MOJOK.CO – Istilah “gaji layak” untuk pekerja di Jakarta tidak pernah didefinisikan secara jelas. Pada akhirnya menjadi tebak-tebakan problematik saja.
Kerja di Jakarta itu problematik. Baik bagi pekerja yang bertempat tinggal di wilayah sekitar (area Jabodetabek), maupun para pendatang. Selalu ada tuntutan sosial yang serampangan, ugal-ugalan, dan tanpa perhitungan pasti. Belum lagi teori sembarang soal standar kesuksesan seseorang yang hanya terfokus dari sisi materi saja. Ujung-ujungnya malah jadi paradoks. Pembahasan hanya jalan di tempat soal tebak-tebakan berapa sih gaji yang layak untuk para pekerja di Jakarta?
Uniknya, jual-beli soal gaji ini selalu ramai ketika dibahas di platform mana saja. Mau di Twitter, Instagram, TikTok, sampai LinkedIn, akan selalu ada, bahkan banyak sekali, orang yang meladeni bahasan ini. Dari pekerja senior berbagai posisi, lulusan baru, sampai financial planner yang selalu siap dan sigap memberi arahan sekaligus menawarkan kursus online gratis hingga berbayar.
Biar Gen Y dan Z punya perencanaan dana yang lebih baik. Harapannya, sih, gitu. Realitasnya, tetap saja, syarat dan ketentuan berlaku.
Nominal yang dibahas juga selalu beragam dan menjadi ajang tebak-tebakan yang serampangan. Ada yang bilang gaji Rp6 juta sebulan di Jakarta itu nggak cukup. Rentang Rp8-Rp10 juta juga masih ada yang bilang belum cukup. Bahkan, gaji Rp25-30 juta dalam sebulan pun masih ada segelintir orang yang mengatakan belum cukup.
Sejauh jual-beli soal gaji berlangsung, perdebatannya juga nggak jauh-jauh dari:
Pertama, tergantung gaya hidup. Kedua, gaji berapa saja dirasa nggak akan cukup selama ada tanggungan biaya bagi orang tua, saudara kandung, dan beragam cicilan. Ketiga, harus punya perencanaan keuangan yang baik, nggak peduli bagaimana latar belakang pekerja yang bersangkutan. Keempat, katanya, yang penting hidup irit, hemat, dan bersyukur.
Kalau sudah begitu, mengikuti tren tebak-tebakan soal pendapatan, berapa sih gaji yang dirasa layak untuk para pekerja di Jakarta?
Sebetulnya, hal yang perlu ditegaskan, disadari, dan digarisbawahi dalam diskusi ini adalah, bahasan soal gaji yang selalu ramai di semesta media sosial itu untuk hidup layak (cukup) atau hidup bergaya?
Menurut Andy Nugroho, seorang pakar perencanaan keuangan, melalui detikfinance menyampaikan, dengan sekitar Rp5 juta, sudah bisa hidup layak di Jakarta. Hidup layak, lho, ya. Bukan bergaya, belum termasuk uang untuk biaya hobi atau bermewah-mewah.
Selain itu, ada hal lain yang lebih fundamental sekaligus perlu diingat dalam perdebatan soal gaji yang layak. Sebab, berapa saja nominal yang diperdebatkan, perlu dikroscek kembali dari sisi durasi kerja karyawan, pengalaman kerja, dan/atau keahlian yang dimiliki untuk suatu pekerjaan.
Itulah kenapa, para fresh graduate atau seseorang yang baru bekerja, sering mundur, hanya bisa menyimak, atau paling tidak berharap mendapat gaji minimal setara UMR untuk pengalaman pertama bekerja.
Di luar hal tersebut, sebagai pekerja, sudah semestinya kita semua perlu mengingat salah satu pakem dalam bekerja, apapun posisi atau perusahaan yang ditempati: tebak-tebakan untuk mendapatkan gaji yang dirasa layak, terlepas dari frasa cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari atau untuk bergaya, foya-foya, bermewah-mewah, ada harga yang mesti dibayar. Mulai dari mengesampingkan work-life balance karena tuntutan pekerjaan, beban kerja yang bertambah, hingga menyusutnya waktu luang untuk ini dan itu.
Percaya sama saya, ketiga hal tersebut nggak akan terlepas dari berapa nominal gaji yang layak, yang masih, dan terus saja diperdebatkan. Bahkan, menjadi hal mendasar yang nggak bisa dipisahkan. Agar sebagai pekerja, nggak kaget saat menerima gaji yang dirasa layak. Sebab, nyatanya, memang ada beberapa hal yang perlu disesuaikan.
Jangan sampai di awal ngarep mendapat gaji segini, benefitnya segitu, pas negosiasi dengan HRD di awal semangat betul, sudah sepakat, pas menjalani prosesnya malah spal-spil sembarang di Twitter. Lantaran kaget ada hal-hal yang nggak siap dijalani.
Realitasnya, kejadian tersebut memang kerap terjadi di antara pekerja, di ruang lingkup perkantoran. Istilah rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau masih relate untuk persoalan ini. Terlepas dari tuntutan sosial atau ikut-ikutan, masalah soal berapa gaji layak di Jakarta punya efek laten yang sudah sewajarnya harus diantisipasi sejak awal oleh para pekerja.
Sulit dimungkiri bahwa antara kepuasan bekerja dengan gaji/bonus yang layak memang berjalan beriringan. Seperti laporan yang dibuat oleh Michael Page Indonesia bertajuk Talent Trends 2022: The Great X. Melalui laporan yang sama, mengutip Katadata, bahkan gaji/bonus menjadi indikator teratas yang dipilih oleh para calon karyawan dalam memilih tempat kerja.
Laporan tersebut semakin menegaskan bahwa, gaji/bonus yang dirasa layak, tidak boleh menjadi tebak-tebakan yang serampangan, menjadi penentu sebagian pekerja dalam memilih tempat kerja.
Dibanding terus-menerus mempersoalkan berapa nominal gaji layak yang mesti diterima oleh para pekerja di Jakarta, saya menawarkan opsi lain yang sangat mungkin dilakukan oleh siapa saja tanpa peduli apakah seorang pekerja punya privilege atau nggak. Biar ada solusi, paling nggak untuk diri sendiri.
Pertama dan yang paling utama, ikuti tren atau survei berapa nominal gaji untuk posisi tertentu di berbagai bidang usaha/perusahaan. Bisa dicek melalui beragam situs atau portal pencari kerja. Tujuannya, agar bisa menentukan action plan serta prioritas dalam berkarier, untuk mendapatkan kemampuan, posisi/jabatan, hingga berapa gaji yang layak diterima saat ini atau di waktu mendatang. Melalui opsi ini, kalian juga bisa mengukur berapa perkiraan gaji yang layak diterima.
Klise, tapi, suka atau nggak, pola yang harus dilalui memang demikian.
Sederhananya, selain soal beban kerja, gaji yang layak akan selalu beriringan dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang pekerja. Nggak akan ada perusahaan yang mau tebak-tebakan mengeluarkan budget secara cuma-cuma, bagi pekerja yang penginnya bekerja seadanya. Kalau perusahaan yang bayar pekerja seadanya, padahal pekerjanya sudah diperas habis mulai dari waktu, tenaga, dan pikirannya, sih… hehehe.
Kedua, persiapkan diri dan kesiapan mental yang baik dalam proses menerima gaji yang dirasa layak secara personal. Sebab, akan selalu ada hal yang nggak terduga di dunia kerja. Tanpa persiapan yang matang, alih-alih memikirkan solusi, yang ada malah dikit-dikit pengin pergi, dikit-dikit tebak-tebakan pengin kerja di startup atau PNS. Lha, terus gimana? Masa mau gaji layak, tapi, nggak siap dengan segala konsekuensi?
Ketiga, mungkin bisa dijelaskan lebih dulu secara gamblang maksud dari gaji layak di Jakarta, sebelum kalian memperdebatkan hal ini. Apakah sebatas yang penting cukup untuk menyambung hidup sehari-hari sekaligus menabung atau aman untuk bayar segala macam cicilan, melakukan hobi, dan bermewah-mewah? Biar bahasannya lebih terarah, nggak rancu, dan nggak nganu gitu. Hehehe.
BACA JUGA Mana yang Lebih Baik, Gaji 6 Juta di Jakarta, Atau 3 Juta di Jogja? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno