MOJOK.CO – Tujuan pernikahan bukan bahagia. Salah besar jika menganggap dengan menikah otomatis akan lebih bahagia ketimbang melajang.
Saya tidak punya urusan dengan pernikahan Maia Estianty atau pesohor mana pun. Wong diundang untuk icip-icip makanan juga nggak. Saya justru tertarik dengan delusi yang menghubungkan pernikahan dengan kebahagiaan. Kalau ada orang menikah, serta merta orang menganggapnya sebagai momen bahagia.
Orang seakan melupakan kenyataan bahwa ada begitu banyak perkawinan yang tidak bahagia. Sampai ada ungkapan ejekan, marriage comes with 3 rings: engagement ring, wedding ring, and suffering.
Ada banyak cerita pernikahan yang sudah tragis sejak sebelum pernikahan dilangsungkan.
Dulu ada teman saya yang sedang asyik-asyik kuliah dan menikmati masa remaja, tiba-tiba dipanggil pulang untuk dinikahkan dengan bos ayahnya. Ia dipaksa menikah karena ayahnya punya beban utang kepada bosnya itu.
Itu jelas bukan pernikahan bahagia.
Teman saya yang lain mirip ceritanya. Ia menikah dengan seorang pria kaya saat ia masih belia, atas permintaan orang tuanya. Ia turuti permintaan itu demi meringankan beban orang tua. Yang ia dapat kemudian adalah neraka. Meski relatif berkecukupan, ia menderita akibat perangai buruk suami yang suka main perempuan dan melakukan kekerasan. Sebuah pukulan dihantamkan si suami di tengkuknya pernah membuat ia koma, dan menyisakan trauma fisik dan psikis selama bertahun-tahun.
Kita juga sering mendengar cerita pernikahan yang mana suami hanya mengambil manisnya kemudian melepehkan sepahnya. Semisal, setelah menikah beberapa bulan, suami tak lagi peduli kepada istri. Ia pergi meninggalkan istri yang sering pula sudah ditambah beban anak.
Sering pula si suami memang tidak pernah memberi nafkah yang layak sejak awal pernikahan sampai ia pergi meninggalkan istri dan anaknya. Yang ditinggalkan mesti pontang-panting menghidupi dirinya dan anak. Tidak sedikit yang harus menjual diri untuk bertahan hidup.
Sebaliknya, ada pula suami yang bekerja keras banting tulang, tapi jatuh miskin karena istri suka menghambur-hamburkan uang.
Yang tidak punya masalah ekstrem seperti itu tetap harus berpeluh-peluh mempertahankan rumah tangga.
Ada banyak cerita tentang pasangan yang menjadi tidak cocok karena soal agama. Entah yang tadinya taat agama kemudian menjauh dari agama ataupun sebaliknya: tadinya biasa saja, berubah menjadi sangat fanatik. Ada jua yang bergerak ke arah berlawanan, satu menjauh dari agama, satu lagi makin fanatik. Perubahan itu menimbulkan konflik.
Ada yang tadinya cocok dan harmonis lalu menjadi tidak cocok karena salah satu atau kedua pihak berubah, membuat mereka jadi berbeda dan tak lagi cocok. Orang yang kau nikahi sekarang boleh jadi bukan orang yang sama 10 tahun lagi. Di titik itu kau harus memilih, tetap bersama dia atau berpisah.
Perubahan perasaan juga menjadi sebab kegagalan pernikahan. Tadinya cinta, sekarang tidak lagi. Atau, jatuh cinta pada orang lain. Dalil-dalil kesetiaan sama sering berhasil dan gagalnya dalam menghalangi cinta.
Cerita-cerita tragis itu membukakan sisi lain pernikahan, bahwa pernikahan tidak identik dengan kebahagiaan.
Ada banyak kasus di mana orang justru mendapat kebahagiaan setelah ia mengakhiri pernikahannya. Tak jarang pula kedua pihak justru lebih bahagia setelah berpisah.
***
Tanpa masalah-masalah tragis seperti itu pun pernikahan bukan melulu soal keindahan. Saya sudah menikah 20 tahun lebih. Kalau saya ditanya soal bagaimana pernikahan, saya akan jawab: menikah itu berat.
Setiap hari di tempat kerja saya selalu terpikir, bisakah saya pulang saat jam kerja selesai tanpa lembur? Ditambah lagi dengan harapan semoga hari ini tidak macet parah sehingga saya bisa tiba di rumah sebelum jam 7.
Tiba di rumah, badan sudah lelah, kadang pusing dan enek setelah menempuh perjalanan 2 jam. Baru merebahkan badan sejenak, saya terpikir, Apakah anak-anak tidak kesulitan belajar? Kenapa mereka tak saya dampingi? Jangan-jangan malah tak belajar sama sekali?
Lalu saya beranjak dari tempat tidur, mengabaikan keinginan untuk santai. Dalam keadaan lelah saya dampingi mereka belajar. Mereka pun lelah setelah sekolah seharian. Maka tugas saya bertambah, memotivasi mereka agar sabar dalam belajar.
Setiap saat saya khawatir, tidakkah saya salah dalam mengasuh anak? Oh, sungguh mengerikan karena sekali saya salah, saya tidak bisa memutar ulang waktu. Sekali saya salah, mungkin akibatnya akan membekas pada sisa hidup saya dan anak-anak saya.
Setiap hari saya berpikir tentang masa depan anak-anak saya. Ke mana mereka kelak akan sekolah? Mereka akan bekerja sebagai apa? Apakah saya sudah membesarkan mereka untuk menjadi orang-orang mandiri?
Anak adalah salah satu sumber “neraka” dalam pernikahan. Banyak pasangan bercerai karena anak. Banyak pula yang menderita karena ulah anak. Ada yang stroke bahkan menjadi gila karena anak. Membesarkan dan mendidik anak adalah pekerjaan yang sangat menguras energi dalam pernikahan.
***
Seperti cerita-cerita tragis soal pernikahan, ada begitu banyak cerita indah dan inspiratif tentang kebahagiaan pernikahan. Lalu kenapa perlu ada penekanan pada cerita-cerita tragis tadi?
Kisah-kisah itu adalah pengingat bahwa pernikahan tidak identik dengan kebahagiaan. Sebaliknya, pernikahan juga tidak identik dengan neraka.
Lebih tepat bila kita katakan bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh pernikahan.
Kebahagiaan ditentukan oleh kerja keras kita untuk bahagia.
Untuk bahagia dalam pernikahan, kita perlu bekerja keras.
Tanpa kerja keras itu, pernikahan mungkin akan jadi neraka, atau setidaknya, menjadi sangat hambar.