MOJOK.CO – Peserta MTQ di Sumut mundur di atas panggung saat diminta lepas cadar oleh juri. Kabar belum komplet, cacian sudah kadung melayang. Viral dong.
Miftahul Jannah, atlet judo Indonesia, jadi viral usai didiskualifikasi pada Asian Para Games yang kebetulan kita tuan rumahnya pada 2018 lalu.
Gadis belia dari Aceh ini jadi perbincangan karena menolak untuk melepas jilbab dan lebih memilih untuk meninggalkan arena tanding ketimbang mengikuti aturan judo internasional untuk tak mengenakan atribut di kepala.
Ragam kecaman lantas muncul pada saat itu. Judul-judul berita, maupun komentar netizen pun heboh sekali. Gadis muslimah ini dilarang tampil mengenakan jilbab pada Asian Para Games, begitu umumnya kegeraman yang menggema seantero dunia maya.
Padahal, sudah mafhum adanya peraturan internasional yang menyatakan untuk mencopot seluruh atribut di kepala atlet. Regulasi itu ditetapkan bukan karena alasan sentimen terhadap umat Islam, aturan itu ada justru demi keamanan atlet itu sendiri.
Titik masalah ini sebenarnya bukan terletak pada jilbab. Atlet yang memakai, misalnya, helm full face standar internasional pun bisa tersandung aturan tersebut. Kemungkinan ada miss antara panitia, pendamping, sampai jajaran pelatih atlet yang tidak jeli dalam menafsirkan peraturan judo internasional sejak awal.
Begitu juga dengan viralnya kasus Muyyassaroh. Seorang akhwat bercadar yang videonya viral lantaran lebih memilih mengundurkan diri dari lomba MTQ daripada harus melepas cadarnya di hadapan para juri.
Peraturan nasional soal lomba MTQ ini sebenarnya sudah ada, terutama tentang penggunaan cadar. Panitia MTQ di Sumatera Utara (Sumut) pun mengakui adanya peraturan nasional ini.
Ada beberapa versi alasan kenapa aturan nasional soal penggunaan cadar dalam MTQ ini diperlukan.
Pertama, untuk menghindari praktik perjokian, misalnya.
Tak perlu kaget, perjokian itu bukan hanya dimonopoli oleh tes CPNS, TOEFL, atau bikin SIM saja, lomba yang bertemakan Al-Quran Kalamullah yang suci lagi mulia pun ada jokinya juga. Jangankan cuma joki, kasus korupsi Al-Quran saja ada kok. Eh.
Kedua, untuk menghindari praktek kecurangan, yang mana bisa saja peserta menaruh alat elektronik guna memuluskan penampilannya.
Ketiga, aturan ini diperlukan supaya dewan juri bisa melihat gerak bibir peserta. Hal yang jadi salah satu faktor penilaian juga. Misalnya untuk tahu makhorijul huruf atau tempat keluar huruf para juri harus melihat gerak bibir peserta.
Apa pun itu alasannya, yang jelas aturan-aturan ini sudah ada di tingkat nasional. Dengan rumusan regulasi yang dibikin orang-orang pakar di bidangnya.
Namun terkait MTQ Sumut yang viral itu, pihak panitia memang memodifikasi sedikit soal penggunaan cadar ini. Tidak mengikuti regulasi nasional seperti biasanya, tapi memakai peraturan tersendiri. Dan di sinilah sumber permasalahan bermula.
Panitia ternyata tidak mengomunikasikan sepenuhnya hal ini kepada dewan juri. Entah sebenarnya sudah dibicarakan atau tidak, pada kenyataannya dewan juri berpatokan dengan peraturan umum soal penggunaan cadar dalam lomba MTQ, sementara panitia menggunakan peraturan khusus.
Setelah diskusi antara panitia dengan dewan juri, akhirnya disepakati bahwa Muyyassaroh diperbolehkan mengikuti lomba MTQ kembali dengan cadarnya. Tentu dengan syarat, peserta diperiksa dulu oleh panitia perempuan sebelum naik panggung.
Masalahnya, ketika keputusan ini disepakati dan Muyyassaroh dikontak untuk ikut lomba lagi, yang bersangkutan sudah keburu pulang. Video yang merekam Muyyassaroh menolak lepas cadar di atas panggung pun sudah kadung direkam. Lalu menyebar, terus viral.
Melihat kronologi tersebut, kita bisa saja sepakat kalau pihak panitia dan dewan juri sebenarnya sudah punya iktikad baik merekonstruksi kesalahpahaman ini. Namun iktikad yang baik saja terkadang memang tidak mencukupi. Apalagi kalau lawannya adalah netizen Indonesia.
Nah, masalah lebih serius timbul ketika komen-komen netizen yang expert perkara agama sudah mulai bermunculan di beranda-beranda media sosial. Dari perkara dalil-dalil soal aurat sampai komentar yang menyerang kepribadian dewan juri MTQ Sumut.
Saya bahkan sempat baca, ada ustaz yang menyebut bahwa dewan juri adalah tukang penyingkap pakaian perempuan. Hm, kok ngeri. Sebuah tuduhan yang cukup serius.
Tidak sedikit juga komentar yang menyerang keilmuan dewan juri. Salah satunya serangan ke Prof. Said Agil Munawwar, mantan Menteri Agama yang juga guru besar di UIN Jakarta. Bahkan komentar itu merembet sampai membawa-bawa masa lalu beliau yang pernah bersinggungan dengan pengadilan.
Padahal beliau sendiri sosok ulama yang mutafannis alias menguasai banyak cabang ilmu agama. Beliau dikenal hafiz Al-Quran, ahli usul fiqih, dan juga orang yang bergelut di ilmu hadis baik diroyah ataupun riwayah.
Betul bahwa beliau pernah divonis penjara oleh pengadilan. Namun kesalahan pada masa lalu tidak serta merta menggugurkan kapasitas keilmuannya. Apalagi Ibnu Qoyyim muridnya Ibnu Taimiyah pernah mengatakan bahwa setiap orang berilmu pasti bisa terpeleset karena mereka bukan sosok maksum (tidak pernah salah).
Bahkan Ibnu Taimiyah pernah berkata bukan syarat mutlak para kekasih Allah itu meninggalkan dosa-dosa kecil. Bahkan tidak juga meninggalkan dosa besar menjadi syarat untuk menjadi wali-wali Allah selama kesalahan-kesalahan tersebut diikuti dengan taubat.
Bahkan dalam kelompok salafi yang terkenal memandang wajibnya cadar sendiri pun ada perbedaan pendapat.
Syaikh Albani, ahli hadis kelompok salafi, berpandangan bahwa cadar untuk perempuan bukanlah kewajiban. Bahkan bagi mereka yang mewajibkan, membuka cadar di depan laki-laki dewasa pun diperbolehkan dalam beberapa keadaan atau kondisi.
Di antaranya ketika perempuan itu dilamar, untuk berobat, sedang bersaksi di hadapan pengadilan, ketika berihram. Bahkan dalam proses jual beli, diperbolehkan untuk membuka cadarnya (mau posisinya pembeli atau penjual) demi kelancaran dalam transaksi.
Bukannya apa-apa, dalam beberapa kasus cadar kerap digunakan beberapa oknum untuk melancarkan aksi busuk mereka. Beberapa kasus, ada pria yang memakai cadar supaya bisa mendekati perempuan-perempuan muslimah lalu melakukan pelecehan kepada mereka. Beberapa kombatan ISIS pun pernah tertangkap memakai cadar saat mau menyeberangi perbatasan Suriah.
Untuk itu, bagi pihak yang sudah kadung emosi jiwa dengan kasus Muyyassaroh di MTQ Sumut, baiknya tabayyun lah. Melihat dari kedua sisi permasalahan dulu. Atau kalau mau serius, bisa memperjuangkan aspirasi supaya peraturan nasional soal penggunaan cadar di MTQ ini bisa direvisi.
Ini jelas merupakan perjuangkan yang lebih elegan ketimbang ngata-ngatain tanpa mau tahu duduk permasalahan dari kedua versi. Paling tidak jadikan momen MTQ kemarin sebagai bahan tambahan supaya peraturan tersebut bisa diubah.
Tak perlu komentar pedas yang melebar ke mana-mana. Dari yang tadinya koar-koar menuding para dewan juri sudah melawan syariat Allah, berakhir sampai jadi komentar yang bawa kesalahan rezim segala.
Di Arab Saudi, tempat saya tinggal beberapa tahun ke belakang, video tersebut sebenarnya juga sudah beredar luas. Dan gara-gara komentar netizen Indonesia yang galak-galak, ada kesan di Arab, Indonesia itu negara mayoritas Islam yang melarang perempuan bercadar ikut perlombaan baca Al-Quran.
Nah lho.
Apa jangan-jangan, setelah galak di medsos dan gemar sebar hoaks, bikin keributan dari salah paham jadi budaya kita belakangan ini? Atau hal begituan jangan-jangan nggak sekadar budaya, tapi sudah sampai tahap ketagihan?
BACA JUGA Ribetnya Jadi Perempuan Bercadar atau tulisan Dinar Zul Akbar lainnya.