UMR Jogja Memang Menyedihkan dan Menyiksa Dibanding Jakarta, tapi Setidaknya Jogja Belum Membuat Gila Para Sarjana kayak Ibu Kota

UMR Jogja Bikin Stres tapi Belum Bikin Gila kayak Hidup di Jakarta MOJOK.CO

Ilustrasi Perbandingan UMR Jakarta dan UMR Jogja (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COUMR Jogja memang menyedihkan, menyiksa, dan bikin stres. Namun, kota ini masih belum bikin gila bagi sarjana seperti halnya Jakarta.

Sejak lulus kuliah, oleh keluarga, saya kerap menerima desakan untuk pulang ke Jakarta. Sebenarnya, sudah lama saya mendengar desakan itu. Bahkan jauh sebelum saya wisuda beberapa waktu lalu.

Alasannya terdengar cukup sederhana. Katanya, agar saya bisa sesegera mungkin mendapatkan kerja dengan gaji yang lebih tinggi daripada UMR Jogja. Alasan itu memang nggak salah, tapi juga nggak sepenuhnya benar. 

Belakangan, desakan itu semakin nyaring di setiap sambungan telepon yang saya angkat. Apalagi saat setelah saya mengutarakan pilihan menetap untuk sementara waktu di sini

Menetap yang saya maksud di sini bukan nganggur menikmati status pengangguran. Jauh dari itu. Saya ingin menemukan kecenderungan minat saya melalui pengalaman pekerjaan. “Lho, memang di Jakarta nggak bisa?” Nanti saya akan berikan sederet alasannya. 

Soal UMR Jogja, cara berpikir kita kadang terburu-buru hingga keliru

Saya pikir, pertimbangan UMR Jogja dan Jakarta yang membuat keluarga saya mendesak untuk segera pulang, adalah sudut pandang parsial yang menyesatkan. Bukan lagi setengah matang. 

Memang, UMR Jakarta lebih tinggi dibanding UMR Jogja. Tapi, untuk membaca peluang itu, seharusnya kita lebih dulu melihat konteks sekitar. Biar nggak menukar masalah dengan masalah baru yang lebih parah. 

Status saya adalah fresh graduate dan masih minim pengalaman. Oleh sebab itu, saya jelas nggak mau menyumbang angka pengangguran di Jakarta hanya karena keliru membaca peluang. Bagi orang-orang seperti saya, mencari pekerjaan di Jakarta sama halnya bertaruh nomor togel. Sial-untung hanya bandar yang tahu. 

Persaingan di Jakarta itu brutal 

Sebagai kota metropolitan, tercatat bahwa setiap tahunnya, ribuan orang datang ke sana. Motif mereka jelas. Tak lain dan tak bukan adalah untuk mencari sumber lahan penghidupan. Sama halnya dengan saya, meski warga Jakarta asli, tetap saja harus mengadu nasib. Bersaing satu sama lain. Berebut posisi.

Membaca keadaan ini, saya melihat bahwa peluang mendapatkan kerja di Jakarta jadi semakin kecil. Sebab, supply pencari kerja yang membludak, tidak sebanding dengan demand yang terbatas. 

Hal ini rentan bagi fresh graduate seperti saya yang terhitung minim pengalaman, apalagi keunggulan. Hasil dari persaingan sengit ini, akhirnya memunculkan banyak pengangguran. Maka nggak heran, kalau ada banyak lulusan sarjana yang menganggur di Jakarta.

Hal ini kontras dengan Jogja, menurut saya, yang masih ramah buat pemula. Mengingat UMR Jogja, kita masih bisa menemukan banyak instansi maupun perusahaan yang membuka lowongan magang. Sebuah kesempatan emas bagi sarjana untuk belajar tanpa dituntut “jadi pakar duluan.” Begitu.

Baca halaman selanjutnya: Masih belum bikin gila, kok.

Tingginya kualifikasi lowongan kerja di ibu kota

Syarat ini seringnya nggak masuk akal dan bikin geleng-geleng kepala. Setidaknya, bagi fresh graduate. Misalnya, banyak lowongan dengan kualifikasi pengalaman kerja minimal 2 tahun, tapi umur maksimal 25 tahun. Jelas ini nggak masuk akal bagi kami yang masih pemula.

Selain dibatasi umur dan minimal pengalaman, biasanya lowongan pekerjaan di Jakarta juga dibatasi latar belakang program studi. Hanya prodi-prodi tertentu saja yang bisa melamar. Seolah prodi dengan lintas jurusan tidak memiliki kemampuan diri menempati posisi. Jelas, ini nggak ramah buat fresh graduated.

Sedangkan di Jogja, saya melihat ada banyak lowongan magang dan pekerjaan dengan kualifikasi yang lebih manusiawi. Bisa terjamah semua kalangan. Lebih terbuka bagi lintas jurusan dan minim pengalaman. Yaa meskipun UMR Jogja itu tak seberapa, tapi tetap lumayan. Itung-itung menambah pengalaman kerja. Cocok untuk pemula.

Butuh jaringan atau orang dalam 

Bagi saya, ini kriteria tak tertulis yang harus dimiliki oleh orang yang ingin mencari kerja di Jakarta. Tanpa punya kenalan, sulit menembus perusahaan. 

Networking di Jakarta adalah kunci yang bahkan terkadang, kekuatannya melebihi keunggulan diri apalagi hanya sebatas CV. Jelas ini menjadi persoalan bagi mereka yang lama menikmati UMR Jogja. Jangankan koneksi kerja, nongkrong sama temen lama aja sudah jarang.

Selain itu, lingkungan belajar di Jogja lebih kondusif dan inklusif dibanding Jakarta. Cocok untuk awal meniti karier. 

Meski UMR Jogja itu menyedihkan, kultur kolektif dan slow living-nya, memberi ruang bagi fresh graduate untuk menemukan passion atau mengasah skill dari lowongan kerja yang ramah pemula. Tanpa orang dalam, kami tetap mudah mendapatkan pekerjaan.

UMR Jogja dan biaya hidup yang kontras dengan Jakarta

Jomplang. Meskipun UMR Jakarta lebih tinggi, tapi biaya kehidupan jelas jauh lebih mahal. Bahkan, ada banyak instansi yang menggaji di bawah standar.

Meski UMR Jogja itu menyedihkan, biaya hidup juga rendah kalau membandingkan dengan ibu kota. Fresh graduated jadi lebih mampu bertahan hidup sambil menata karier. 

Ruang publik yang mahal dan akses healing terbatas

Ruang publik di Jakarta, cenderung menampilkan wajah glamor dan membutuh biaya tinggi. Sedangkan di sini, seperti UMR Jogja yang rendah, masih bisa menawarkan kesederhanaan. 

Sebagai gen Z, hal ini semakin terasa ketika berbicara soal kebutuhan healing. Di kota gudeg ini, meski UMR Jogja itu rendah banget, kamu masih bisa menemukan tempat relief post-work relatif yang strategis dan terjangkau. Ada banyak pilihan wisata alam dan budayanya. 

Sebaliknya, di Jakarta, aktivitas healing sering membutuhkan biaya besar. Lantaran minim dan terbatasnya ruang wisata murah dan memadai di sana. Buktinya? Sepanjang long weekend, tak jarang mobil plat B memadati jalanan rusak seperti UMR Jogja ini.

So, sekurangnya, 5 alasan itulah yang membuat saya memilih lebih dulu menetap di Jogja. Saya juga enggan terburu-buru pulang ke Jakarta. 

Kalau boleh memberi konklusi, menurut saya, UMR dan kehidupan Jogja lebih cocok untuk para pemula dalam mencari kesempatan meniti karier. Sedangkan Jakarta, lebih cocok untuk orang-orang yang sudah punya bekal pengalaman, jejaring yang kuat, dan siap bersaing ketat. 

Penulis: Ifana Dewi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Nasib Sial Adalah Mereka yang Lahir dan Besar di Jakarta, lalu Tinggal di Jogja karena Nyatanya Tersiksa oleh Kesepian dan Gangguan Mental dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version