Sebuah sms masuk ke hape saya dari nomor yang tidak saya kenal, tepat di saat saya hampir masuk ke dalam rumah. Isinya ringkas: “Boleh saya menelepon?”
Saya termasuk orang yang punya kebiasaan tak begitu menarik dalam berkomunikasi lewat hape. Jika ada nomor telepon dari orang yang tidak saya kenal, saya tak pernah mau mengangkat. Jika seseorang mengirim sms tanpa menyebut namanya, saya tak akan menjawab. Terlebih sudah hampir jam satu malam, dan saya habis memimpin rapat. Agak capek.
Sms itu muncul lagi ketika saya usai kencing. Kali ini agak panjang dan mulai mengundang perhatian saya. Bunyinya: “Saya bisa mempertemukan Anda dengan Teguh Karyadi (Sekjen PKI), tandem Ketum Wahyu Setiaji. Anda bisa melakukan wawancara eksklusif dengan Sekjen PKI.”
Saya mulai gojag-gajeg. Saya balas atau tidak. Jangan-jangan ini hanya kerjaan teman saya yang iseng, karena kemarin saya menulis soal Wahyu Setiaji di Mojok. Atau bisa jadi ini ulah anak buah Ki Sutiyogo. Akhirnya saya putuskan untuk tetap tidak menjawab. Saya kemudian teringat kalau belum salat Isya’. Akhirnya saya balik ke kamar mandi, wudu, lalu menunaikan ibadah salat.
Selesai salat, hape saya berbunyi. Salah seorang sahabat saya, sebut saja namanya Ndaru, menelepon. Dengan agak heran, hape saya angkat.
“Malam, Kepala Suku. Maaf mengganggu.”
“Weh, kok tumben telepon mbengi-mbengi ki ana apa je, Ru?”
“Kepala Suku, tadi yang sms ke Sampeyan itu teman saya. Dia tidak mungkin bohong. Dan keamanan Kepala Suku, saya yang jamin!”
Setelah memastikan beberapa hal, akhirnya saya menyambar jaket, memakai helm, dan mengegas Honda Beat menuju tempat yang ditentukan. Saya sampai di pom bensin dekat ring road Jalan Kaliurang. Di sana sudah menunggu Ndaru dengan rambutnya yang gondrong terurai, dan sebuah mobil Avanza hitam berpelat Semarang. Begitu saya parkir di dekat mereka, salah satu orang keluar dari mobil. Laki-laki kurus, berambut lurus, dan berkacamata. Dia tersenyum kepada saya. Tapi saya tak sempat membalasnya sebab segera menemui Ndaru.
“Kepala Suku ikut mobil itu, motor Sampeyan saya pakai. Saya amankan. Nanti kalau selesai wawancara, kontak saya.”
Setengah bengong, saya kasihkan kontak sepeda motor ke Ndaru, lalu saya masuk ke mobil Avanza. Laki-laki yang tersenyum itu kemudian ikut masuk. Segera saya sadari ada empat orang di mobil itu, selain saya dan orang di samping saya, ada juga seorang sopir memakai kopiah hitam, dan seseorang berbadan tegap di sampingnya. Sebelum mobil berjalan, mereka memperkenalkan diri masing-masing. Saya hanya mengiyakan seperlunya saja.
“Maaf, Pak. Saya yang tadi mengirim sms ke Anda.” ujar laki-laki di sebelah saya dengan suara yang halus, pelan, dan sopan. Saya hanya menganggukkan kepala.
“Boleh merokok kok, Pak…” Si Sopir menyahut. Saya menggelengkan kepala sambil bertanya, “Ini saya mau dibawa ke mana?”
“Kita ke tempat Pak Teguh Karyadi, Pak. Tapi maaf memang prosedurnya begini. Beliau ingin bertemu dengan Bapak, dan bersedia diwawancara untuk Mojok. Kami mohon maaf, memang begini SOP-nya.”
Saya diam. Mengerti yang dimaksud. Bertemu dengan salah satu sosok penting dari sebuah organ kiri, pastilah ada prosedurnya. Semua seperti mimpi. Memang ada sejenis ketakutan yang menyelinap. Jangan-jangan nanti begini, jangan-jangan nanti saya begitu. Tapi ketika ingat ada jaminan dari Ndaru, pikiran kembali tenang. Tak mungkin Ndaru mencelakai saya.
Berarti Teguh Karyadi itu benar-benar ada. Dan jika dia ada, hampir pasti Wahyu Setiaji itu juga nyata. Jika mereka berdua jelas ada, bukan tidak mungkin tudingan Ki Sutiyogo bahwa PKI masih eksis, cukup masuk akal.
Di dalam sebuah organisasi, Sekjen merupakan poros penting. Terlebih dalam organisasi progresif-revolusioner. Kata ‘sekretaris’ berasal dari bahasa Latin ‘sacretum’ yang artinya rahasia. Maka itu, sebetulnya yang tahu benar jerohan sebuah organisasi adalah Sekjen. Ketua atau Ketua Umum, lebih menjadi corong dan simbol organisasi. Jika organisasi itu ibarat badan, Ketua itu kepalanya, dan Sekjen itu jantungnya.
Ingatan saya langsung melayang ke tandem ketua-sekjen yang menurut saya legendaris, yakni Andi Arief dan Nezar Patria. Andi adalah ketua organisasi mahasiswa progresif Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dan Nezar Patria adalah Sekjennya. Andi tampil memikat, lincah di berbagai forum, flamboyan, negosiator yang ulung, dan dilengkapi dengan retorika yang cakap. Sedangkan Nezar punya kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang tegas dan disiplin. Juga kharismatik. Dia pernah menampol kepala seniornya gara-gara orang itu membawa minuman keras di sekretariat SMID. “Kalau kita digerebek polisi, hanya karena masalah miras, itu memalukan sekali!”
Langkah Andi kemudian kontroversial setelah era Reformasi. Sebab dia menjadi tim sukses SBY. Tapi bukankah hal yang sama terjadi juga di era Jokowi? Apanya yang beda? Dulu, orang-orang yang menyerang Andi Arief juga sekarang banyak yang berada di lingkaran kekuasaan. Jadi menurut saya, politik itu ya pada akhirnya masalah giliran saja. Kalau belum dapat giliran biasanya merajuk. Kalau sudah dapat ya diam. Yang apes ya yang gak dapat-dapat giliran. Kecuali memang tidak mau.
Tapi apapun itu, apa yang dilakukan oleh Andi Arief, Nezar, juga mungkin Budiman Sudjatmiko dkk kala itu, adalah hal yang banyak orang tidak berani melakukannya. Mereka bergerak di bawah bayang-bayang kekejian dan kebrutalan Orde Baru, di usia mereka yang masih sangat muda. Mungkin usia mereka 22 atau 23 tahun.
Mobil melewati Candi Prambanan. Saya hampir bertanya, mau dibawa ke mana? Tapi karena saya tahu tak bakal dijawab, saya mengurungkan pertanyaan yang sudah sampai tenggorokan itu.
Pikiran saya balik lagi ke soal Sekjen. Kita boleh saja apatis dengan partai-partai di Indonesia. Tapi jika dilihat dari siapa saja yang duduk di kursi sekjen, kita pasti maklum bahwa mereka dipilih dengan pertimbangan yang paling hati-hati. Ketum bisa jadi adalah soal pemilik lapak dan saham mayoritas. Tapi Sekjen beda. Sehingga mereka, dari partai apapun itu, pastilah ia adalah sosok yang punya pengalaman organisasi yang sangat matang, juga jiwa kepemimpinan yang sudah teruji.
Bayangkan saja, SBY akhirnya memilih Hinca Panjaitan sebagai Sekjen Partai Demokrat. Cak Imin memilih figur yang jauh lebih muda, punya karier politik yang cemerlang, dan punya prospek politik yang bagus: Abdul Kadir Karding. Sementara Prabowo Subiyanto tetap mempercayakan kursi Sekjen kepada sosok yang punya karakter kuat seperti Ahmad Muzani. Dan Golkar yang sempat limbung lama, akhirnya hanya bisa mempercayakan jabatan Sekjen kepada sosok yang sudah teruji: Idrus Marham.
Kemudian saya mulai sibuk menerka-nerka, sosok seperti apakah Teguh Karyadi ini. Makin penasaran saya dengan sosok satu ini, ditambah sekian keraguan mengenai PKI dan Wahyu Setiaji, rasanya makin lama mobil bergerak.
Mendadak mobil berbelok 180 derajat, lalu melaju jauh lebih kencang.
“Maaf, Pak… Anda pasti tahu kenapa kami melakukan seperti ini. Ada banyak lalat hijau dan wereng cokelat yang mengintai kami. Jadi kami harus selalu berhati-hati.” Orang di sebelah saya berkata begitu, sambil agak terbatuk. Kami menuju arah berangkat. Balik ke Yogya.
“Aman?”
“Aman.”
Hanya itu yang saya dengar, dan tiba-tiba mobil berbelok menikung ke arah kanan, masuk jalanan yang sempit dan sepi. Tak lama kemudian mobil berhenti. Mesin dimatikan. Jalanan lengang. Gelap. Tak ada apa-apa.
Saya mulai dihinggapi rasa waswas. Kalau sampai orang-orang yang sering menghina Ki Sutiyogo di media sosial, lalu tiba-tiba diperlakukan seperti ini, dan Ki Sutiyogo yang masuk di dalam mobil ini, saya kira mereka akan terkencing-kencing juga. Lalu terdengar suara.
“Aman?”
“Aman.”
Mesin mobil dinyalakan. Pelan mobil kembali bergerak. Makin lama makin cepat. Lalu jalanan mulai terasa menanjak. Sekira 10 menit kemudian, mobil masuk ke pelataran sebuah rumah besar. Saya dibawa masuk ke dalam rumah.
“Pak, silakan naik ke atas ya…” laki-laki berkacamata itu mengajak saya naik tangga rumah. Saya mencoba menarik nafas dalam-dalam. Saya bersiap menemui orang yang sedang menjadi perhatian publik selain Wahyu Setiaji.
“Silakan masuk, Pak…”
Saya masuk ke dalam kamar besar yang bersih. Saya duduk.
“Mau minum kopi, teh, atau bir, Pak?”
“Kopi.”
Laki-laki itu keluar. Sebelum saya memperhatikan benar isi kamar ini, mendadak dua orang masuk. Bukan orang-orang yang satu mobil dengan saya.
“Pak, SOP kami mensyaratkan jika Anda mau wawancara dengan Sekjen, muka Bapak harus saya tutup.”
Kali itu pula, darah saya naik. “Heh, Bos! Aku ini gak ada niat wawancara sama Sekjenmu! Dia yang mau ketemu aku. Aku tidak mau ditutup. Enak aja kalian…”
“Tidak bisa, Pak. Ini aturan.”
“O ya enggak apa-apa. Makan aturan kalian sendiri! Aku mau balik!”
Laki-laki berkacamata itu masuk sambil membawa kopi. Setelah meletakkan kopi, dia membisikiku, “Pak, anggap saja ini syarat sah saja. Saya yakin Sekjen juga nanti akan minta membuka tutup muka Bapak. Mereka kan hanya menaati aturan.”
Hati saya luluh. Mereka kemudian menutup muka saya. Lima menit kemudian, saya mendengar ada banyak langkah masuk ke dalam kamar. Jujur, saya agak deg-degan. Suasana hening.
Sebuah suara berwibawa terdengar. “Buka tutup mukanya.”
Kain yang menutupi muka saya dibuka. Saya agak memicingkan mata sekalipun tidak butuh waktu lama. Saya melihat seseorang yang persis berada di depan saya. Ganteng. Gagah. Tersenyum. “Perkenalkan, saya Teguh Karyadi.”
Kami berjabatan tangan. “Silakan minum kopinya,” ujarnya.
Saya mengambil cangkir kopi saya. Mendadak saya merasa ada yang aneh. Segera saya menoleh ke sekeliling. Loh! Loh! Loh!
Segera saya berteriak, “Buajingaaaan! Duooobuoool! Huaaaasssyuuuu! Kuontoool!”
Saya baru menyadari selain sosok yang duduk di depan saya yang tak saya kenal, orang-orang yang mengelilingi saya, semua saya kenal. Termasuk Ndaru!
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Lalu masuk tiga orang lagi di kamar itu, mereka yang tadi satu mobil dengan saya.
“Ini semua anak Filsafat, Bos! Kami lagi ada acara makan-makan. Ndaru ulangtahun. Ndaru yang punya ide untuk ngerjain kamu. Ternyata diam-diam kamu percaya bahwa Teguh Karyadi itu ada ya?”
“Percaya matamu suwek! Wooo, cah enom kaya asu kabeeeh!”
Mendengar saya mengumpat begitu, mereka langsung berteriak sambil lompat-lompat menirukan polah anjing, “Guk! Guk! Guk! Guk! Guk!”
Saya hanya bisa kesal setengah mati. Sembari mengutuki kebebalan saya. Terutama ketika saya sadari bahwa tak ada Teguh Karyadi di tempat ini. Tak ada Teguh Karyadi yang jadi Sekjen PKI dengan massa 15 juta anggota itu.
Mojok tak jadi mendapatkan wawancara eksklusif. Taek!Â