MOJOK.CO – “Menurut saya kalau mau konsekuen pemilihan itu harus dikembalikan ke MPR. Kalau nggak, rakyatnya juga jadi rusak mentalnya,” kata Hendropriyono.
Pak Jenderal TNI (purn) Hendropriyono yang baik. Sehat walafiat, Pak? Bisnis lancar jaya? Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang Bapak pimpin gimana? Lolos kan, Pak? Ah, semoga Bapak oke-oke saja. Jangan lupa bahagia ya, Pak.
Lalu gini nih, Pak. Kan saya baca Bapak Hendropriyono punya pernyataan dari berbagai media. Beberapa waktu kemarin, di Senayan, Bapak punya usulan agar presiden sebaiknya kembali dipilih oleh MPR—plus, masa jabatannya dibatasi cuman sekali selama sewindu. Bring back jaman jebot.
Saya kutip secara verbatim aja deh pernyataannya.
“Menurut saya kalau mau konsekuen pemilihan itu harus dikembalikan ke MPR. Kalau nggak, rakyatnya juga jadi rusak mentalnya.”
“Rakyat juga disiplin sosialnya bagus, sekarang disiplin sosial enggak ada, semua orang teriak, masa orang maki-maki pemimpinnya.
“Saya mewakili orang-orang tua segenerasi saya, saya prihatin. Karena kalau begini terus, bangkrut kita.”
Subhanallah, Pak. Sungguh usulan yang cemerlang cendekia, yang menjawab kebutuhan kita bersama!
Awalnya saya kira, orang tuajir, terpandang, dan punya pikiran tajam macam Bapak bersikap emang-gue-pikirin-yang-penting-gue-bisa-makan-enak terkait kondisi bangsa belakangan yang makin jahiliyah. Tapi tak saya sangka, Bapak ternyata peduli, makanya Bapak ikut usul yang luar biasa kacrut.
Benar, Pak. Pemilihan langsung presiden dan wakil presiden oleh rakjat memang banyak mudharat ketimbang manfaatnya.
Rakjat jadi bantai-bantaian di media sosial, nggak kenal waktu bekerja, waktu istirahat. Benar-benar nggak kasih kendor. Kenapa? Soalnya, rakjat kita itu goblok, terbelakang, tipikal orang dusun yang belum siap dengan format pemilihan yang kebarat-baratan—bukan saya yang ngomong lho, Pak, tapi itu kan anggapan kaum plutokrat, yang hingga sekarang masih berkuasa atas negara ini.
Lagian, Pak, orang-orang kere itu emang belagu amat ngomongin politik. Wong telor setengah kilo aja masih kasbon, numpuk pula kasbonnya di warung. Bayar sewa rumah aja ngos-ngosan, pemiliknya datang menagih aja rasanya kayak didatangi Malaikat Izrail. Ini kok sok-sokan ngomongin politik? Sok-sokan merasa punya saham atas Republik ini? Sok-sokan punya hak suara buat nunjuk siapa dan siapa yang punya kepantasan dan kecakapan menangani keberlangsungan hidup orang banyak?
Orang-orang kere baiknya anteng, bikin anak yang giat, biar kelak bisa dipanen untuk kemudian dijadikan sapi perah korporasi. Gitu baru bener. Ya kan, Pak?
Lagipula rakyat melarat di Indonesia kan udah punya wakil di Senayan. Wakil-wakilnya juga terpelajar serta berakhlak mulia. Apa gunanya digaji selangit, difasilitasi kemewahan, mobil kinclong yang didanai dari pajak rakyat cuma leyeh-leyeh?
Kan wakil rakyat juga harus kerja ya, Pak, ya? Masa iya disuruh makan gaji buta. Masa cuma disuruh bikin undang-undang doang? Ya kan bosan. Makanya, kasih dong kerjaan. Memilih Presiden buat rakyat gitu kek—misalnya.
Kemudian soal anggaran penyelenggaran pemilu, yang Bapak sebut; “pemborosan tak perlu.” Pada tahun 2004, tak kurang dari 3 triliun dihamburkan untuk menyelenggarakan pilpres pertama kali pasca-Reformasi. Pada 2009, biaya ini membengkak jadi 8 triliun. Pada 2014 jadi 15 triliun. Dan penyelenggaraan tahun ini mencapai 25,5 triliun, atau sekitar 1 miliar dollar Amrik!
Duh, duh, duit segitu kan nggak sedikit. Hitung-hitungan gobloknya saja, dengan duit seabrek itu, bayangkan berapa jumlah kapbir yang dapat disantuni dan dimakmurkan. Suangar emang Pak usulannya. Ketimbang ribut-ribut, habisin duit negara, mending eliminir pemilihan langsung.
Biarpun Reformasi telah berjalan 21 tahun—lebih baik mundur lagi ya nggak? Biar Pak Hendropriyono dan temen-temennya bisa sama-sama enak lagi.
Lagian, lumrah belaka kan kalau sekarang ada pejabat-pejabat, kendati merias diri sebagai “reformis” lalu mengeluhkan betapa noraknya rakjat ketika dikasih hak pilih di bilik suara. Sampai akhirnya ribut, gontok-gontokkan, terpecah belah.
Karena suka ribut, gontok-gontokkan dan terpecah belah, itulah kenapa Indonesia tetap blangsak sementara negara lain sudah lepas landas. Dan solusi finalnya emang ajaib: hapus aja pemilihan langsung Presiden.
Sekilas, logika model begini mirip dengan yang model: “Apa? Korupsi merajalela? Oh, naikkan saja gaji pejabat.” Atau, “Karena angka kecelakaan motor yang tinggi, hapus saja sepeda motor dari muka bumi.” Hm, usul yang ajaib memang.
Iya, sih Pak Hendropriyono. Saya juga cukup risih, kadang juga jengkel, dengan keributan Wiwiers dan Wowoers yang seakan nggak ada ujungnya. Lima tahun lho, Pak, nggak ada perubahan. Nggak mutu blas.
Mungkin hal ini pulalah yang bikin Bapak ngelus dada—wabilkhusus buat mereka yang suka tebar fitnah dan hoaks. Padahal, berisiknya para partisan itu nggak creatio ex nihilo. Ada andil kompor-kompor juga di situ. Tungku-tungku besar yang bikin penyebar fitnah dan hoaks merasa dibeking, jadi mereka ngerasa aman-aman aja. Ya nggak usah tolah-toleh gitu sih, Pak, orang-orangnya ada di sekitar Bapak juga kok.
Kalau Pak Hendropriyono masih ingat, pada 2014, Pilkada sempat nyaris saja dipilih lewat wakil rakyat beneran. Rakyat dianggap nggak penting-penting amat buat kasih keputusan. Sayang ya, Pak, saat itu usulan dari Koalisi Merah Putih ditolak dan nggak lanjut.
Untung sekarang yang usul Pak Hendropriyono, sosok yang partainya dekat dengan istana. Lha gimana, Bapak kan satu gerbong sama Presiden yang dipilih langsung sama rakyat? Jadi kan kesannya otoritatif banget gitu. “Tuh, orang yang usul adalah pendukung Presiden yang menang karena pemilihan presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Jadi ini murni demi kebaikan bersama.”
Tapi, Pak Hendropriyono harus tahu. Kalau iya mau bikin pemilihan presiden dipilih oleh MPR lagi, usul saya sih jangan tanggung-tanggung, Pak. Ngapain pakai malu-malu gitu. Nggak seru.
Sekalian aja nggak usah ada Pemilu, Pak. Pilih aja yang jadi pejabat teman-teman Bapak. Apaan sih, rakyat kok dikasih tanggung jawab ikut mikirin negara. Rakyat kismin nggak berpendidikan kayak saya ini ngerti apa sih? Bisanya nulis doang, nggak bisa kasih kritik dengan solusi. Beda dong dengan Pak Hendropriyono yang bisa kasih solusi konkrit dan ajaib punya.
Terakhir. Sebagai bentuk dukungan dari saya, rakyat jelata yang lemah ini, izinkan saya mengutip kalimat cihuy dari filsuf Indonesia jaman baheula. “Muke gile lu, Ndro!”