Tanjakan Sigar Bencah: Bahaya yang Tersembunyi di Antara Semarang Atas dan Semarang Bawah

Inilah kenangan saya akan tanjakan Sigar Bencah, daerah angker yang “membelah” Semarang atas dan bawah.

Semarang Atas dan Bawah Menyimpan Bahaya Bernama Tanjakan Sigar Bencah MOJOK.CO

Ilustrasi Semarang Atas dan Bawah Menyimpan Bahaya Bernama Tanjakan Sigar Bencah. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTanjakan Sigar Bencah cuma 1 kilometer. Ia menghubungkan Semarang atas dan bawah, sekaligus jadi tempat yang “menyimpan bahaya”.

Warga Kota Semarang dan mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) pasti tidak asing dengan nama tanjakan Sigar Bencah. Yap, itu adalah salah satu tanjakan yang menghubungkan antara Semarang atas dan Semarang bawah. 

Sigar Bencah memiliki jarak sepanjang 1,5 Kilometer dengan kondisi tanjakan yang cukup curam. Oleh sebab itu, di sini sering terjadi kecelakaan. Mulai dari motor, bahkan hingga bus besar. Sepanjang tanjakan ini, di sebelah kanan dan kirinya merupakan hutan dan jurang.

Saat ini, ramai sekali kendaraan melewati tanjakan Sigar Bencah. Siang atau malam, selalu ramai. Namun, sebelum 2017, kondisinya sangat berbeda. Tanjakan Sigar Bencah terkenal akan keangkerannya. Baik itu keangkeran makhluk gaib maupun keangkeran karena begal. Tapi, yang  menjadi pembicaraan hangat warga-warga lokal adalah keangkerannya karena makhluk gaib.

Kejadian janggal ketika melewati tanjakan Sigar Bencah, perbatasan Semarang atas dan bawah

Saya teringat kejadian yang menimpa saya pada Oktober 2017 yang lalu. Saat itu pukul 5 sore, saya melakukan perjalanan dari Kedungmundu yang berposisi di Semarang bawah. Saya dan beberapa orang berniat ke UNDIP dan harus melewati tanjakan Sigar Bencah agar perjalanan lebih cepat. 

Acara di UNDIP dimulai pukul 19.00. Namun, saya dan teman saya harus berada di lokasi sebelum pukul 7 malam karena kami harus menyiapkan sesuatu. Jadi, kami berangkat sebelum jam Magrib dan melaksanakan salatnya di kampus. 

Pukul 5 sore, kami sudah siap melakukan perjalanan. Namun, orang tua teman saya sempat bertanya.

“Mas, kamu yakin mau berangkat jam segini lewat Sigar Bencah?”

Sebenarnya, saya sudah biasa lewat tanjakan Sigar Bencah sekitaran Magrib. Kebetulan, saya tidak takut dan makhluk gaib tidak pernah mengganggu. Namun, beda dengan teman saya yang beberapa kali pernah “diganggu”.

Menanggapi pertanyaan beliau, saya tanya dulu ke teman saya.

“Rin, gimana? Berani nggak berangkat jam segini? Nanti kita langsung ke masjid untuk maghriban.”

“Berani, lah. Mama nggak usah khawatir sama Rini. Rini udah lama nggak diganggu begituan.” 

Lantaran Rini merasa yakin, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat pukul 5 sore, menuju Semarang bawah, melewati tanjakan Sigar Bencah. Jarak dari rumah Rini ke UNDIP membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit.

Pikiran buruk yang sangat mengganggu

Tepat sebelum kami naik tanjakan Sigar Bencah, azan Magrib berkumandang. Tiba-tiba saya kepikiran bagaimana kalau Rini tiba-tiba kesurupan saat membonceng? Karena saya pernah dengar katanya di waktu Magrib itu, makhluk-makhluk gaib sedang berkeliaran. Tapi, saya tetap positive thinking dan yakin kalau itu tidak akan terjadi. Tidak lama setelah itu, Rini berteriak yang membuat saya juga terkejut.

“Kenapa Rin?”

“Nggak papa, Mas”

Pikir saya dia hanya ketakutan karena lewat tanjakan Sigar Bencah yang suasananya kala itu memang cukung mencekam. Tapi, di sepanjang tanjakan, saya hanya diam dan berharap tidak terjadi apa-apa. Maklum, dari kaca spion, saya bisa melihat Rini hanya menutup matanya sepanjang daerah angker itu.

Selesai menembus tanjakan, kami langsung masuk ke wilayah Semarang bawah, UNDIP. Suasana yang terlihat langsung berubah 180 derajat. Tanjakan Sigar Bencah tadi gelap dan mencekam, di sini banyak lampu penerangan, kafe, dan mahasiswa wara-wiri. Seakan-akan, tanjakan Sigar Bencah itu pintu belakang untuk masuk ke kawasan kampus UNDIP di Semarang bawah. Sampai di sini, saya agak lega setelah berhasil membonceng teman yang sedikit sensitif.

Rini yang kesurupan setelah menembus tanjakan angker di perbatasan Semarang

Namun, kelegaan saya nggak bertahan lama. Tiba-tiba, Rini menyanyi sendiri dengan nada yang sangat sumbang. Saya tahu Rini bukan penyanyi, tapi suaranya bagus dan nggak sumbang. Detik itu, saya berpikir kalau Rini sedang bercanda.

“Rin, kamu nyanyi apa, sih, kok sumbang gitu?”

Rini malah tertawa mendengar pertanyaan saya. Respons itu membuat saya agak yakin kalau dia memang bercanda.

Namun, tiba-tiba Rini menangis kesakitan. Katanya, dadanya sakit dan merasa sesak nafas setelah melewati tanjakan yang menjadi perbatasan Semarang tadi. Setelah itu, terjadi perubahan yang drastis. Kadang dia tiba-tiba tertawa, kadang menangis, kemudian berteriak lagi. Tiga hal tersebut diulang-ulang terus. Sehingga membuat saya yakin

“KESURUPAN INI!” Teriak saya dalam hati.

Saya jadi sangat bingung karena ini pengalaman pertama saya memboncengi orang yang kesurupan. Akhirnya, saya menuju masjid kecil yang berada di dalam gang. Namun, Rini menolak dan malah marah. Punggung saya dicakar dan Rini memberontak seperti ingin lompat dari motor. Karena panik, saya tidak jadi ke masjid. Saya memutuskan untuk menuju kos teman saya untuk membantu kebingungan dan kepanikan saya.

Duh, Rini!

Selama perjalanan ke kos teman saya, Rini memang tidak memberontak. Dia hanya menangis dan lemas. Tapi itu semua membuat saya khawatir dan memberanikan diri untuk mengambil tangan Rini dan menaruhnya ke perut saya. 

Mungkin ini kelihatan seperti modus kesempatan dalam kesempitan. Tapi ternyata ini adalah malapetaka bagi saya. Tangan Rini tiba-tiba memeluk saya dengan sangat keras hingga membuat saya kesakitan.

“INI CENGKRAMAN SETAN!” Teriak saya dalam hati.

Tapi saya berpikir kalau ini demi keselamatan teman saya. Daripada di tengah jalan dia jatuh malah nanti bikin tambah repot. Setelah sampai di depan kos teman saya, Rini langsung turun dari motor dan jatuh ke jalan. Saya berteriak sekuat tenaga memanggil teman saya hingga akhirnya dia keluar bersamaan dengan ibu kos yang mungkin juga mendengar teriakan saya.

“Eh, Rini ini kenapa?” Tanya teman saya dan juga ibu kos yang sangat perhatian itu.

Saya bercerita kalau Rini dadanya sakit dan sesak nafas setelah melewati tanjakan Sigar Bencah, perbatasan Semarang atas dan bawah. Ibu kos langsung mengambil minyak kayu putih dan memijat Rini. Namun, Rini tak kunjung sembuh. 

Kemudian, atas inisiatif ibu kos, beliau memanggil taksi dan langsung membawa Rini ke UGD dan mendapatkan tindakan dari dokter.

Saya bercerita pada teman saya sembari menunggu dokter selesai melakukan tindakan. Kemudian saya dipanggil oleh dokter tersebut untuk memberikan kesaksian.

”Mas, ini Rini tidak ada penyakit apa-apa. Dilihat dari riwayatnya juga tidak ada. Memang tadi gimana, Mas, ceritanya kok bisa jadi seperti ini?”

Karena dokter bertanya seperti itu, saya bercerita selengkap mungkin dari awal memasuki tanjakan Sigar Bencah hingga berteriak-berteriak kesakitan. Mendengar cerita saya, dokter hanya menanggapi dengan ketawa kecil.

“Hahaha, mistis.”

Saya merasa bodoh bercerita kisah gaib di depan dokter. Karena bagaimanapun ceritanya, dokter hanya akan menganggap saya halusinasi. Tapi kenyataannya seperti itu. Setelah itu, dokter mempersilakan saya untuk menemani Rini sambal menunggu orang tuanya datang. 

Perempuan berbaju putih di sepanjang perbatasan Semarang atas dan bawah

Rini bertanya pada saya, “Mas, tadi aku kenapa?”

Karena Rini sudah membaik, saya memberanikan diri untuk menceritakan semuanya, mulai dari tanjakan Sigar Bencah hingga daerah Semarang bawah. Rini malah mengaku tidak ingat apa-apa. Rini hanya mengingat saat teriakan pertama kali di tanjakan Sigar Bencah itu karena melihat sosok perempuan berbaju putih berdiri di seberang jalan. 

Kemudian, Rini terkejut karena wanita berbaju putih tersebut melompat ke motor saya dan mencengkram dada Rini. Setelah itu Rini tidak ingat apa-apa lagi. Mendengar pengakuan tersebut, saya langsung merinding dan mulai percaya kalau tanjakan Sigar Bencah benar-benar angker seperti kata orang-orang.

Tapi alhamdulillah, cerita ini happy ending. Orang tua rini akhirnya datang menjemput. Ibunya menangis, sangat khawatir. Orang tuanya berterima kasih pada saya dan mengulurkan Rp200 ribu sebagai ucapan terima kasih telah menjaga Rini. Namun, saya menolak!

“Tidak, Om, tidak usah. Saya emang niat membantu Rini kok.”

Tapi mau gimana lagi. Saya dipaksa menerimanya hehehe. Akhirnya Rini pulang ke rumah dan saya makan malam bersama teman saya dengan uang Rp200 ribu tersebut. Begitulah kenangan saya akan tanjakan Sigar Bencah, daerah angker yang “membelah” Semarang atas dan bawah.

Penulis: Muhammad Anggit Hendrawan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Tengaran Kulon, Dusun Kecil di Semarang Ini Adalah Tempat Terbaik untuk Menetap dan pengalaman seru lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version