MOJOK.CO – Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti baru saja lulus Kejar Paket C. Sebagai sesama “warga belajar” saya bangga. Terima kasih ya Bu Susi.
Baiklah saya akan langsung terus terang. Jadi begini, saya ini adalah lulusan Kejar Paket C. Saat kemarin sedang ribut-ribut sistem zonasi sekolah, hati saya agak sesak.
Bagaimana tidak? Saya yang lulusan Kejar Paket C ini tentu minder mau nimbrung perdebatan itu, misalnya tentang kekhawatiran orang tua siswa yang anaknya (dianggap) pintar tetapi tidak bisa masuk sekolah favorit.
Padahal, sesungguhnya, saya gemas sekali ingin mempertanyakan balik orang-orang tua itu, memang anak pintar itu yang seperti apa sih? Apapun makanannya minumnya tolak angin?
Akan tetapi, benak saya tiba-tiba mengerem, lha wong cuma lulusan Kejar Paket C kok ikut campur? Tahu apa soal anak pintar kalau cuma punya selembar ijazah sekolah nonformal begitu? Tahu apa soal kebanggaan punya anak pintar, kalau Kejar Paket C dipilih karena putus sekolah formal?
Serangkaian pertanyaan di atas bermunculan karena berangkat dari stigma tentang Kejar Paket C. Ada semacam persepsi yang muncul di sekitar saya, bahwa Kejar Paket C adalah sekolah bagi mereka yang dulunya tidak sanggup di SMA. Entah dikeluarkan karena nakal, urusan keluarga, politik, bahkan sampai urusan ekonomi.
Pada akhirnya Kejar Paket C atau sekolah kesetaraan lainnya muncul sebagai pilihan terakhir. Umumnya, mereka yang memutuskan jadi “warga belajar”—tuh, dari penyebutan untuk peserta didiknya saja dibedakan dengan sekolah formal—mencari ijazah setara SMA hanya untuk melamar pekerjaan yang lebih baik. Sederhana sekali bukan? Situ yang pengennya dapet NEM selangit dan dapat gelar ijazah dari sekolah favorit tentu gengsi dong kalau sampai masuk Kejar Paket C kayak saya? Idih, najis.
Cita-cita sebagian besar warga belajar yang sederhana itu, terutama yang dulu jadi teman sekelas saya, memang sangat tidak prestisius. Ini disebabkan pada kenyataan bahwa para warga belajar rata-rata sudah jadi pekerja.
Dengan demikian, sukar untuk menyisihkan waktu belajar, apalagi sampai memikirkan konsep ruang publiknya Jurgen Habermas atau berkubang dalam diskursus post-truth kayak antum-antum lulusan sekolah pascasarjana.
Kalau boleh berasumsi, persentase kepentingan untuk belajar dengan bekerja pada praktinya memang cukup timpang, yakni 30:70. Rata-rata orang belajar untuk Kejar Paket C benar-benar untuk sambilan. Kalau bisa segera lulus ya syukur, kalau nggak ya tahun depan coba lagi.
Asumsi ini berangkat dari kesimpulan sederhana saya saja. Soalnya di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) saya dulu, para warga belajar biasanya tetap nyambi menjalani pekerjaan sehari-hari. Itulah kenapa jadwal kegiatan belajarnya juga menyesuaikan, cuma tiga hari dan dimulai tiap pukul 7 malam.
Satu kali pertemuan cuma satu mata pelajaran. Alokasi waktu kegiatan belajarnya paling mentok juga cuma 2 jam. Rata-rata usia warga belajar di atas 20 tahun. Praktis, saya menyadari kalau stigma yang dilekatkan pada Kejar Paket C itu; bodoh, bebal, tumpul, sekolah nggak pakai seragam, udah gitu tua lagi.
Ya gimana, hal begitu saya alami sendiri. Sekitar lima tahun lalu, waktu pertama kali masuk Kejar Paket C, saya mulai diliputi stigma tersebut. Apalagi status saya baru keluar dari sebuah SMK di Yogyakarta setelah cuma betah satu semester. Terlebih, semua teman di kampung yang seumuran saya sudah nyaman di sekolah formal cum favorit.
Melihat teman sebaya bergegas ke sekolah tiap pagi, mengenakan seragam rapi, dengan mulut penuh obrolan tentang PR, rasanya saya pengen menarik diri ke Gua Hiro’.
Efek domino akibat menyandang status “warga belajar” pun akan semakin terasa ketika Lebaran. Dari Pakde, Bude, Paklik, Bulik, semua kompak mengalamatkan pertanyaan kepada keponakan-keponakan meraka.
“Kamu sekarang sekolahnya di mana, Nak?”
Jika orang lain lain bisa mantap menjawab, “SMA Negeri anu, Pakde,” atau “STM Negeri una, Paklik.”
Lha saya kalau ditanya begitu?
“Kejar Paket C, Bude.” Dijawab dengan malu-malu plus mode getar.
Akan tetapi, semua itu berubah ketika mendengar kabar bahwa Bu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, baru saja lulus ujian Kejar Paket C dengan nilai yang yaaah gak bagus banget sih, tapi jadi lulusan terbaik se-kabupaten.
Atas capaian Bu Susi ini, stigma tentang Kejar Paket C pun pada akhirnya jadi ikut keangkat derajatnya. Ya meski mungkin tidak secara langsung, tapi bagi saya pribadi, jadi kebanggaan buat orang-orang kayak saya.
Benar bahwa kebanyakan orang yang sekolah di Paket C itu para pekerja, tetapi bukan berarti harus main pukul rata menilai ambisi semangat belajar orang-orang kayak saya ini begitu rendah. Kami juga bekerja keras lho. Jelas dong, kami ini belajar dengan lebih berat karena harus belajar pada usia yang lebih senior (dibaca aja: tua).
Bayangkan saja, daya ingat sudah menurun, stamina sudah nggak prima, mata kadang ngeblur karena udah katarak atau harus pakai kacamata plus, itu belum persoalan seperti harus berkumpul dengan berbagai teman beda latar belakang yang tidak segampang anak satu kelas sekolah formal. Jika anak sekolah formal mah enak, disamakan karena usia, warga belajar di Kejar Paket C kayak saya disamakan karena satu hal juga sih: nasib. Dan kami dipersatukan oleh penderitaan stigma yang sama.
Meski begitu, biar dikata sekolah kelas dua, nyatanya ijazahnya disetarakan juga kok dengan SMA. Orang-orang lulusan Kejar Paket C tetap bisa melamar bekerja di tempat yang membutuhkan ijazah minimal SMA. Bahkan juga berhak mendaftar di universitas mana pun walau menyandang status lulusan sekolah nonformal. Nyatanya saya sekarang bisa diterima kuliah di kampus negeri juga.
Hal ini menunjukkan, bahwa kualitas lulusan Kejar Paket C ya sama normalnya kok dengan yang lain. Nggak ada bedanya tuh. Yang beda ya cuma itu tadi; stigma.
Maka, setelah mendengar kabar bahwa Bu Susi Pudjiastuti baru saja dinyatakan telah lulus Kejar Paket C, hati saya ini makin mantap untuk mendaku: saya juga lulusan Kejar Paket C lho, Bu Susi.
Ayo deh, kapan-kapan kita bikin reuni temu alumni, Bu. Tapi yang traktir Bu Susi ya? Ya iya dong, saya kan senior Bu Susi.