MOJOK.CO – Jika Anda pernah ziarah ke makam Sunan Drajat, Anda akan temukan empat wejangan di pelatarannya.
“Kamu juga punya binatang piaraan di rumahmu?” tanya bapak mertua saya, pada suatu sore ketika kami duduk-duduk di beranda.
Saya tahu ini pertanyaan retoris, sekadar pembuka percakapan, sebab bapak mertua toh sudah tahu di Jogja saya tidak pernah memelihara binatang ternak.
“Tidak, Pak,” akhirnya saya jawab juga.
“Merawat binatang itu tidak mudah. Tanggung jawabnya berat. Tugasnya bukan hanya memberi makan tapi juga memastikan bahwa binatang itu tidak menjadi masalah bagi orang lain,” katanya kemudian, seperti yang saya duga.
Saya manggut-manggut. Lalu mengalir cerita dari bapak mertua tentang ketidaksetujuannya terhadap kebiasaan di kampung yang meliarkan binatang ternaknya, entah kambing, ayam atau lainnya.
Binatang-binatang itu sering memberikannya gangguan kepada tetangga. Mungkin merusak tanaman, mengosak-asik gabah yang dijemur atau sekadar mengotori teras rumah dengan tahinya.
“Ibadah kita itu tidak banyak dan belum tentu diterima, tapi kita masih saja membiarkan binatang-binatang piaraan kita menambahi dosa kita,” sambungnya.
Kali ini saya agak terkejut dengan penjelasan bapak yang menghubungkan soal binatang ternak dengan perkara yang begitu jauh. Tak hanya kepada soal keadaban bertetangga tapi juga dosa.
Bapak kemudian menyitir kisah yang pernah didengarnya dari pengajian Kiai Ghofur di radio Persada tentang Nabi saw. yang sering diingatkan oleh Jibril tentang pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai beliau mengira bahwa tetangga juga akan menjadi ahli waris.
“Makanya, kalau kamu ingin memiliki peliharaan jangan sampai tidak menyiapkan kandangnya,” tandas bapak.
Bapak lalu bercerita tentang Sunan Drajat. Rumah mertua saya memang berada tidak jauh dari kompleks makam Sunan Drajat, salah satu anggota Walisongo, di Drajat Lamongan (di sebuah kampung yang juga terdapat makam tua dari ulama yang sangat dihormati, Syekh Maulana Ishaq).
Dan kisah tentang Sunan Drajat selalu menjadi piwulang yang diturunkan dari generasi ke generasi.
“Beragama itu seharusnya seperti Sunan Drajat,” kata Bapak.
Ia kemudian mengingatkan tentang wejangan Sunan Drajat yang populer.
Jika Anda pernah berziarah ke makam Sunan Drajat, Anda akan menemukan wejangan itu dipacak di pelataran makam, menjadi pengingat bagi yang hidup bahwa itulah bekal yang akan memberi manfaat hingga di alam baka.
Masyarakat di sana mengistilahkan dengan catur piwulang (empat ajaran).
“Wehono teken marang kang kalunyon lan wuto, wehono pangan marang kang kaliren, wehono sandang marang kang kawudan, wehono payung kang kodanan. (Berilah tongkat bagi yang menapaki jalan licin dan orang buta, berilah makan mereka yang kelaparan, berilah pakaian mereka yang telanjang, berilah payung mereka yang kehujanan.)”
“Beragama adalah memberi.” Bapak menyimpulkan pesan-pesan tersebut.
Catur piwulang itu adalah ajakan kepada semua lapisan masyarakat untuk memberi kontribusi sesuai dengan kekuatan dan kapasitas masing-masing. Sesuatu yang makin terasa penting hari-hari ini.
Dan begitulah yang diteladankan oleh Sunan Drajat. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah, lembut, dan dermawan. Sebagai pendakwah ia datang menghidupkan harapan dan kegembiraan. Sebagai pemimpin masyarakat ia memberikan perhatian dan pengayoman.
Konon, mengikuti jejak Khalifah Umar bin Khattab, setiap malam Sunan Drajat berkeliling kampung untuk memeriksa keadaan warganya dan memastikan tidak ada di antara mereka yang tidak bisa tidur karena lapar atau meratap karena sakit.
Sunan Drajat telah mengajarkan bahwa beragama adalah menjadikan diri bermanfaat bagi orang lain. Bukan justru menjadi beban atau mencederai saudaranya.
Dan karena itu namanya selalu hidup dan ajaran-ajarannya terus dipelihara, bahkan setelah ia wafat sekian abad yang silam.
Saya kembali hanya bisa manggut-manggut. Bapak kemudian mengakhiri pembicaraan, dan masuk rumah. Tinggal saya di beranda, meresapi kata-kata yang baru saja ditumpahkan Bapak dan menjumputi hikmah besar dari cerita sederhana.
Pesan keagamaan itu ternyata bisa disampaikan dengan cara yang begitu mudah dipahami. Tidak selalu harus muluk-muluk. Soal kandang ayam yang dibicarakan oleh bapak mertua ternyata menjadi pengejawantahan yang konkret dari iman dan memiliki dampak besar dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat.
Tapi hari-hari ini saya sering merasa, betapa tidak mudah sekadar melaksanakan ajaran Nabi saw. yang sangat sederhana. Seperti halnya membuat kandang ayam untuk menghormati tetangga.
Juga terhadap ajaran-ajaran yang tampak sederhana lainnya, seperti, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata baik atau diam.”
Soal berkata baik barang kali semua bisa melakukan. Setiap saat, di dinding-dinding media sosial, kita menempel kata-kata indah dan bijak. Mengutip petuah-petuah luhur dan nasihat-nasihat agung.
Tapi kita sering kali kerepotan kalau harus diminta diam. Ya, sekadar menahan diri untuk berbicara, terutama untuk hal-hal yang benar-benar tidak kita pahami.
BACA JUGA Lima Manfaat Ayam di Era Revolusi Industri 4.0 dan tulisan Muhammad Zaid Su’di lainnya.