Kemarin pagi, ketika secara tak sengaja saya menonton infotainment di TV, muncul sosok yang belakangan menjadi buah bibir di sebuah teaser. Dia adalah Muzammil Hasballah, sarjana arsitektur lulusan ITB yang mendadak ngetop karena bacaan Al Qur’an-nya yang begitu fasih dan merdu.
Dalam teaser tersebut, turut diwawancara pula tiga orang selebritis perempuan. Dua di antaranya masih lajang dan mengaku memimpikan punya pendamping hidup seperti Muzammil. Sementara satu seleb lainnya yang sudah menjadi ibu, juga berharap kelak anak laki-lakinya bisa mengikuti jejak pemuda tersebut.
Kedua pendapat wajar yang bagi saya seturut dengan sebagian besar pendapat kaum perempuan pada umumnya.
Selain ketiga seleb tadi, turut pula diwawancara pula dua orang gadis “biasa” (bukan selebriti) yang mengaku penasaran dengan suara Muzammil lalu mendatangi masjid tempat ia menjadi Imam shalat. Adapun jadwal Muzammil mereka ketahui dari akun Instagram pribadi miliknya.
Sebagai informasi saja, sampai tulisan ini dibuat, follower Instagram Muzammil sudah mencapai 167 ribu dan subscriber Youtubenya hampir mencapai 26 ribu sekian.
Buat saya, fenomena kemunculan Muzammil ini menarik, mengingat selama ini sosok yang biasa diidolakan, dibicarakan, dan dikagumi banyak orang biasanya hanya terkait dengan tampilan fisik saja atau terkait kontroversi tindakannya.
Lihatlah idola kebanyakan remaja kita, sebagian besar tak jauh dari sosok fotomodel dan bintang sinetron yang didominasi wajah-wajah indo dengan kulit mulus dan tubuh proporsional, atau musisi dengan aksi panggung dan suara yang menawan. Acara kompetisi di televisi dan majalah pun saat ini ramai dengan pemilihan Putri dan Miss Anu, Gadis Sampul, dan kompetisi berbagai bakat yang bisa “dijual dan dijadikan tontonan dengan rating tinggi” semacam menyanyi, menari, dan berakting, hingga bahkan memasak.
Jika tampilan fisik atau kemampuan bakat itu tak ada, mereka yang akrab dengan kontroversi akan dengan cepat melesat menuju jagat komersial industri hiburan. Barangkali, memang sudah begini rumus survival dalam industri hiburan: semua harus menawan, semua harus menggugah rasa penasaran.
Saya melihat, dengan kehadiran Muzammil ada semacam perluasan arti kata “keren”. Jika, misalnya, menurut KBBI definisi keren itu adalah “tampak gagah dan tangkas dan perlente” (berpakaian bagus, berdandan rapi, dsb), Muzammil datang membawa sesuatu yang “baru”–kendati dalam rumusan tertentu hal tersebut bukanlah kebaruan yang orisinil.
Mayoritas anak muda memiliki identifikasi sendiri dengan kata “keren”. Biasanya, kata tersebut memiliki asosiasi yang selaras dengan “cool”. Tak harus ganteng atau cantik, tapi minimal, “sedap dipandang”. Disertai dengan tingkah laku dan penampilan yang kekinian, di antaranya terwakili lewat gaya bicara yang “kebarat-baratan” atau kepemilikan barang-barang bermerk dan mahal.
Sementara Muzammil, sebagaimana yang disebutkan tadi, ia membawa “kebaruan” lewat bacaan Al Qur’an yang fasih dan merdu. Secara fisik, ia toh tak jauh beda dengan mahasiswa teknik pada umumnya. Maksud saya, pada titik ini, ia bukanlah pria dengan polesan make up di salon atau hasil rekayasa pabrik fashion.
Kelebihan yang Muzammil miliki memang tampak agak “asing”: Kemampuan membaca Al Qur’an. Sebuah kemampuan yang pada zaman ini nyaris tak pernah menjadi bahan pertimbangan seorang Ayah kepada laki-laki yang hendak melamar anak perempuannya.
Belakangan, saya melihat kesadaran untuk mencintai Al Qur’an memang cukup meningkat pesat di masyarakat.
Di TV, misalnya, acara lomba berbasis hapalan dan bacaan Al Qur’an mulai marak beberapa tahun ini. Para orangtua juga kian berlomba memasukkan anak-anaknya ke sekolah yang ada fasilitas Tahfidz Qur’an seiring dengan semakin banyaknya sekolah dan lembaga yang mengkhususkan diri ke bidang tersebut. Di media sosial, prestasi anak yang bisa diposting kini tak lagi melulu soal lulus ASI eksklusif, nilai raport, atau juara lomba menggambar atau menyanyi, tapi juga mulai bertambah dengan hapalan anak yang sudah sekian juz.
Itu artinya, bagi pemahaman saya pribadi, kini membaca Al Qur’an mulai masuk kategori aktivitas yang keren.
Terlepas dari kontroversi memposting kehidupan pribadi di media sosial sebagai bentuk narsisisme yang rentan dianggap riya, tentu fenomena ini patut disyukuri. Muzammil sendiri mengaku memposting kegiatannya hanya sebagai sarana dakwah tanpa maksud sama sekali untuk menjadikannya sebagai sarana agar populer.
Belakangan, di akun Instagram pribadinya tersebut, Muzammil memposting sebuah kompetisi video tilawah untuk anak muda sambil tak lupa mengingatkan calon pesertanya agar selalu meluruskan niat.
Sebagai manusia, saya kira kekaguman terhadap sosok Muzammil adalah fitrah. Ya, fitrah yang dimiliki manusia sejatinya adalah condong menyukai kebaikan. Dalam rumusan yang mungkin dianggap klise ini, saya selalu percaya sebrengsek apapun seseorang, mayoritas dari mereka memiliki keinginan untuk mengubah masa kelamnya, lalu berharap dapat mempunyai pendamping hidup dan anak-anak yang baik serta, barangkali, juga taat beragama.
Dulu mungkin yang kenal dan mengagumi Muzammil hanya sebatas aktivis rohis di kampus, kini setiap anak muda dari jenis kalangan apapun bisa mengetahui aktivitasnya, syukur-syukur mengagumi dan tergerak hati untuk mengikuti jejaknya. Tetap semangat dan tetap rendah hati buat Muzammil. Terima kasih karena telah menunjukkan bahwa keren itu tak semata dilihat dari tampilan fisik atau uraian materialistik belaka.
Sebagai seorang ibu, saya berharap semakin banyak terlahir sosok Muzammil baru yang bisa menjadi contoh baik dan dapat membawa hal positif untuk anak muda di negeri kita yang kian hari kian mengenaskan ini.