MOJOK.CO – Seandainya kelak saya punya kesempatan menjadi salah satu pewawancara untuk seleksi beasiswa LPDP, akan seperti apa prosesnya dan apa saja tema pertanyaan yang akan saya ajukan.
Dari tahun ke tahun, pembahasan soal seleksi beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) menjadi rutinitas yang seakan sulit dikesampingkan oleh banyak kalangan. Masih menjadi polemik yang ora uwis-uwis.
Menariknya, topik yang diangkat ke permukaan juga beragam. Mulai dari pertanyaan apakah awardee, penerima beasiswa, sudah tepat sasaran atau justru malah diterima oleh para oportunis, sampai dengan persoalan kesulitan mencari pewawancara. Akibatnya, proses wawancaranya menjadi wagu dan agak nganu.
Boleh jadi tidak semua pewawancara beasiswa LPDP melakukan penyimpangan. Namun, seperti yang sudah-sudah, fokusnya akan tertuju kepada mereka yang dianggap bermasalah.
Seperti yang terjadi pada 2017 lalu, misalnya. Melansir dari BBC Indonesia, peserta calon penerima beasiswa LPDP disuruh menyanyi lagu wajib saat proses wawancara berlangsung. Wajar jika pada akhirnya sebagian peserta, sekaligus masyarakat yang jempolnya hiperaktif di internet, keheranan sekaligus membatin, “Ini seleksi penerimaan beasiswa LPDP atau audisi X-Factor Indonesia terselubung?”
Belum lagi beberapa pertanyaan yang masih bersinggungan dengan SARA dan intimidatif. Terakhir, rektor kampus ternama yang menjadi salah satu pewawancara LPDP dianggap rasis karena menyelipkan istilah “manusia gurun” pada status Facebook-nya.
Walaupun pihak kampus sudah memberi konfirmasi bahwa hal tersebut adalah opini pribadi beliau, tetap saja label antara rektor kampus dan rasis sulit dipisahkan. Apalagi kalau netizen sudah ikut nimbrung. Apa nggak makin jelimet?
Di sisi lain, wajar jika beberapa kekurangan tersebut menjadi sorotan sekaligus mendapat kritikan. Selain karena sudah menghasilkan kontroversi, nggak jarang polemik ini berujung pada kata evaluasi, perbaikan, hingga pembenahan.
Padahal, terkait proses wawancara beasiswa LPDP yang agak nganu dengan segala pertanyaan SARA, diskriminatif, dan intimidatif, semestinya sudah ada kesadaran diri agar hal tersebut tidak terucap oleh pewawancara. Biar tetap pada konteksnya gitu.
Saya cukup paham bahwa proses wawancara itu nggak segampang aktivitas netizen di media sosial yang passionate betul dalam memberi hujatan, Bapak/Ibu yang terhormat. Sebagai rekruter atau pewawancara, kerap kali saya menghadapi berbagai kesulitan yang tidak terduga. Namun, hal tersebut tetap nggak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan beberapa penyimpangan. Prinsipnya sederhana saja, pertanyaan yang diajukan selama wawancara tetap nggak boleh serampangan, semaunya, apalagi sampai mengandung unsur SARA dan intimidatif.
Lantaran punya profesi yang masih beririsan dengan proses wawancara, saya sempat membayangkan. Seandainya kelak saya punya kesempatan menjadi salah satu pewawancara untuk seleksi beasiswa LPDP, akan seperti apa prosesnya dan apa saja tema pertanyaan yang akan saya ajukan.
Pembagian peran dan fungsi sebagai pewawancara beasiswa LPDP
Tentu saya akan memilih peran pewawancara layaknya seorang good cop, istilah atau teknik yang biasa dipakai untuk berbagai kesempatan. Punya sisi lembut, tidak intimidatif dan agresif saat melakukan tugasnya, termasuk untuk proses wawancara. Intinya, lebih kepada mengajak brainstorming tanpa perlu ngegas sana-sini, lah. Termasuk punya tugas mencairkan suasana biar nggak tegang-tegang amat.
Selanjutnya, selain ada yang berperan sebagai good cop, sebagai penyeimbang, tentu akan ada yang menjadi bad cop. Bukan soal intimidatif atau ngegas selama proses wawancara beasiswa LPDP berlangsung, namun cenderung lebih tegas dan lugas dibanding good cop yang terkesan casual dan santai.
Prinsip seorang good cop adalah, memaksimalkan komunikasi serta mengetahui potensi melalui situasi yang membikin nyaman para peserta. Sedangkan bad cop, pada dasarnya ingin mengobservasi reaksi para peserta LPDP pada saat ada di situasi tertekan dan/atau kurang menyenangkan. Apakah masih bisa merespons segala pertanyaan dengan tenang atau justru sebaliknya, menyerah dan hilang arah. Suatu kombinasi yang mumpuni, bukan?
Kemudian, sudah menjadi rahasia umum, berdasarkan pengalaman para peserta beasiswa LPDP, dalam satu sesi panel interview, total pewawancara berjumlah tiga orang. Untuk posisi Psikolog dalam proses wawancara, agar punya peranan yang lebih jelas dan nyata, dibanding ikut-ikutan di posisi bad cop atau cenderung intimidatif sambil observasi peserta, boleh jadi akan lebih efektif jika fungsinya dipisahkan. Dari yang sebelumnya berperan sebagai pewawancara, menjadi konselor bagi para peserta.
Harapannya, para peserta potensial atau terpilih menjadi semakin yakin dengan pilihan dan/atau keputusannya untuk mengikuti program beasiswa LPDP. Termasuk mengingatkan kembali tentang visi dan misi dari LPDP itu sendiri.
Biar nggak dibilang, part time student, full time traveler, dianggap oportunis, enggan pulang ke Indonesia sampai kontribusi dianggap nggak ada padahal sudah dibiayai oleh negara. Eh.
Teknik dan materi wawancara
Selain metode LGD (Leaderless Group Discussion) dengan beragam tema diskusinya, proses wawancara per individu menggunakan metode BEI (Behavioral Event Interview) atau STAR (Situation-Task-Action-Result) harus dipertahankan agar tetap fokus pada konteks dan meminimalisir penyimpangan oleh pewawancara.
Belakangan, saya menyadari bahwa pertanyaan yang diajukan nggak melulu harus formal atau straight to the point. Pertanyaan teknis tentang LoA (Letter of Acceptance) untuk mendapat persetujuan kampus yang dituju dengan segala tetek bengeknya boleh saja tetap diajukan.
Namun, agar prosesnya tetap punya sisi menyenangkan, bisa juga melalui pertanyaan yang, terdengar santai, mungkin terkesan jenaka atau main-main, padahal punya tujuan dan maksud tertentu yang bisa digali. Biar jawaban dari peserta penerima beasiswa LPDP lebih variatif, nggak template, dan sesuai dengan kondisi aktual sekaligus pengalaman yang dilalui sebelumnya.
Misalnya saja pertanyaan tentang, “Bagaimana cara Mas/Mba menghadapi teman dengan pola pikir yang berbeda, entah di kehidupan nyata dan/atau di media sosial?”
Terkesan sepele, tapi jawaban yang disampaikan akan menentukan dan menggali beberapa hal. Seperti, bagaimana yang bersangkutan mengontrol diri dan memaksimalkan media sosialnya. Berdamai dengan teman walaupun berbeda sudut pandang, dan lain sebagainya. Termasuk bagaimana cara merespons isu terkini.
Ya, daripada ujug-ujug minta peserta beasiswa LPDP nyanyi dan bertanya soal kalau dapat pacar atau menikah dengan orang luar negeri, kan. Eh.
BACA JUGA Pengalaman Saya Lolos Beasiswa LPDP, Tipsnya Mungkin Bisa Kamu Coba dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno