Kegalauan milenial terpenting sesudah bubur ayam diaduk atau tidak diaduk adalah soal cium tangan.
Setelah hidup berpuluh (atau bahkan ratusan?) tahun, budaya cium tangan hari ini telah bertransformasi ke dalam empat bentuk. Secara definitif namanya tetap cium tangan, tetapi pada praktiknya, cium tangan dilakukan dengan (1) mulut-tangan, (2) dahi-tangan, (3) pipi-tangan, dan (4) menempelkan dahi ke tangan sendiri saat salaman.
Mana yang betul?
Di Barat, lumrah terjadi laki-laki mencium tangan perempuan. Itu lebih ke bentuk kekaguman, seolah hendak mengatakan, “Ini lho, aku, begitu memujamu dan mendambakanmu.” Kalau di film-film, adegan ini satu paket dengan membukakan pintu mobil.
Ini jadi membuat kita berpikir, apa perempuan di sana itu mbeler-mbeler selalu minta dilayani atau laki-lakinya kelebihan energi? Sementara, sedikit pun mereka tidak mempunyai kehendak untuk mencium tangan orang tuanya. Apalagi membukakan pintu untuk mereka.
Ciuman tangan sebagai pernyataan rasa hormat dan bukti kesetiaan dapat kita lihat pada film terbaik sepanjang masa: The Godfather. Jika Vito Corleone sudah memberikan “penawaran yang tidak dapat ditolak”, orang yang dimaksud harus datang menghadap dan mencium tangannya.
Di Indonesia, cium tangan bertujuan sebagai penghormatan. Dilakukan oleh orang yang muda ke yang lebih tua. Tapi, kadang menimbulkan kebingungan juga ketika kedua belah pihak usianya setara dan sama-sama terhormat. Jadi saling sungkan siapa yang harus lebih dihormati. Kasus demikian pernah terjadi antara Yusuf Mansyur dan Buya Yahya di Cirebon. Mereka terlihat gantian cium tangan. Itu lumayan bikin bengong untuk orang awam walau sebenarnya malah jadi lebih adil.
Soal empat praktik cium tangan tadi, yang nomor empat (menempelkan dahi ke tangan sendiri) memang yang paling ajaib.
Sepertinya pengaruh itu sebagian datang dari ajaran Tante Kalis Peggy Melati Sukma. Aneh? Pasti! Tetapi itu sudah membudaya. Orang menyadari itu tapi tidak mampu berbuat banyak.
Saya pernah membaca tulisan seorang aktivis bahwa cara cium tangan yang salah menjadi salah satu penyebab korupsi marak di Indonesia. Dengan semangat dia memaparkan, “Lihat saja, ngomongnya cium tangan, tapi nempelin tangan ke dahi atau pipi.”
Nah, ini mulai gawat. Apakah artinya KPK harus turun tangan? Apakah Fahri Hamzah harus memobilisasi DPR untuk menentukan KPK boleh atau tidak mengintervensi perkara cium tangan? Perlukan ada slogan baru berbunyi “Berani mencium tangan, hebat!”?
Tapi, sebagai orang tua yang bijak, harusnya kita mencari akar permasalahan. Kenapa generasi milenial malas cium tangan yang mencium tangan beneran?
Kemungkinannya, satu, takut bau. Aroma menyengat bawang, terasi, ikan, duren, atau nasi padang kurang disukai. Itu kalau yang dicium tangannya Ibu-ibu. Kalau tangan neneknya, besar kemungkinan beraroma minyak kapak, Rheumason, dan param kocok. Bagaimana dengan tangan bapak-bapak dan kakek-kakek? Ada di kemungkinan kedua.
Dua, mereka sadar kesehatan. Mereka menghindari terhirupnya bakteri melalui hidung dan mulut. Pipi dan dahi akhirnya yang mewakili tradisi tersebut. Apalagi tangan bapak dan kakek-kakek kadar higienisnya sangat memprihatinkan.
Saya sendiri dulu bukan tim cium “mulut-tangan”. Di keluarga saya, tidak ada tradisi itu. baru ketika saya pacaran dengan perempuan yang sekarang jadi istri ada sedikit perubahan. Kok ya tiap saya mau pulang dari apel, si Cinta pakai acara cium tangan. Hal yang sungguh saya sayangkan kenapa tidak lebih dari itu.
Revolusi terjadi setelah menikah. Istri secara khusus meminta, lebih tepatnya mengharuskan, saya untuk cium tangan mertua.
“Harus?”
“Lha iya, Mas. Mau nggak dianggap anak?”
Wah, ini urusan kok jadi ngeri. Demi cinta ya tetap saya lakukan walau ragu dan pasti kurang nyaman. Pertama kali terlihat kikuk sekali.
Tapi, lama-lama saya terbiasa dan kemudian, mulai mencium tangan orang tua sendiri. Fantastis. Pertama kali mencium tangan Ibu, bau bandeng.
Beliau juga sepertinya membatin, Ini anak mencurigakan, tidak seperti biasanya, apakah dia sudah mendapat hidayah? Biasa juga cium pipi kanan pipi kiri ala orang bule.
Sejauh ini orang tua tidak mempermasalahkan, bahkan mempertanyakan pun tidak. Walau ada saat ketika mau dicium tangannya, seperti hendak menarik tangan. Mungkin anak laki-laki satu-satunya ini terlihat seperti hendak menggigit.
Ketika hijrah ke Jakarta, saya dapati di sini cium tangan membudaya masif. Pernah ada kejadian, suatu kali saya harus menggantikan seorang dosen untuk mengajar kelas ekonomi mikro. Apa yang terjadi begitu mengejutkan. Setiap mahasiswa dan mahasiswi yang masuk kelas menciumi tangan saya. Sebagai informasi, kelas itu diikuti 70 orang.
Itu pengalaman yang mengesankan. Perasaan saya melambung dan terharu. Hampir saja mata kuliah tersebut saya ganti dengan pengajian biar semakin adem. Sebab, seumur-umur sekolah di Yogya, belum pernah saya mendapat pengalaman serupa. Masuk ruang kuliah ya nyelonong saja.
Waktu menempa saya dari ateis-cium-tangan menjadi fanatik-cium-tangan. Saya larut dengan kebiasaan itu. Sampai kemudian kebiasaan itu menjadi masalah.
Saat itu saya menyambangi kantor teman, sebut saja namanya Anton. Sudah jelas ada acara standar: salaman. Ketika berhadapan dengan Anton, tangan saya otomatis mengarah ke mulutnya. Sempat ada tarik-menarik. Hampir dia mencium tangan saya.
Dia lalu menyadari dengan cepat dan segera mengibas. Mukanya merah merona. Bukan malu, tapi emosi dan merasa kotor. Beberapa saat kemudian, meluncurlah kata yang begitu universal,
“ASUUU!”