengatakan ini pas sekali untuk bikin foto yang cetar di media sosial, “lensanya harus yang standar untuk model seperti ini, Ma. Selain fotonya keren, lensa juga investasi, harganya tidak pernah turun.” Begitu punya, lebih seneng memotret macan di kebon binatang yang tidak rewel ngarahin kita saat memotret.