Ihwal puasa di bulan Ramadan ini, bagi muslim dewasa, tentunya ibadah ini sudah terbilang beberapa tahun kita lakukan dalam kehidupan.
Selain merupakan kewajiban dan bukti kepatuhan beragama, puasa di bulan Ramadan ini mungkin telah jadi habit yang tertanam dalam diri kita, sehingga meninggalkannya akan menjadi beban pikiran dan perasaan, dan kita malu saat orang tahu ternyata kita tidak berpuasa.
Melampaui kesadaran bahwa puasa adalah kewajiban bagi setiap muslim, mungkin telah banyak diceramahkan segala hikmah dan manfaat puasa, baik dari sisi kesehatan, ketabahan kekuatan diri, hingga kepedulian sosial.
Ada tak terhitung narasi ideal tentang manfaat dan maslahat puasa bagi kehidupan individu maupun masyarakat, apalagi di bulan puasa seperti saat ini.
Kalau harus jujur, adakah pernah kita sekedar introspeksi diri. Benarkah puasa kita selama ini telah membawa manfaat dan maslahat, setidaknya untuk diri kita saja, baik secara fisik/kesehatan, mental/moral, maupun batin/spiritual?
Jika menghitung telah bertahun-tahun di setiap Ramadan—bahkan mungkin ada yang sudah berpuluh tahun—menjalankan puasa, diri kita mungkin merasa telah memiliki kualifikasi sebagai seorang yang bertakwa, hebat jiwa raga, sakti mandraguna, dan punya kemampuan tahan banting.
Masalahnya, perasaan seperti ini sebenarnya sudah menunjukkan kita belum mampu mengendalikan pemenuhan hasrat secara berlebihan, mengendalikan hati dari jebakan nafsu, mengendalikan jiwa dari dorongan sifat tercela, atau mengarahkan laju hidup ke ranah Ilahiah.
Pertanyaannya, mengapa perasaan itu bermunculan padahal kewajiban puasa telah tuntas kita jalankan?
Kemungkinan besar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bersifat negatif, yakni karena kita sendiri tidak pernah secara serius dan sungguh-sungguh mengorientasikan diri menuju hal-hal tersebut dengan menjadikan puasa sebagai kendaraannya.
Ibarat kendaraan, ke mana kita menuju ke sanalah kita sampai; namun meskipun sudah mengendarainya, tanpa mengarahkannya ke tempat yang kita tuju, ia pun tidak sampai ke sana.
Salah satu tantangan dalam menjalankan tindakan yang berawal dari pemenuhan kewajiban belaka adalah jebakan formalisme dan fokus kepada keterpenuhan syarat-rukun belaka.
Dalam ranah formalitas ini, amal-perbuatan yang mulia dengan segala manfaat dan hikmah di baliknya, berubah menjadi sekadar beban untuk segera tuntas diselesaikan, melewatkan indahnya proses dan nikmatnya buah yang bisa dipetik.
Menjalani amal mulia, apabila hanya berputar di ranah formalitas pemenuhan kewajiban, selain terasa sebagai beban, juga akan menjadi rutinitas yang menjemukan ketika kewajiban tersebut dituntut untuk dijalankan secara berulang atau berkala.
Tentu saja bukan sebuah aib atau kesalahan saat seseorang berjuang memenuhi kewajibannya, bahkan tetap bernilai kebenaran dan kebaikan, meskipun sambil merasakannya sebagai beban atau merasakan hampa dan kejemuan. Setiap tetes keringat dan detik waktunya tetap bernilai dan utama.
Namun kehampaan makna, kehilangan manfaat-maslahah serta terlewatnya hikmah dalam satu amal-perbuatan yang harusnya berdaya-guna luar biasa, menyusutkan nilai penting keberadaan amal-perbuatan dimaksud.
Ibarat sepeda yang bisa dinaiki untuk meringankan perjalanan, namun hanya dituntun saja untuk menemani berjalan.
Menjalankan amal-kebaikan yang terhenti di level kewajiban saja ibarat anggota sebuah organisasi yang tidak memahami tujuan organisasinya, namun sekadar menjalankan aturan yang ditetapkan organisasi tersebut.
Tentu saja yang dilakukannya tidaklah salah, namun pemahaman dan kesadaran terhadap visi-misi organisasi akan lebih memantapkan amal baik yang dilakukannya, karena ia telah mengerti tujuan yang diinginkan dari tindakan tersebut, juga target yang dituju, serta manfaat yang mungkin diraih.
Pemahaman dan kesadaran ini akan membuatnya lebih bersungguh-sungguh dan lebih mampu menikmati proses serta meraih tujuan-manfaat yang terkandung di balik kewajiban tersebut.
Dalam konteks puasa yang kita jalani, anggaplah bahwa selama ini kita sudah lulus di level kewajiban, berarti saatnya kita naik kelas ke level yang lebih tinggi. Jika selama ini perjalanan puasa kita berjalan biasa dan rutin saja, dengan fokus lebih banyak menjaga mulut dari kemasukan makanan dan minuman, semoga untuk selanjutnya kualitas puasa kita meningkat dari biasa ke spesial; Alhamdulillah kalau bisa naik ke level istimewa atau super.
Tidak hanya mengendalikan jasmani, namun juga mampu mengendalikan hati, apalagi jika mampu pula mengorientasikan hidup hanya untuk Allah saja dan melahirkan imunitas diri dari segala godaan dan jebakan nafsu duniawi.
Rasulullah SAW sendiri juga pernah mengingatkan kita agar menghindari puasa yang hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Diriwayatkan Imam Nasa’i dan Ibnu Majah beliau bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Orang-orang yang disindir dalam hadis tersebut lebih mengarah kepada mereka yang berpuasa dengan hanya melihat formalitas syarat-rukun puasa, tidak makan-minum dan berhubungan seksual dari subuh hingga magrib tiba, namun melupakan visi dan misi utama puasa, yaitu pengendalian diri.
Mereka yang hanya menjaga mulutnya dari makanan dan minuman saja, namun mengabaikan menjaga anggota tubuh lainnya—mata, telinga, hati, pikiran—dari aneka perbuatan aib dan cela, maka puasanya hanya membuahkan hasil lapar dan haus saja.
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap waktu sahur.