MOJOK.CO – Memangnya salah ya kalau perempuan nonton film di bioskop sendirian tanpa geng, tanpa teman-teman, tanpa pacar? Ealah, memangnya kita ini lebah apa harus bergerombol?
Beberapa hari lalu, film yang saya tunggu-tunggu akhirnya rilis dan saya memutuskan untuk menontonnya, sendirian.
Ya, sendirian, karena kadang ada kalanya kita terlalu malas menghadapi ribetnya mengatur jadwal menonton dengan teman; harus mencocokkan jadwal, mood, film yang mau ditonton, lokasi bioskop, siapa yang pesan tiket, cara bayarnya gimana, mau duduk di baris apa, sebelah mana, ke lokasi naik apa, mau makan apa, dll, dst, dsb. Tadinya excited mau nonton, eh ujung-ujungnya cuma wacana.
Jadilah malam itu, saya memutuskan untuk mampir ke bioskop di sebuah mall yang searah dengan jalan pulang saya, sendirian. Singkat cerita, terjadilah dialog singkat atara saya dan mbak-mbak penjaga loket (Mbaket) saat itu yang membuat saya merasa entahlah:
Saya : Mbak 1 tiket untuk film XXXX jam 19.30 ya
Mbaket : Silahkan dipilih kursinya, yang putih sudah terisi, layar di bagian atas.
Saya : Hmm… B11 deh mbak, eh gak jadi, A11 aja mbak
Mbaket : Oke, 1 tiket film XXXX jam 19.30 ya, makanan dan minumnya apa mbak?
Saya : Gak usah mbak
Mbaket : Sedih ya sendirian (sambil menyerahkan tiket dan tertawa kecil)
Saya : Hehe terima kasih (sambil tersenyum dan melengos pergi)
Yak, ada yang aneh menurut Anda? Entah hanya saya atau tidak, tapi kalimat terakhir dari Mbaket tersebut terasa aneh, dan tidak pantas, bagi saya. Hal pertama yang terlintas di benak saya saat itu adalah: “apanya sih yang menyedihkan?”. Lalu muncul juga pertanyaan lanjutan, “emang salah ya nonton sendirian?”, “apakah perempuan nggak boleh nonton sendirian?”
Padahal malam itu saya sangat excited dan gembira mau nonton film yang memang saya tunggu-tunggu. Sama sekali tidak merasa sedih, tapi kemudian merasa entahlah karena komentar sepelenya. Ah, tahu apa mbak-mbak itu.
Saya mengartikan komentar Mbaket sebagai “nyinyiran” yang saya rasa tidak tepat bagi saya hanya karena malam itu saya memutuskan untuk pergi menonton film kesukaan saya, sendirian, di bioskop. Mungkin saya terlalu sensitif, tapi menurut saya, pengalaman itu sedikitnya menggambarkan bahwa sesungguhnya ada prejudice yang tidak tepat bagi orang-orang yang menonton film sendirian di bioskop.
Apa cuma jomblo-jomblo (yang sering kali dianggap) menyedihkan yang nonton sendirian di bioskop? Enggak, yang udah punya pacar juga ada, bahkan yang udah menikah pun ada. Seperti Pakde saya yang sukanya nonton bioskop sendirian karena Bude nggak suka nonton di bioskop dan anak-anaknya merantau semua.
Apa kemudian Pakde saya yang suka nonton film sendirian di bioskop berarti tidak punya teman dan menyedihkan? Enggak, nonton sendirian adalah pilihan, karena ada kalanya kita sebagai manusia ingin melakukan suatu hal sendirian, atau ya itu, kembali ke alasan awal, terlalu malas menghadapi keribetan yang mungkin terjadi ketika bersama orang lain.
Prejudice tersebut menurut saya harusnya tidak perlu dilestarikan, karena menonton film sendirian atau dengan orang lain adalah sepenuhnya hak tiap individu. Kalau kita bisa memilih mau menonton film dengan siapa, lalu kenapa kita tidak bisa memilih menonton film tidak dengan siapa-siapa?
Nih ya, misalkan kita emang jomblo (iya, aku jomblo, iya~), apakah berarti kita nggak boleh nonton film sendirian karena orang lain bilang itu menyedihkan? Enak aja, jomblo-jomblo tuh bahagia, setidaknya lebih bahagia dari mereka yang punya pacar tapi pacarnya nonton sama orang lain.~
Terus misal kita suka banget film tertentu, tapi nggak ada orang-orang di sekitar kita yang suka, apakah itu berarti kita nggak boleh nonton sendirian di bioskop dan harus nunggu DVD rilis (atau warnet rilis) yang entahlah kapan karena orang lain berpikir bahwa menonton sendiri itu aneh?
Enggak lah, kita bebas dan berhak pergi nonton film sendirian di bioskop kalau kita memang ingin. Kita nggak ngerugiin siapa-siapa dengan pergi sendirian. Kita nonton juga bayar pakai uang sendiri kan, bukan pakai uang korupsi dana bantuan desa atau uang negara.
Di sisi lain, pengalaman itu juga sedikit membuat saya menyadari bahwa perlakuan diskriminatif itu bisa terjadi tanpa ada niat pelakunya tapi kayak emang sudah bawaan di bawah alam sadar gitu.
Bagaimana tidak? Beberapa teman laki-laki saya pernah bercerita kalau mereka sering pergi menonton film sendirian di bioskop, tapi tidak pernah ada cerita si penjaga loket tiket mengomentari mereka; kenapa nonton sendiri? Yang saya maksud “beberapa” berarti bukan hanya 1 atau 2 orang, dan sering berarti mereka paling tidak sudah lebih dari 5 kali mengaku tidak mengalaminya.
Lalu, kenapa Mbaket berkomentar seperti itu ke saya? Padahal saya nggak pasang tampang “menyedihkan”, lho. Emangnya cuma laki-laki saja ya yang boleh menonton film sendirian di bioskop? Enggak, kan? Perempuan juga boleh dong.
Menurut saya, apa yang dilakukan Mbaket tersebut merupakan bentuk “nyinyir”-nya kaum perempuan yang didasari oleh prejudice yang tidak perlu ada. Memangnya apa cuma perempuan yang keseringan “nyinyir”? Oh, nggak juga. Laki-laki juga banyak kok, tapi menurut pengalaman saya, perempuan lebih sering dan lebih gampang “nyinyir”. Apalagi ke sesama perempuan.
Sebenarnya, arti kata “nyinyir” yang saya maksud di sini menyimpang jauh dari artinya menurut KBBI. Nyinyir menurut KBBI adalah “mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet.” Tapi “nyinyir” yang saya maksudkan (dan banyak orang lain maksudkan) adalah perilaku di mana seseorang dengan sangat mudah mengomentari orang lain (cenderung berkonotasi negatif atau sindiran) hanya dari apa yang terlihat. Itulah kenapa saya kasih tanda kutip sebagai penanda beda.
Kebetulan, saya baru 3 kali pergi menonton film sendirian di bioskop. Dan kebetulan juga, dua pengalaman sebelumnya saya ketemunya sama Masket (mas-mas penjaga loket tiket), bukan sama Mbaket. Eh kebetulan lagi, dua Masket yang berbeda tersebut tidak berkomentar apa-apa ketika saya membeli tiket. Lalu, apakah juga sebuah kebetulan ketika saya akhirnya ketemu Mbaket kemudian Mbaket tersebut melontarkan komentar yang membuat saya merasa entahlah itu?
Menurut saya, pengalaman tersebut membenarkan premis bahwa perilaku “nyinyir” lebih sering dilakukan oleh perempuan daripada oleh laki-laki, dan perempuan lebih sering “nyinyir” kepada sesama perempuan secara lebih terbuka dan terkesan nggak mikir. Ini bahaya. Masa sesama perempuan malah saling menjatuhkan?
Apa yang dilakukan oleh Mbaket, yaitu “nyinyirin” saya yang nonton sendirian di bioskop merupakan wujud nyata adanya prejudice yang hadir dan dilanggengkan di masyarakat. Hal yang tergambar dari perilaku sederhana seperti Mbaket yang saya ceritakan itu..
Pertanyaan refleks semacam ini bisa muncul karena memang sudah diulang-ulang terus narasi bahwa nggak seharusnya perempuan sendirian; nanti nggak aman. Nggak seharusnya perempuan mandiri; nanti nggak ada yang berani ndeketin, nggak ada yang bakal mau nikahin, pada takut pada minder.
Nggak seharusnya perempuan bekerja; nanti suami dan anak terlantar. Nggak seharusnya perempuan nonton bioskop sendiri, nanti dikira jomblo, nggak punya pasangan, merana, menyedihkan, lalu ditanya sama-sama Mbaket “kok sendirian aja?”. Terus seperti itu terus dengan banyak label nggak seharusnya, nggak seharusnya, dan nggak seharusnya yang lain.
Padahal yang nggak seharusnya ada di muka bumi—sejak awal dan harus punah bareng dinosaurus—ya prejudice kepada perempuan bahwa kami ini tak patut/bisa sendirian.