“Aku akan memberi tawaran yang takkan sanggup ditolaknya,” kata Don Corleone dengan gestur yang sangat meyakinkan.
Corleone memang benar-benar seorang Godfather! Nggak ada yang bisa menandingi kejeniusannya, sampai kini, kecuali orang Madura. Bukan, bukan karena semua orang Madura sudah pernah nonton film Corleone atau membaca novelnya. Tapi semata karena orang Madura itu lucu. Lucu yang alamiah. Dan Sampeyan tahulah, orang lucu itu pasti jenius.
Sampeyan pernah dengar kisah Habibie yang dikadalin begitu mudahnya oleh orang Madura?
Saat menjabat Menristek, Habibie berkunjung ke Madura. Banyak umbul-umbul sambutan ditegakkan. Habibie bertanya kepada seseorang di tepi jalan, “Ini bambu umbul-umbulnya menjulang sekali ya. Berapa itu tingginya?”
Orang itu langsung mengambil meteran dan memanjati bambu umbul-umbul. “Akan saya ukur tingginya, Pak.”
Habibie tersenyum. “Bapak ini kok repot. Dirubuhkan dulu saja kan ya bisa, nggak usah dipanjat.”
Orang Madura itu tertawa. “Sampeyan ini bagaimana? Kalau dirubuhkan itu jadinya panjang, bukan tinggi lagi.”
Well, kendati blasteran Madura-Jember, saya karib dengan kelucuan orang Madura. Saya ndak ingin bahas yang serius-serius. Dan inilah sebagian tawaran cerita lucu Orang Madura yang sangat sulit untuk ditolak oleh siapa pun. Sampeyan ndak usah shock, lho.
Madura Negeri dan Swasta
Untuk Sampeyan ketahui saja, ada dua kategori orang Madura: Madura Negeri dan Madura Swasta.
Madura Negeri adalah orang Madura yang menetap di Pulau Madura. Dan Madura Swasta, orang Madura yang tinggal di luar Pulau Madura meski sehari-harinya berbahasa Madura. Uniknya, semua Madura Swasta selalu berhasrat untuk pulang ke pulau Madura suatu kelak dalam hidupnya. Ya, pulang ke rahim ibunya, ke status negeri.
Carilah keliling dunia, ndak pernah ada suku yang mengenal istilah negeri dan swasta seperti orang Madura.
Tutuplah Kepalamu
Penutup kepala (peci atau jilbab) merupakan salah satu simbol kesantunan dan relijiusitas di Madura.
Sampeyan ndak usah heran bila menjumpai lelaki Madura yang bercelana pendek, tetapi berpeci. Sampeyan juga ndak perlu merasa aneh bila melihat wanita Madura memakai kaos pendek tetapi berjilbab. Justru Sampeyan akan cenderung dinilai kurang beradab bila tidak berpeci atau berjilbab, walaupun mengenakan pakaian lengkap.
Saran saya, Sampeyan ndak usah mengaitkan fenomena ini dengan masalah syar’i atau apa sajalah yang ndakik-ndakik. Sebab ini Madura, bukan Saudi Arabia.
Panen Tembakau
Salah satu andalan ekonomi orang Madura ialah tembakau. Bila panen tembakau bagus, harganya pun bagus, seketika orang Madura menjadi kaya raya. Boleh saja saat menanam mereka menjual kalung, motor, bahkan kulkas, tetapi setelah panen, mereka dengan mudah mengembalikan semuanya.
Saking lubernya duit kala panen tembakau, orang Madura royal sekali berbelanja. Mereka ndak peduli merek dan harga. Yang mereka inginkan hanyalah “yang mahal”. Lha, banyak duit kok! Pengin beli kulkas, masuk ke toko elektronik, “Saya mau beli kulkas yang paling mahal.”
Si penjaga toko sudah tahu bahwa pembelinya adalah petani tembakau yang lagi banyak duit. Ia pun tahu bahwa sebenarnya di rumah pembelinya itu belum dijangkau aliran listrik.
Lalu kulkasnya buat apa? Wah, Sampeyan ini terlalu Aristotelian. Orang Madura nyantai aja beli kulkas bukan untuk ngademin air minum, tapi untuk lemari baju!
Kalau sedang di ladang tembakau, minumannya Sprite yang botol kaca. Cara minumnya bukan dengan membuka tutup botol, tapi langsung ditebas ujung botolnya pakai celurit, lalu diminum. Usai minum, ya dibuang botolnya.
Banyak duit, kok. Apalah arti botol Sprite?
Berhaji untuk Nebus Dosa
Cita-cita spiritual tertinggi orang Madura itu naik haji. Mau kerjaanya menipu, berjudi, atau maling, ya tetap saja itu impian terbesarnya, yang akan selalu diperjuangkan sebelum mati. Apa pasal?
Orang Madura sangat yakin bahwa berhaji merupakan sarana puncak menebus segala macam dosa. Lebbar, lebbur, (rontok, luruh dosa) begitu filosofinya. Perkara pulang haji tetap jadi maling, itu soal lain. Yang penting sudah berhaji, sudah purna dunia spiritualnya.
Maka orang Madura cenderung ndak suka bila ndak dipanggil haji kalau sudah berhaji.
Tahlilan dan Rokok Sukun
Salah satu laku relijius orang Madura ialah tahlilan. Sampeyan boleh saja ndak salat, atau suka ngeloni sinden, tapi urusan tahlil, ya Sampeyan harus bisa. Tabu hukumnya bila ada tetangga meninggal, lalu Sampeyan ndak ikutan bertahlil.
Sebelum tahlil dimulai, lazimnya semua tamu duduk bersila di atas tikar, mengeluarkan rokok dari saku baju, lalu meletakkan di depan silanya, kemudian merokok.
Di sebuah tahlilan, seseorang ini mengeluarkan rokok Sukun, sebelah kiri mengeluarkan Djarum, sebelah kanan Gudang Garam. Sukun jelas kalah pamor. Tapi dia ndak mati akal.
Orang merokok pasti dimulai dengan cara membakar bagian ujung rokoknya. Orang ini membakar rokok Sukunnya di tengah, sampai patah. Lalu berbisik, “Saya merokok Sukun bukan karena eman uang, makanya saya bakar di tengah, bukan di ujung kayak Sampeyan yang eman sama Gudang Garamnya.”
Kopi dan Love Bird
Burung Love Bird termasuk burung mahal. Harganya bisa ratusan ribu.
Suatu hari, ada orang Madura masuk ke bandara Juanda untuk keperluan umrah. Sembari menunggu take off yang cukup lama, ia dan ponakannya mencari kopi. Ketemulah kafe di dalam bandara. Ia pun memesan kopi dan sepotongpancake. Tentu, sambil asyik merokok di smoking area.
Saat ke kasir, ia kaget melihat sodoran billing senilai ratusan ribu. Sambil membayar, ia berbisik pada ponakannya. “Cong, saya baru saja melepas seekor Love Bird.”
Biru dan Hijau
Orang Madura ndak mengenal warna hijau di lampu merah. Adanya biru. Pokoknya biru. Meski warna sebenarnya tetap sama dengan lampu merah yang dipakai di Jawa: ya merah, kuning, dan hijau. Orang Madura akan menegur pengendara di depannya yang ndak kunjung tancap gas kala lampu hijau sudah menyala dengan kalimat begini, “Sudah biru kok Sampeyan ndak jalan juga, Lek.”
Tapi jangan salah, orang Madura juga menyebut biru untuk warna langit dan laut. Bukan hijau. Jadi, orang Madura sama sekali tidak buta warna.
Ramuan Madura
Madura juga kondang dengan ramuan seksualitasnya. Lazim disebut ramuan Madura. Benarkah ramuan Madura sebegitu dahsyatnya?
Simak ilustrasi ini: “Kalau wanita non-Madura diminta bikin kopi, itu pasti sendoknya yang dipakai untuk mengaduk kopi di gelas. Nah, kalau wanita Madura yang bikin kopi, bukan sendoknya yang mengaduk kopi, tapi gelasnya yang mengaduk sendok.”
Nah lho! Penasaran? Hati-hati, kata Jean Baudrillard, pikiran mengenai seksualitas seringkali lebih dahsyat dibanding aktivitas seksualitas itu sendiri.
Cewek Madura Ndak Pernah Jomblo
Boleh jadi ini ada kaitannya dengan poin Ramuan Madura di atas. Iya, sih, siapa yang ndak pengin diaduk gelasnya kalau lagi bikin kopi, coba?
Saya menemukan fenomena bahwa tiadanya cewek jomblo di Madura karena faktor orang tua. Bila orang tua sudah turun tangan dalam urusan asmara, dapat dipastikan semuanya purna lancar jaya. Koneksi-koneksi bawah tanah para orang tua sudah lebih dari cukup untuk sekadar menyandingkan anak gadisnya dengan lelaki bakal mantunya. Beres!
Maka bila masih ada cewek Madura yang sudah cukup umur, tinggal di luar Madura, dan belum kunjung yang-yangan, solusinya benar-benar sangat sederhana: pulang dan lapor bapak. Aku lapor bapak, maka yangku ada!
Pesan moralnya: “Eppak (bapak) adalah masa depan asmaraku!”
Udah ya, udah kepanjangan, messakke pembaca Mojok. Overall, saya selalu bangga menjadi bagian dari orang Madura, kendati genetiknya ndak asli-asli amat. Saya ndak pernah mencadel-cadelkan logat bicara saya biar terdengar njawani, ngumpetin kemaduraan, sebab perilaku demikian merupakan warisan stereotipe kolonialisme Hindia Belanda.
“Njenengan dari mana, Mas?”
“Kullo Sollo…” (ngaku wong Solo tapi logatnya Madura, bajindul).
Bahwa kelucuan-kelucuan alamiah yang saya terakan di atas kian pudar, itu benar adanya. Tetapi semua cerita ini adalah sejarah hidup kita, bangsa kita. Dan, kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah!