MOJOK.CO – Apa jadinya jika peringatan hari lahir ke-728 Majapahit dirayakan bukan sebagai perayaan imajiner, tapi perayaan resmi negara modern?
Jika dihitung menurut tarikh Masehi, Majapahit resmi lahir pada 12 November 1293. Artinya, kalau Majapahit masih ada sampai sekarang, maka usianya 728 tahun.
Nah, momen yang secara umum diakui sebagai penanda resmi berdirinya Majapahit adalah pada upacara penobatan maharaja pertamanya, Dyah Wijaya yang memakai gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Jika merujuk pencatatan menurut tarikh Saka yang memang merupakan kalender utama di Jawa semasa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, momen penobatan Dyah Wijaya tepatnya berlangsung pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215.
Soal tanggal asli penobatan Dyah Wijaya pada 728 tahun lalu itu, saya sih sebenarnya manut saja apa yang menjadi pendapat dan hasil hitung-hitungan Prof. Sartono Kartodirdjo serta Drs. Riboet Darmosoetopo.
Meski begitu, Majapahit nyatanya sudah bubar sekitar 500 tahun silam. Ia tak sanggup bertahan setelah dikoyak Paregreg dan 2-3 perang saudara pada sepanjang 1400-an Masehi. Belum lagi lanjut dihantam oleh merdekanya bandar-bandar Pesisir Utara Jawa yang dipandegani Demak.
Walau sudah bubar pada 1527 Masehi, memori tentang Majapahit tak ikut musnah bersama rubuhnya puri-puri para anggota dinastinya. Aneka versi ingatan tentang Majapahit dilestarikan Mataram Islam maupun berbagai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dalam bentuk cerita lisan yang kadang menjurus dongeng.
Baru pada medio 1800-an, memori terhadap Majapahit dapat kian dilengkapi secara lebih tertata karena catatan tentang kerajaan baru ditemukan.
Seperti naskah-naskah warisan Majapahit yang “terawetkan” di Bali dan Lombok, temuan prasasti-prasasti batu dan lempeng logam di seantero Jawa Timur, beragam risalah dalam kronik Tiongkok, juga catatan pelayaran sejumlah penjelajah Timur Tengah serta Eropa.
Catatan-catatan ini lantas dikaji oleh para pakar Londo semacam WP Groeneveldt, JLA Brandes, H Kern, Maclaine Pont, dan TGT Pigeaud. Lalu, ada juga yang dari orang Indonesia kayak Ki J. Padmapuspita, Slamet Muljana, Hasan Djafar, Agus Aris Munadar, dan tentu saja yang tak boleh dilupakan: Mohammad Yamin.
Menyadari tanggal berdirinya Majapahit beserta usianya, saya malah jadi terpikir; Apa jadinya jika peringatan hari lahir ke-728 Majapahit ini dirayakan sampai sekarang? Bukan sebagai perayaan imajiner, tapi benar-benar dirayakan layaknya tanggal lahirnya sebuah negeri.
Nah, untuk itu, kita perlu menyusun daftar rumusan masalahnya.
Pertanyaan pertama: Apa syarat Majapahit bisa tetap eksis sampai sekarang?
Untuk mengandaikan Majapahit dapat tetap eksis hingga hari ini, kemaharajaan ini butuh sejumlah syarat. Pertama-tama, Jawa jauh harus lebih damai pada tahun-tahun 1400-an hingga 1500-an.
Dengan kata lain, Perang Paregreg dan perang-perang saudara di dalam Wangsa Rajasa pada 1400-an tak pernah terjadi. Kalaupun rentetan perang-perang saudara itu tetap terjadi, skalanya tak sebegitu besar sehingga Majapahit masih bisa bertahan dan bangkit lagi.
Oh ya, selain perang-perang tadi, kita juga memerlukan Perang Bubat tak pernah terjadi. Sebab, jika pada 1357 Masehi pernikahan agung antara Prabhu Hayam Wuruk dengan Putri Citrarasmi alias Pitaloka dari Sunda berlangsung, maka Majapahit akan jauh lebih kuat ketimbang yang kita kenal dalam catatan sejarah.
Saya bayangkan jika pernikahan itu terjadi (dan Perang Bubat nggak pernah ada), pembauran atau bahkan peleburan antara dinasti penguasa Majapahit dan dinasti penguasa Sunda bakal menghasilkan kemaharajaan yang monumental.
Alhasil ketika kemudian Majapahit bersinggungan dengan pengaruh Islam maupun gelombang penjelajahan samudera berorientasi imperialisme-kolonialisme asal Eropa, maka kemaharajaan ini punya posisi tawar yang jauh lebih kuat.
Bahkan, saya optimis, Majapahit bakalan dapat melewati geliat politik dunia pada abad XV sampai XXI. Di mana penguasa Majapahit, yakni Wangsa Rajasa, bakal masuk list 15 besar dinasti yang paling awet bertahan sampai abad XXI.
Wangsa Rajasa bahkan bakal seumuran dengan House of Grimaldi, keluarga penguasa Monaco, negeri mungil di Eropa yang berbendera merah putih.
Pertanyaan kedua: Seberapa luas Negara Majapahit?
Jika Majapahit tetap dapat eksis hingga hari ini, luas teritorinya tak akan seluas Republik Indonesia yang mewarisi eks teritorial Hindia Belanda.
Perkiraan saya, luasan teritori Majapahit akan memiliki banyak kemungkinan. Setidaknya meliputi mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, Bali, dan Lombok. Perkiraan versi lebih optimistiknya adalah seluruh Pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, sekitar sepertiga hingga separuh dari Sumatera di belahan selatan, hingga Kalimantan dan sekitarnya.
Dengan merujuk salah satu yang dipaparkan Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel, Majapahit jika mampu berekspansi akan cenderung ke wilayah yang secara iklim relatif masih mirip dengan Jawa, setidaknya daerah-daerah yang masih memungkinkan untuk budidaya padi.
Pertanyaan ketiga: Seperti apa gambaran bangsanya?
Manakala mencoba membayangkan Majapahit yang dapat eksis hingga zaman sekarang, saya kok membayangkan bangsa tersebut akan menjadi semacam versi jauh lebih besar dari masyarakat Provinsi Bali kini.
Secara umum, bentuknya sebagai bangsa mungkin bakal mirip seperti masyarakat Thailand. Terutama pada aspek seni-budaya yang sehari-hari dijalankan dan dikembangkan masyarakatnya, juga komposisi keagamaan para penduduknya.
Pertanyaan keempat: Seperti apa negaranya?
Tentu saja negara Majapahit bakal berbentuk monarki.
Dan sebagaimana umumnya monarki setelah akhir 1700-an yang berubah jadi negara, Majapahit mungkin juga mengadopsi sistem monarki konstitusional alias punya Undang-Undang Dasar untuk pemerintahannya.
Kepala Negara Majapahit akan memakai gelar Prabhu. Kepala Pemerintahan alias Perdana Menteri akan punya sebutan endonim resmi Patih Amangkubhumi. Para pejabat negara akan lazim memiliki gelar tambahan Gajah, Mahisa, Lembu, Kuda, Macan, Singha, hingga banyak di depan nama pribadi mereka.
Sangat mungkin Majapahit meneruskan penggunaan kitab hukum Kutaramanawa. Ini akan menjadikan Majapahit negeri yang sangat menyebalkan dan mengerikan mulai dari bagi para pelaku kriminal, termasuk predator seksual hingga koruptor. Spekulan tanah dan properti yang kalau di Indonesia sekarang suka memakai dalih “investasi” rasanya juga bakal ngeri hidup di negara Majapahit.
Pelaku pelecehan seksual maupun korupsi bakal diancam hukuman mati kalau Majapahit hidup sebagai negara di zaman sekarang. Sebab, para pelaku korupsi disamakan dengan pidana bagi pembunuhan, pencurian, dan perampokan.
Itu pun mereka masih harus membayar denda sangat besar kepada negara maupun mengganti rugi beberapa lipat nilai kerugian kepada pihak yang dirugikan, sesuatu yang sangat mungkin membuat bangkrut si pelaku.
Spekulan tanah dan properti cenderung terbatas geraknya di Majapahit ketimbang di Indonesia kini. Sebab, Majapahit masih melihat tanah terutama sebagai alat produks: penghasil pangan, tempat usaha, dan sebagainya.
Majapahit juga melihat rumah masih terutama sebagai papan alias tempat tinggal. Berbeda dengan orang Indonesia yang lazim menjadikan tanah dan bangunan semacam rumah dalam pemahaman sebagai aset dan lalu alat spekulasi.
Meneruskan aturan di Kutaramanawa, Majapahit masih mensyaratkan tanah maupun bangunan yang dipunyai harus dimanfaatkan optimal. Kalau tanah ya ditanami atau dibangun jadi sesuatu yang juga dimanfaatkan. Kalau bangunan ya digunakan.
Tindakan menganggurkan tanah maupun bangunan, sekalipun dalam hitungan tahun yang pendek saja, bisa membuat si pemilik kehilangan propertinya tersebut karena bakal diambil alih oleh negara.
Pertanyaan kelima: Seberapa menarikkah Negara Majapahit sebagai destinasi wisata?
Negara Majapahit akan semenarik Bali dan Thailand sebagai destinasi wisata. Kota-kota level kabupatennya akan banyak sekali yang mirip Ubud. Kota besarnya akan semacam Denpasar dan Malang. Metropolitannya akan menyerupai Bangkok.
Namun, panduan wisata berupa buku maupun web rasanya akan memberi catatan peringatan untuk para turis yang menghindari daging dan minuman alkohol. Pasalnya, hidangan rumahan maupun di warung dan restoran akan banyak didominasi perdagingan, khususnya daging babi, dalam aneka versi olahan.
Pertanyaan terakhir: Apa produk unggulan Negara Majapahit yang bakal digemari warganya?
Sebagaimana orang Korea dengan soju mereka, orang Majapahit bakal menjadikan tuak sebagai minuman kebanggaan nasional. Di mana-mana orang mudah sekali membelinya.
Apalagi bagi orang Majapahit, tradisi minum tuak memang dibanggakan, setidaknya sejak dari 1293. Sebab tradisi minum tuak juga turut berjasa dalam mengalahkan bala tentara Mongol yang dikirimkan Kubilai Khan (cucu Genghis Khan) ke Jawa, dan menjadi catatan sejarah perjuangan kemerdekaan bagi rakyat di negara Majapahit.
Lalu iklan tuak akan nongol di mana-mana, setiap ruang publik akan punya ruangan khusus untuk mereka yang mau minum tuak, perusahaan tuak juga jadi begitu besar di Indonesia sampai cukup mampu untuk jadi sponsor utama kompetisi sepak bola nasional Liga Majapahit. Bahkan mungkin ada juga klub badminton yang berbasis pada perusahaan tuak.
Begitu saja terus sampai kemudian tuak jadi problem kesehatan masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra. Dan ketika zaman media sosial—seperti sekarang; bakal muncul SJW-SJW yang mempermasalahkan tuak dan membuat komunitas anti-tuak se-Majapahit.
BACA JUGA Andai Indonesia Dijajah Inggris Jauh Lebih Lama dan tulisan Yosef Kelik lainnya.