Sisi Gelap HRD: Bitter Truth dan Kecurangan kepada Karyawan yang Dianggap Sepele

HRD Curang kepada Karyawan karena Karyawan Itu Sepele MOJOK.CO

Ilustrasi HRD Curang kepada Karyawan karena Karyawan Itu Sepele. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODunia kerja tidak baik-baik saja jika HRD menganggap pekerja hanya sebagai angka dan menyepelekan hak yang semestinya diberikan. 

Dunia kerja sedang tidak baik-baik saja. Saya semakin menyadari hal ini, setelah bekerja selama 7 tahun (sampai saat ini) di ruang lingkup HRD. Ini posisi yang terbilang strategis untuk mengetahui bahwa dinamika dalam dunia kerja, nyata adanya. Persoalan antar-pekerja termasuk dengan perusahaan, di mana pun itu, ada kalanya membikin kepala ini mumet.

Perlahan tapi pasti, persoalan pelik, satu per satu mulai bermunculan. Kasusnya beragam dan sering menguap di media sosial. Mulai dari pembayaran upah yang tidak sesuai aturan, pelecehan di ruang kerja, uang lembur yang sering disepelekan, sampai yang cukup fatal: pemutusan kontrak kerja karyawan yang tidak ideal, dikabari saat itu juga, diminta minggat di waktu itu juga. Lebih gilanya lagi, sebagian HRD menormalisasi hal ini.

Entah memang tidak paham aturan, manut, untuk tidak menyebutnya takut, kepada perusahaan, tidak peduli nasib karyawan, atau memang ndableg saja. Sialnya, ini benar-benar terjadi di antara rekan HRD yang saya kenal di berbagai perusahaan.

Seharusnya menjadi jembatan bagi karyawan

Tenang saja, kawan-kawan sejawat. Saya tidak akan mempromosikan nama kalian satu per satu, termasuk di mana kalian bekerja. Bukan untuk melindungi, lebih kepada tidak sudi. Tapi, melalui tulisan ini, semoga kalian menyadari bahwa ketimpangan dan/atau kecurangan terhadap pekerja, sangat tidak bisa dibenarkan. Dan para pekerja, bisa lebih mawas diri.

Begini. Apapun kasusnya, sudah sewajarnya HRD atau tim terkait yang berwenang di masing-masing perusahaan bisa menjadi jembatan bagi para karyawannya. Bukan hanya pasrah, apalagi menormalisasi. Bisa oleh tim HRBP, Compliance, Legal, atau HRD itu sendiri (jika dia memang seorang generalis). Soal ini, dikembalikan kepada kebijakan perusahaan. Mendelegasikan persoalan terkait ke tim yang mana. 

Dalam membuat aturan, sebagian HRD atau tim terkait, sering bermain di ranah abu-abu. Dibilang salah dan menyalahi aturan, tidak juga. Dibilang benar secara utuh pun, tidak juga. Lantaran, dalam beberapa kasus ada kebijakan yang diadaptasi sedemikian rupa agar terlihat tidak salah-salah amat. Suka atau tidak, ini sudah menjadi bitter truth di ruang lingkup HRD.

Saya hanya ingin mewanti-wanti sejak dini, agar ketika menemukan hal serupa, celah besar yang ada atau baru disadari di waktu mendatang, bisa diwaspadai atau diantisipasi dengan berbagai tindakan. Buka dialog sejak awal dengan tim yang berwenang, bisa jadikan tindakan preventif untuk melakukan pencegahan terhadap hal yang tidak diinginkan. Aturan apa saja. Bisa soal pembayaran upah, lemburan, dan hak lain sesuai perjanjian awal.

Baca halaman selanjutnya: Karena karyawan itu dianggap selepe oleh oknum HRD brengsek.

Pertanyaan serius yang akan saya jawab: apakah para HRD selalu memihak karyawan?

Sayangnya, tidak. Kebanyakan HRD akan selalu menancapkan 2 kaki di tempat yang berbeda. Kaki yang satu untuk bisnis atau perusahaan. Satunya lagi untuk karyawan. Jadi, berharap bahwa semua HRD akan iba dan bergerak cepat membantu terhadap segala permasalahan yang dihadapi oleh karyawan, adalah sebuah keniscayaan. Lha gimana, HRD juga sudah mumet sama tugas dan tanggung jawabnya, kok.

Terkait hal tersebut, ada satu cerita dari rekan HRD yang sampai saat ini selalu berhasil membikin saya mangkel setengah mampus.

Suatu ketika, ada beberapa karyawan yang harus diberhentikan (lay off) secara mendadak. Mereka ini tidak mendapat kabar satu bulan sebelumnya.

Saat itu datang ke kantor, di waktu itu juga dikabari bahwa ia diberhentikan. Karyawan tersebut tentu saja tidak menerima dan melayangkan protes. Namun, rekan saya yang HRD itu dengan congkaknya bercerita, “Halah, kalau cuman satu, biarkan saja. Tinggal diurus. Selesai.”

“Lagian, sudah biasa, kok,” dia melanjutkan. Saya yang kaget. “Lha, bisa-bisanya hal seperti itu dinormalisasi dengan entengnya,” batin saya.

Lain HRD, lain perusahaan, lain cerita. Rekan saya yang lain, menormalisasi uang lembur diganti dengan jatah/pemberian makan. Saat saya tanya, “Lho, kok, bisa-bisanya begitu? Uang lembur, kan, jelas hak karyawan ketika diminta kerja di hari libur.” Tanggapannya kemudian membikin darah di kepala saya mendidih, “Ya, nggak apa-apalah. Sudah syukur dikasih makan. Daripada sudah diminta lembur, terus harus beli makan pakai uang sendiri.”

Itu hanya sedikit cerita yang mengiris hati saya, mungkin juga bagi para pekerja lainnya, tentang sebagian HRD yang merasa jadi dewa, kebal aturan, sekaligus petantang-petenteng di dunia kerja.

Apakah HRD atau perusahaan yang melakukan praktik hina tersebut tidak takut terhadap Disnaker setempat?

Saya sempat menanyakan hal tersebut kepada rekan HRD yang saya kenal dan melakukan praktik ndableg tersebut. Mereka mengaku bahwa, jika pelapor hanya satu, dua, tiga, atau sekian orang, mereka siap “ngeles” jika ada pemeriksaan dari pihak Disnaker. Hadapi, beri penjelasan, atau berdamai dengan karyawan yang melapor dengan cara memberi kompensasi.

Mereka mengaku akan lain soal jika yang melapor mencapai puluhan atau ratusan karyawan. Sebab, hal tersebut akan mencuri perhatian Disnaker setempat untuk melakukan pengecekan mendalam, audit, dan tindakan semacamnya. Termasuk jika sudah melibatkan serikat buruh/pekerja. Mereka mengaku akan kalang kabut dan nyaris dipastikan kalah.

Tidak bisa tidak, dalam hal ini, peran, apalagi bergabung dengan serikat buruh, wajib dipertimbangkan oleh para pekerja. Termasuk melapor ke Disnaker agar bisa segera minta pertolongan jika menjadi korban praktik kecurangan yang dilakukan oleh HRD/perusahaan.

Sebagian HRD boleh jadi merasa takut, mesti patuh terhadap aturan yang ditetapkan perusahaan. Tapi, bukan berarti tidak punya hak suara sama sekali. Apalagi jika terjadi kecurangan. Dampaknya akan besar. Malah, akan memengaruhi branding perusahaan. Apa malah nggak mumet bin ruwet jika sudah kadung demikian?

Saya ingin menegaskan bahwa, dunia kerja, khususnya di Indonesia, selamanya tidak akan ada dalam status yang baik-baik saja jika HRD perusahaannya menganggap pekerja hanya sebagai angka dan menyepelekan hak yang semestinya diberikan. Padahal, lebih dari itu, pekerja juga manusia biasa yang ingin merdesa.

Penulis: Seto Wicaksono

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kenapa, sih, HRD yang Menyebalkan Semakin Banyak? Dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version