MOJOK.CO – Merenungkan nasib malang tokoh dalam cerpen Leo Tolstoy, “Tuhan Tahu, tapi Ia Menunggu”.
Di teras sebuah masjid pada satu malam Ramadan yang gerah dan berdebu beberapa tahun silam, saya membaca sebuah cerpen. Cerpen secara teknis bisa dituntaskan dalam hitungan menit. Paling lama seperempat jam. Sebentar sekali. Tetapi, yang lama adalah efek cerpen itu di dalam jiwa dan pikiran. Gangguan yang ditinggalkannya membuat saya tidak bisa memejamkan mati hingga fajar. Cerpen itu berjudul “God Sees the Truth, but Waits” (Tuhan Tahu, tapi Ia Menunggu) buah pena sastrawan Rusia Leo Tolstoy.
Cerpen itu bercerita tentang Ivan Dimitrich Aksionov, saudagar muda dari kota Vladimir. Dua buah toko dan sebuah rumah membuat hidupnya sempurna, dan ia seorang yang selalu riang dan bahagia. Tapi, sebuah “peradilan sesat” merampas kemewahan itu, menjadikannya hidup merana di penjara selama sisa umurnya.
Semua bermula ketika pada suatu musim panas Aksionov akan berangkat ke Pasar Malam Nizhny untuk berdagang. Istrinya tak mengizinkannya karena ia telah mendapat firasat buruk dalam mimpinya. Ia melihat suaminya telah tua renta dengan rambut beruban dan janggut yang panjang. Tapi, Aksionov bersikeras untuk tetap pergi.
Di tengah perjalanan ia berjumpa dengan temannya yang juga berdagang dan mereka pun menginap di losmen yang sama. Pagi-pagi ia bangun dan melanjutkan perjalanan, tanpa mengetahui bahwa temannya telah mati terbunuh.
Setelah berkereta sekira dua puluh lima mil, ia ditangkap polisi. Ia dituduh sebagai pembunuhnya. Meski ia berkilah, polisi tidak percaya karena semua bukti, terutama sebilah pisau bernoda darah yang ditemukan di dalam tasnya, mengarah kepadanya sebagai pembunuh.
Ia dimasukkan ke kereta dengan kaki diborgol. Uang dan barang-barangnya disita. Ia hanya bisa berdoa dan mengingat Yesus. Dalam persidangan ia dituduh telah membunuh dan merampok sahabatanya, saudagar dari Ryazan.
Istrinya bersama anak-anak mereka yang masih kecil datang menengoknya. Ia menyesalkan dulu suaminya tak mempercayai mimpinya. Ia bertanya kepada suaminya, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia memang membunuh dan merampok? Ia bilang tidak dan ia hanya korban salah tangkap. Istrinya mengatakan bahwa ia telah minta tolong kepada Tsar, tapi tidak dikabulkan. Jam besuk habis. Istri dan anak-anaknya pun pergi. Itulah terakhir kali ia berjumpa dengan anak dan istrinya.
Ketika si istri sudah pergi, ia termenung. Bahkan istrinya pun menyangsikan kejujurannya. “Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu kebenaran ini dan hanya kepada-Nya kita berdoa dan minta ampun.” Ia pun pasrah. Tak mengajukan gugatan dan tak berharap banyak, ia hanya berdoa kepada Tuhan.
Ia dijatuhi hukuman cambuk. Setelah itu, ia dibawa ke Siberia bersama para pekerja paksa lainnya.
Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai seorang pekerja paksa. Rambutnya memutih dan janggutnya tumbuh panjang. Ia tak lagi ceria, selalu menunduk, berjalan pelan, sedikit bicara, tak pernah tertawa, namun selalu dan tak pernah alpa berdoa.
Di dalam penjara Aksionov bekerja dan hasil pekerjaannya ia belikan buku agama. Setiap minggu ia ke gereja, membaca pelajaran, dan menyanyi dalam paduan suara. Aksionov mendapat julukan “orang tua yang saleh” dan disenangi oleh para pejabat penjara dan rekan-rekannya. Ia menjadi utusan para tahanan setiap kali mereka perlu berbicara dengan pengurus penjara dan menjadi juru damai setiap kali ada perselisihan.
Suatu hari, sekelompok tahanan kerja paksa baru datang. Salah seorangnya adalah Makar, berusia enam puluh tahunan. Makar bilang ia sebenarnya tidak bersalah, tapi ditangkap. Padahal dulu ketika ia merampok dan membunuh seseorang, justru ia tidak ditangkap.
Dari perbincangan Aksionov tahu, Makarlah pembunuh temannya itu dan yang kemudian meletakkan pisau di dalam tasnya. Berhari-hari ia berpikir apakah akan membalas dendam. Dua puluh enam tahun berlalu. Ia kini telah tua. Ia selalu terbayang istri dan anaknya ketika terakhir bertemu. Yang besar memakai mantel dan yang kecil masih menyusu. Ia tidak pernah lupa bagaimana ia dicambuk dan dipaksa bekerja. Tetapi, setelah tarik-menarik dalam pikiran itu, ia kemudian memutuskan untuk tidak membalas dendam.
Dua minggu setelah itu, ia tanpa sengaja melihat Makar sedang berusaha kabur dengan menggali tanah. Makar mengancam akan membunuhnya jika ia melapor. Ia menjawab, “Aku sama sekali tak ingin pergi dari sini. Dan kau tak perlu membunuhku, kau telah membunuhku sejak lama! Tentang perbuatanmu ini, apakah aku akan melaporkan atau tidak, Tuhan yang akan memberi petunjuk.”
Penggalian tanah untuk kabur akhirnya diketahui sipir penjara. Semua penghuni ditanyai siapa yang menggali tanah. Tak ada yang mengaku. Hingga akhirnya Aksionov yang diketahui sebagai orang jujur ditanya. Inilah saat yang tepat baginya untuk membalas dendam dengan mengatakan yang sebenarnya.
Tapi, ia berpikir, mungkin dengan pengakuannya itu Makar akan dicambuk mati. Maka, ia pun berkata, “Aku tak bisa mengatakannya, Tuan. Tuhan tidak menghendakiku untuk mengatakannya! Lakukan saja apa yang Anda inginkan atas diriku ini, aku berada di tangan Anda.” Karena Aksionov tidak mau berkata lebih banyak lagi, perkara itu dianggap selesai dan Makar selamat dari hukuman mati.
Malamnya, ketika Aksionov berbaring dan mulai terlelap, Makar diam-diam menghampiri. Ia mengaku dialah sebenarnya sang pembunuh temannya dulu. Ia ingin minta maaf dan akan membuat pengakuan agar Aksionov bebas dan pulang kembali ke rumah istri dan anaknya.
Tapi, Aksionov merasa tak memerlukan pengakuan itu lagi. Ia ingin hidup di penjara saja.
Makar tidak mau beranjak, ia justru membentur-benturkan kepalanya ke lantai. “Aksionov, maafkan aku!” tangisnya. “Ketika mereka mencambukku dulu, tidaklah seberapa berat menanggungnya dibandingkan melihatmu seperti saat ini. Bahkan kau pun telah mengasihaniku dengan tidak melaporkanku kepada mereka siang tadi. Demi Kristus, ampuni aku, aku memang brengsek!” Dan ia pun menangis terisak.
Ketika Aksionov mendengarnya mengiba begitu, ia pun ikut menangis. “Tuhan akan mengampunimu,” katanya. “Mungkin aku seratus kali lebih buruk daripadamu.”
Dan dengan kata-kata ini hati Aksinonov terasa ringan dan terang. Kerinduan kepada rumah hilang. Ia benar-benar tak memiliki keinginan lagi untuk meninggalkan penjara dan hanya mengharap agar saat-saat terakhirnya segera tiba.
Makar tetap melapor dan memberikan kesaksian bahwa dialah pembunuh sebenarnya. Tapi, ketika perintah pembebasan atas diri Aksionov dikeluarkan, ia baru saja meninggal.
***
Dengan dingin, Tolstoy menulis cerita ini dan mengakhirinya dengan sebuah antiklimaks yang menyayat. Aksionov meninggal dalam kemalangan tanpa sama sekali mencicipi indahnya kemenangan.
Apakah di dunia betul-betul ada seorang manusia yang nasibnya seperti Aksionov, yang menanggungkan penderitaan yang tak terperikan? Apakah keadilan itu ada? Dan akhirnya, apakah Tuhan itu ada? Kalau ada, mengapa ia membiarkan hambanya yang saleh menderita sedemikian rupa?
Cerpen ini membuat saya waktu itu benar-benar memikirkan keberadaan Tuhan, bertanya-tanya, merenung, dan sedikit agak guncang.
Karena penulisnya berasal dari Rusia, dengan pengetahuan yang sangat minim tentang Tolstoy, sebagai anak Orde Baru saya sempat curiga bahwa cerpen ini ditulis agar pembacanya tidak percaya Tuhan. Doa-doa hanyalah omong kosong. Kebaikan hanya bualan. Singkatnya, cerpen ini ditulis oleh seorang ateis, seorang yang tak mengakui keberadaan Tuhan dengan segala kasih sayangnya.
Tiba-tiba judul “Tuhan Tahu, tapi Ia Menunggu” menggema di telinga seperti ejekan. Dan rentetan makna semiotisnya muncul berbaris. “Tuhan tahu tapi Ia tidak (bisa) berbuat apa-apa”, “Tuhan tahu tapi Ia membiarkan saja”, “Tuhan tahu, tapi Ia memandangnya saja”… dan seterusnya.
Kecurigaan ini segera mencair ketika saya tahu Leo Tolstoy adalah sosok religius dan banyak menulis cerpen dengan bobot perenungan yang dalam. Tolstoy mengalami pencerahan agama yang kuat yang membuatnya meninggalkan kemewahan dan kesenangan dan menerima ajaran Yesus. Dia dianggap seorang “Kristen anarkis” berpengaruh dengan menguraikan filsafat Kristen pasifis tentang perlawanan tanpa kekerasan terhadap kejahatan, dan meraih banyak pengikut dari seluruh dunia. Bahkan, pemikirannya diakui telah mengilhami para penulis dan beragam pemikir seperti D.H. Lawrence, Mohandas Gandhi, dan Martin Luther King, Jr.
Cerpen ini dengan demikian harus dibaca dengan lebih tenang. Membacanya secara permukaan akan membuahkan kekecewaan. Karena ia bukan sekadar cerita tentang adanya “peradilan sesat” dan korbannya yang tak berdosa. Ia sebenarnya bercerita tentang transformasi jiwa, suatu proses pencerahan. Kalau dalam bahasa yang ngetren sekarang, sebuah proses “hijrah” Aksionov. Proses itu dimulai dari kemewahan dunia, tiba-tiba harus pindah ke penderitaan dan kemalangan, dan akhirnya terbebas menjadi jiwa yang tenang. Proses seperti ini pula yang dialami oleh Yesus dan memang Aksionov dalam cerpen ini, menurut saya, digambarkan oleh Tolstoy sebagai jelmaan Yesus.
Melalui deraan penderitaan dan kemalangan tak pernah habis, Aksionov bertransformasi menjadi seorang dengan jiwa yang bersih dan tenang. Sejak awal penangkapan, ia telah berpasrah diri kepada Tuhan ketika hampir-hampir tidak ada lagi tempat untuk berpasrah. Pelan tapi pasti, ia melupakan kehidupan dunianya. Imam Ahmad bin Hanbal, ulama fikih terkemuka dan salah seorang imam mazhab, dalam kitab Az-Zuhud pernah mengutip ucapan Yesus,
“Orang yang terlalu bersedih ketika tertimpa kesusahan adalah mereka yang begitu terpaut pada dunia ini.”
Itulah mengapa Aksionov tidak pernah digambarkan berupaya melarikan diri atau bunuh diri. Ia dengan sabar dan tabah menjalani hukuman atas dosa yang tak pernah ia lakukan.
Transformasi diri ini makin meningkat ketika Aksionov mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Tetapi, ia tidak melakukan hal itu karena tidak ingin Makar menderita dalam kematian. Kembali di sini jiwa Yesus memantul dalam diri Aksionov. Kata Ibnu Hanbal yang mengutip ucapan Yesus lagi,
“Kalau engkau ingin membaktikan dirimu sepenuhnya kepada Tuhan dan menjadi cahaya bagi anak cucu Adam, maafkanlah mereka yang telah berbuat keburukan kepadamu….”
Aksionov bukan saja tidak hendak membalas dendam, ia bahkan memaafkan dan “menyelamatkan” jiwa Makar. Menurut saya, persis di sinilah kunci (atau dalam bahasa guru sastra: pesan moral) cerpen ini. Yakni kekuatan memaafkan tidak hanya mengubah orang yang memaafkan, tetapi juga orang yang dimaafkan. Transformasi jiwa Aksionov telah membuahkan transformasi seorang Makar.
Tiba di sini, penting dikemukakan kutipan Abu al-Layts al-Samarqandi dalam Tanbih al-Ghafilin yang mengutip Injil,
“Orang yang menuai kejahatan akan menuai penyesalan.”
Dibaca dengan lebih tenang dan pikiran lebih terbuka, saya merasakan cerpen ini memendarkan cahaya yang berkilauan.
Baca edisi sebelumnya: Surat buat Tuhan dan tulisan di kolom Iqra lainnya.