MOJOK.CO – Sebagai perempuan yang hidup dalam sistem patriarki kemudian memutuskan menjadi feminis, ada beberapa hal yang harus kamu relakan untuk dilepaskan.
Saya mulai tertarik dengan feminisme sejak menduduki bangku semester keempat perkuliahan saya, which is sekitar tahun 2016. Waktu tahu konsep-konsep dasar pemikiran ini, seperti kepemilikan otoritas tubuh sepenuhnya, penghapusan seksisme dan body shaming dalam hubungan sosial, hingga memiliki kesempatan setara dengan pria dalam berbagai aspek. Kira-kira kemudian saya berpikir: “Inilah jalan yang sesuai untuk diriku!”
Namun ternyata, ketika nilai-nilai itu dipraktekkan di kehidupan sehari-hari, tidak segampang yang tertulis di berbagai esai atau buku! Saya harus rela melepaskan berbagai “kenyamanan” yang bisa saya peroleh sebagai perempuan berkat sistem patriarki yang sudah begitu mengakar kuat.
Ya, mau tidak mau harus diakui, selain banyak mudharat-nya, patriarki juga menyediakan berbagai “hak istimewa” yang jadi semacam guilty pleasure untuk perempuan. Hak-hak ini menjelma sebagai “zona nyaman” sehingga bikin kaget kalau kita mencoba keluar darinya. Padahal, jika sudah berani mendaku diri sebagai feminis, seharusnya kita juga memiliki keberanian untuk kehilangan hak-hak ini.
1. Ditraktir Saat Kencan
Sudah jadi common sense di kalangan muda-mudi Tanah Air bahwa ketika kencan, berbagai pengeluaran—terutama makan—adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh pihak pria. Sebagai perempuan tentu menyenangkan jika setiap kali makan berdua selalu dibayari. Jadi, duit sendiri bisa disimpan untuk beli kebutuhan kita pribadi atau ditabung. Hehehe.
Itu baru soal makan lho, belum kalau habis makan lanjut belanja kosmetik atau baju, nonton bioskop, main ke tempat wisata, dsb… dsb… Mungkin sistem patriarki memang telah mendorong pria sebagai pihak pencari nafkah, sementara perempuan bekerja di ranah domestik.
Si pria dianggap lebih punya banyak duit sehingga “dibentuk” agar mengambil peran sebagai pembayar. Nah, Sebagai ciwi-ciwi yang berencana menumbangkan patriarki, kita harus rela menolak “kemewahan” ini jika sebenarnya kita pun mampu membayar. Kalau memang bokek, ya bisalah kirim tulisan ke Mojok dulu. Seperti saya. Wqwq.
2. Dibantuin Pas Angkat yang Berat-Berat
Sebagai penjual buku, saya beberapa kali harus berurusan dengan paket buku sekardus yang berat banget. Biasanya, kalau ada teman pria di dekat saya, mereka akan menawarkan bantuan untuk mengangkatkan paket itu. Memang enak sekali menjadi perempuan, tidak perlu capek-capek ngangkatin barang berat~
Berhubung salah satu narasi paling vokal dalam feminisme adalah kesetaraan gender, maka ciwi-ciwi pendeklarasi diri sebagai feminis mesti sadar bahwasannya tidak semua pria itu kuat untuk ngangkatin barang yang kadang-kadang nauzubillah beratnya.
Para pria baik hati yang mau menunaikan hal yang seharusnya adalah kewajiban diri kita pribadi itu, bisa jadi melakukannya karena mentalitas “maskulinitas beracun” (toxic masculinity), yakni produk dari “tekanan sosial” yang membuat mereka harus terlihat kuat, gagah, dan gentleman terutama di hadapan perempuan.
Maskulinitas beracun ini salah satu “buah” dari patriarki. Bagi para feminis, hal ini tentu harus dihancurkan. Kalau memang benar-benar tidak kuat ngangkat yang berat-berat semacam galon atau beban hidup, bolehlah minta bantuan, asal tidak pakai embel-embel, “Kamu kan laki-laki, harusnya lebih kuat dari aku…”. Wooo lambe.
3. Ingin Selalu Dingertiin
Hal ini biasanya terjadi di hubungan pacaran yang heterogen. Banyak perempuan yang selalu menginginkan pasangannya mengerti dan memahami apa yang sebenarnya ia inginkan, tanpa dirinya harus mengatakan secara langsung apa yang ada di pikirannya.
Jadi, di momen-momen seperti ini, si pria harus memiliki pemahaman tingkat tinggi soal ilmu membaca ekspresi wajah dan gestur. Kalau perlu juga tentang bentuk tulisan tangan pasangannya supaya tidak salah menafsirkan. Harap diingat, bahwa kesalahan penafsiran bisa berujung pada pertengkaran penuh drama dan air mata ala sinetron Hidayah. Serta, tak jarang memicu terlontarnya kalimat semacam, “Kamu jadi cowok kok nggak peka banget, sih!”
Mengharapkan pria selalu mengerti apa yang kita inginkan itu memang enak. Kalau sesuai, Alhamdulillah dan semua pihak bahagia. Kalau tidak sesuai, kita-kita ini diizinkan patriarki untuk nyalah-nyalahin cowok kita. Padahal, kesalingpengertian dengan dialog dan komunikasi adalah sesuatu yang harus diwujudkan kedua pihak. Menyerahkan kewajiban itu hanya kepada priamu tentu saja sama dengan menjauhi upaya kesetaraan gender yang kita junjung-junjung itu, Mailaf~
4. Body Shaming Sama Diri Sendiri
Ini fenomena yang masih sering saya temukan. Soal praktik body shaming, saya rasa para feminis seharusnya sudah khatam: bagaimana kita dengan bijak tidak berkomentar terhadap bagian tubuh orang lain yang bagi kebanyakan orang tidak sesuai standar ideal kapitalisme. Misal, kalau ada mas-mas yang nyindir cewek A gendut, kita dapat dengan cepat menegurnya.
Tapi, kadang kita luput dan justru melakukan praktik itu ke diri sendiri. Kalau angka timbangan berat badan nambah, kita akan mengomentari diri sendiri, “Aku gendutan ya?” dengan harapan orang di sekitar kita menjawab: “Alah, nggak kok!” Supaya diri ini tenang. Maka, saya pikir sebuah tulisan di Mojok yang membahas tentang hal ini ada benarnya, terkadang kita mengeluhkan kondisi badan kita sendiri agar “dipuk-puk” dan ditenangkan oleh orang lain. Padahal, setelah baca teori-teori tentang pembebasan tubuh dalam feminisme, kitalah yang seharusnya lebih berusaha merangkul kondisi tubuh kita sendiri, bagaimanapun itu.
5. Mendapat Kursi di Transportasi Umum
Enaknya menjadi perempuan yang sering naik transportasi umum kemana-mana, biasanya bisa lebih mudah mendapatkan kursi untuk duduk, hanya karena ia adalah perempuan. Untuk kasus perempuan hamil tentu beda cerita, pasalnya mereka memang harus diprioritaskan. Jika seorang pria menolak memberikan kursi pada seorang perempuan yang minta padanya, maka sekonyong-konyong ia bisa dicap sebagai pria egois yang nggak gentleman oleh penumpang lain.
Untuk mas-mas yang pernah mengalami ini, tabahkanlah hatimu….
Mengklaim bahwa perempuan lebih berhak mendapatkan kursi, sebenarnya justru menjauhi nilai-nilai feminisme itu sendiri. Selain karena tidak menerapkan usaha kesetaraan gender, perempuan seolah-olah adalah makhluk lemah yang harus selalu mendapat “belas kasihan” para pria agar bisa beraktivitas. Padahal kan, kita-kita ini bisa berdikari juga ya, Cin!
Bagaimanapun juga, melepaskan diri dari “belenggu” ketergantungan terhadap pria merupakan salah satu jalan untuk menghancurkan patriarki. Jadi, kalian-kalian yang mendaku diri sebagai feminis, sudah siap kehilangan hak dari sistem patriarki belum?