Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Wahai Ujian Nasional, Sesakral Itukah Dirimu?

Mashdar Zainal oleh Mashdar Zainal
19 April 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Naif rasanya menganggap nilai dalam Ujian Nasional tidak penting-penting amat. Meski, tidak semua hal bisa diukur hanya dengan angka-angka.

Saya punya seorang murid, cowok, sebut sana namanya HD. Dia sekarang kelas 6 dan lagi sibuk-sibuknya mempersiapkan Ujian Nasional. Nah, dari nilai Try Out, si HD ini selalu berada di urutan bawah. Sebab itulah, saya merasa punya kewajiban untuk berkunjung ke rumahnya untuk bersua dengan orang tuanya. Seperti menggali informasi bagaimana keseharian HD ini di rumah. Bagaimana model belajarnya, bagaimana pergaulannya, dan seterusnya.

Dari segi tingkah laku, si HD ini tidak ada masalah. Malah, dia termasuk salah satu murid paling manis, sopan, penurut, dan tidak suka neko-neko. Satu lagi, dia bahkan bisa ngomong bahasa Inggris dengan ngewes dan fasih betul. Tentang ngomong bahasa Inggris ini, malah dia yang jadi guru buat saya. Tapi ya itu tadi, soal nilai akademiknya seakan-akan membutuhkan pertolongan Tuhan.

Nah, kembali lagi, lantas apa yang kemudian saya obrolkan dengan orang tua si HD ini? Jadi, begitu sampai di rumah HD, saya melihat dia sedang bermain dengan dua orang temannya. Ia membawa sepotong kayu berbentuk senapan yang entah untuk apa. Mungkin untuk perang-perangan, pikir saya.

Begitu melihat saya memarkirkan motor di muka rumahnya, HD menghambur mendekati saya, dia tersenyum, lantas bersalam dan mencium tangan saya. Lalu pergi menemui teman-temannya lagi. Setelah pemanasan dengan bertanya kabar dan basa-basi lain, akhirnya orang tua HD—yang juga seorang guru, mulai bercerita. Bahwa HD ini memang tidak suka belajar, kecuali ia benar-benar menghendaki atau menyukai sebuah materi pelajaran tertentu.

Di keseharian, HD lebih suka bekerja aktif-kreatif. Seperti membuat jebakan tikus, membuat sesuatu dari barang-barang bekas, membetulkan perkakas rumah yang rusak. Termasuk momong kedua adiknya yang masih kecil-kecil.

Ketika orang tua HD ini menjelaskan perihal pentingnya belajar untuk Ujian Akhir, supaya mendapatkan nilai bagus, HD malah mengajak orang tuanya berdebat. Kurang lebih begini percakapan HD dengan orang tuanya….

“Kamu itu belajarnya belum serius, Nak, buktinya nilai-nilaimu masih kurang.”

“Saya sudah serius, Ma, buktinya saya sekolah dari pagi sampai sore. Kadang, malam masih disuruh belajar.”

“Lha buktinya, nilaimu masih di bawah lima koma.”

“Memangnya kenapa kalau nilaiku jelek, Ma?”

“Ya kalau nilaimu jelek, kamu bisa tidak lulus. Kalaupun lulus, kamu tidak bisa diterima di sekolah yang bagus.”

“Oh, cuma gitu aja. Nggak papa, saya kan masih bisa mondok,” balas HD tanpa beban.

Orang tua HD juga bercerita, suatu ketika HD pernah pulang sekolah sambil menangis. Ketika ditanya kenapa, si HD bilang, bahwa dia sakit hati karena diejek temannya sebagai siswa bodoh. “Padahal kan, saya tidak bodoh, Ma. Saya bisa bikin karya ini… karya itu… sedangkan dia nggak bisa. Waktu kerja kelompok bikin karya, saya kerja, dia cuma diam saja. Lalu siapa yang bodoh?” Ujar HD sambil sesenggukan.

Iklan

Sampai di sini, saya ingat kata-kata Einstein yang kurang lebih begini: adalah tidak adil menilai seekor ikan dari kepandaiannya memanjat pohon.

Saya pulang dari rumah HD terus mengingat-ingat bahwa waktu Ujian Nasional tinggal hitungan pekan, bahkan hari. Dan saya menggerutu pada diri saya sendiri: apakah Ujian Nasional, nilai-nilai, angka-angka, sesakral itu?

Saya jadi ingat zaman saya SD dulu. Zaman saya namanya Ebtanas, zaman sekarang namanya Ujian Nasional. Zaman saya, Ebtanas hanyalah sebuah kegiatan tahunan yang harus dilewati, hanya harus dilewati. Tidak ada bedanya dengan ulangan atau latihan harian. Hanya saja, ketika Ebtanas, terdapat sebuah papan tulis yang dipajang di tengah lapangan dengan tulisan kapur: HARAP TENANG, ADA UJIAN.

Zaman sekarang, ujian semacam itu telah menjadi resepsi sakral saban akhir tahun. Resepsi yang butuh latihan berbulan-bulan yang disebut Try Out. Resepsi yang seakan-akan menentukan hidup dan mati. Bahkan, seandainya hari itu kau harus opname di rumah sakit, maka kau harus melaksanakan ujian di atas ranjang. Sesakaral itukah? Iya.

Buktinya adalah, jika waktu ujian tertera dua jam, jam 10.00 – 12.00, misalnya. Maka dalam waktu dua jam itu, kau harus duduk manis di bangkumu. Kau tak boleh ke mana-mana sebelum waktu selesai, kecuali harus pergi ke kamar mandi.

Jadi, jika kau berhasil menyelesaikan soal ujian dalam waktu 15 menit. Maka waktu 1 jam 45 menit sisanya, kau harus jadi patung di bangkumu. Tak boleh tidur. Apalagi gaduh. Masih tak percaya kalau Ujian Nasional itu sakral?

Kalau masih tak percaya, coba saja ketika waktu ujian masih berlangsung dan kau dengar kumandang azan zuhur, kau pamit ke pengawas. Bilang begini, “Pak, Buk, saya sudah dengar azan dhuhur, bolehkan saya izin buat salat zuhur dulu?”

Kira-kira, apa yang terjadi? Apakah kau akan diizinkan? Bisa jadi kau dizinkan. Tapi jelas setelah itu, kesalihanmu akan menjadi perdebatan panjang. Lantas, nama gurumu, nama sekolahmu, bakal jadi taruhannya.

Zaman saya, Ebtanas ya Ebtanas aja, tak perlu Try Out-Try Out-an. Tak butuh latihan soal tiap pekan. Berhadapan dengan soal-soal ujian tiap hari itu membosankan, tahu! Berhadapan dengan rumus-rumus tiap pekan itu sungguh mengerikan. Siapa coba yang mampu memahami ini? Jelas para guru dan orang tua memahami ini, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak. Sebab, Ujian Nasional ini sakral, sesakral perintah Tuhan.

Jangan berani coba-coba. Jangan berani main-main. Begitu nilaimu jelek, di bawah standar kelulusan. Maka koit sudah namamu, nama orang tuamu, nama gurumu, nama sekolahmu.

Sebagai seorang guru, berkali-kali saya menegaskan ke anak-anak, bahwa nilai itu bukanlah hal utama. Bukanlah sesuatu yang penting. Sebab nilai bagus bukanlah jaminan keberhasilan dalam mengarungi kehidupan (aduh, duh, bijaknya).

Tapi, berkenaan dengan Ujian Nasional ini, nasehat saya kepada anak-anak ada sedikit ralat, jadi begini: Nilai memang tidak penting, Nak, tapi kalau sampai nilaimu jelek, habislah kau. Saya menyampaikan itu sambil membayangkan berita-berita yang pernah saya baca di media sosial. Perihal murid-murid yang depresi karena tidak lulus ujian, bahkan beberapa dari mereka ada yang sampai nekat mengakhiri hidupnya.

Karena apa? Karena tidak lulus ujian. Kenapa tidak lulus ujian? Karena nilainya jelek. Nah lho! Apa iya harus saya koarkan lagi ke bocah-bocah, bahwa nilai itu tidak penting.

Kalau sudah begitu, siapa yang mau bertanggung jawab? Orang tua? Guru? Sekolah? Dinas pendidikan? Menteri Pendidikan? Pak Presiden?

Adalah klise di atas klise membahas sistem pendidikan kita yang masih saja memandang keberhasilan dari angka-angka. Begitu kuno. Begitu konvensional. Tapi ya memang demikian adanya. Lantas, mengapa bisa demikian? Bisa bermacam-macam sebabnya. Bisa saja para pemangku kebijakan di area pendidikan kita merupakan para sesepuh, yang nuwun sewu: rapati milenial dalam berbagai hal. Atau bisa juga berkaitan dengan “proyek birokrasi” dan lain-lain, mengingat banyak sekali yang terlibat dalam agenda tahunan ini. Entahlah.

Kadang, saya membayangkan diri saya sebagai murid yang sedang dihadapkan pada Try Out dan persiapan ujian yang begitu hiruk-pikuk dan berkepanjangan. Tiada hari tanpa pilihan ganda. Tiada hari tanpa uraian. Tiada hari tanpa menyilang dan mengurek-urek jawaban. Tiada hari tanpa memelototi teks-teks mungil dalam lembar kertas buram. Dari waktu ke waktu.

Oh Mai Gat, akankah saya bertahan? Akankah kelopak mata saya tidak bengkak? Akankah rambut saya tidak botak? Akankah kepala saya tidak meledak?

Semoga Tuhan menyelamatkan kalian semua dari ujian ini. Ya, Ujian Nasional ini.

Terakhir diperbarui pada 19 April 2019 oleh

Tags: anak SDmurid pintarperan gurusakralUjian Nasional
Mashdar Zainal

Mashdar Zainal

Artikel Terkait

Ayo Jaga Jogja Katanya, tapi Jaga dari Apa dan Siapa? MOJOK.CO
Ragam

4 Hal yang Bisa Kita Pakai buat Memaknai Ulang “Kesakralan” Kota Jogja

8 Oktober 2025
Apa Sih yang Orang Dewasa Dapat dari Menertawakan Anak SD di Konten TikTok?
Esai

Apa Sih yang Orang Dewasa Dapat dari Menertawakan Anak SD di Konten TikTok?

23 April 2021
Versus

Kok Cinta Pertama Disebut Cinta Monyet, Padahal Dia Kan Manusia?

10 September 2019
Pojokan

Jokowi Nyebelin, Kayak Murid Pintar yang Ngakunya Nggak Belajar Sebelum Ujian

1 April 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.