MOJOK.CO – Istilah “social distancing” atau “lockdown” itu gampang dipahami milenial dan kelas menengah, tapi jauh untuk simbah saya yang tinggal di dusun pelosok.
“Disuruh social distancing, Mbah,” kata sepupu saya.
Waktu itu, saya dan adik sepupu sedang mengantarkan “berkat” (semacam hantaran makanan) ke rumah saudara tua saya ini.
Berita mengenai merebaknya corona memang sudah sampai di berbagai pelosok negeri, termasuk di pelosok Bantul, Yogyakarta. Dan simbah saya yang kerjaannya petani itu pun ikut-ikutan sibuk membahas corona. Yah, walaupun bahas sebisanya yang beliau bisa bahas aja sih.
Meski tak seheboh di kota-kota kayak Jakarta, Semarang, atau Surabaya, di dusun sini pun fenomena panic buying ada. Hanya saja karena tempatnya pelosok begini, ya tentu skalanya jauh lebih kecil.
Yang keliatan banget sih, stok Indomie dan Mie Sedap jadi ludes. Paling tidak, sampai saat ini saya harus nyari ke lima toko buat beli Indomie goreng doang. Udah begitu, alkohol juga makin susah dicari.
Masker sama hand sanitizer? Ah, itu sih jangan tanya… saya aja sampai lupa wujud masker dan hand sanitizer itu gimana.
Dalam hal ini, harus diakui media sudah bekerja dengan baik. Media sudah berhasil memberikan informasi ke rakyat secara meluas. Pandemi global yang harusnya ditangani dengan serius ini, alhamdulillah, pesan itu sudah tersampaikan.
Perkara panic buying dan efek pemberitaan media lainnya sih tinggal diatur lah sama pemerintah. Dan memang pemerintah harus mengatur. Sosialisasi harus dilakukan lebih gencar termasuk menyiapkan faskes kita untuk menampung pasien corona.
Hanya saja, pandangan saya yang serba positif soal cara komunikasi pemerintah itu mendadak berubah ketika kemarin berkunjung ke rumah simbah saya itu. Terutama ketika Simbah tanya soal apa itu “social distancing”.
“Lah, social distancing kuwi opo, Nduk?” (Lah, social distancing itu apa, Nduk?), begitu tanyanya ketika adik sepupu saya menerangkan usaha-usaha pencegahan corona selain lockdown.
Saya dan adik saya sempat bingung juga bagaimana menjelaskan social distancing ini ke Simbah. Soalnya, selain harus dijelaskan dengan bahasa yang simpel dan nggak mbulet, Simbah juga harus tahu kalau itu penting untuk dilakukan.
“Ya, pokoknya di rumah aja, nggak usah deket-deket sama orang, Mbah,” begitu akhirnya adik saya membuka penjelasan.
Melalui dialog sederhana itu, saya jadi berpikir lebih jauh. Oh, iya juga ya, jebul memang lumayan banyak istilah keminggris yang dipakai dalam kasus corona kali ini. Hal yang tanpa disadari bikin kita se-Indonesia mendadak jadi anak Jaksel semua.
Coba deh itung aja. Ada istilah lockdown, fatality rate, panic buying, hand sanitizer, WFH alias work from home, self isolation, self quarantine, dan seterusnya. Yah, lumayan banyak. Terutama untuk simbah saya yang nggak punya akun Facebook atau Twitter.
Kita mungkin awalnya sama-sama nggak tahu ada istilah itu. Tapi karena kelas menengah kayak kita punya medsos, kita bisa dapat penjelasan dari netizen lain. Dari yang tadinya nggak paham, jadi paham. Beda dengan orang-orang di dusun kayak simbah saya ini.
Bukan tidak mungkin di dusun pelosok luar sana ada juga orang kayak simbah saya yang cuma komentar gini ketika denger Pak Jokowi pidato.
“Presidenku iki lagi ngomong opo toh?” (Presidenku ini lagi ngomong apa sih?).
Padahal hampir semua istilah itu sangat penting. Istilah lockdown misalnya. Saya jadi bayangin simbah saya lagi nonton berita. Lantas dia denger, Pak Presiden Jokowi nggak akan memberlakukan lockdown.
Hayaaa jelas bingung simbah saya dengan istilah semacam itu. Bener-bener nggak dekat dan membumi aja buat beliau. Iya sih, istilah itu membumi untuk milenial dan kelas menengah kayak saya atau kamu, tapi terasa jauh banget untuk Simbah.
Belum kalau dikasih tahu lebih lanjut, misalnya, “Mbah, Indonesia nggak lockdown, tapi kita nerapin social distancing. Usahakan juga pakai hand sanitizer dan sebaiknya work from home. Mbah nggak usah khawatir ya, Mbah, jangan ikutan panic buying.”
Bisa-bisa saya malah ditimpali balik sama Simbah.
“Kowe ki ngomong opo kemu to, Nduk?” (Kamu itu ngomong apa lagi kumur-kumur sih, Nduk?).
Iya, kelihatannya masalah ini emang sepele sih, tapi ya nggak sepele-sepele amat. Kalau pemerintah mau, harusnya sosialisasi soal pandemi corona ini digalakkan secara serius. Pesannya harus benar-benar sampai ke masyarakat, termasuk orang-orang kayak Simbah yang konsentrasinya habis untuk mikirin masa tanam dan masa panen doang.
Jangan sampai pedagang pasar, nelayan di pulau pelosok sana, masyarakat adat yang tinggal di hutan, atau simbah saya di dusun pelosok Bantul ini nggak ngerti sama apa yang dimaksud pemerintah. Istilah-istilah kerennya mungkin tahu, tapi maksudnya yang nggak tahu.
Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah jangan hanya konsentrasi pada komunikasi ke kelas menengah yang udah melek teknologi aja. Tapi beri intruksi khusus ke Pak Camat, Pak Lurah, agar memberi imbauan dengan bahasa-bahasa yang lebih sederhana ke orang-orang kayak simbah saya.
Ya saya cuma khawatir gara-gara mereka nggak ngerti apa itu social distancing. Nggak ngerti itu gunanya buat apa. Nggak ngerti seberbahaya apa corona buat keluarga mereka. Mereka jadi abai. Lalu risiko tertular malah tinggi.
Untungnya sih, simbah saya sering ditengok. Jadi bisa dikit-dikit dijelasin. Sekarang, coba gimana dengan nasib “simbah-simbah” lain di luar sana, tanpa ada cucu atau tetangga yang sama-sama melek teknologi dan punya akses seluas kita?
Pernah saya baca komentar netizen yang bilang bahwa orang Indonesia disuruh social distancing aja ngeyel. Dulu sih, saya amini saja komentar itu karena memang benar. Saya lihat sendiri kebanyakan orang Indonesia santuy bener meski penyakit ini sudah mulai merebak ke mana-mana.
Tapi sekarang, saya jadi mikir, apa jangan-jangan masyarakat kayak simbah ini bisa selow dan santai karena sebenarnya beliau nggak ngerti?
Jangan-jangan istilah social distancing aja mereka nggak paham arti dan tujuannya. Lah wong kejelasan soal seperti apa social distancing aja jarang juga kok dibahas di dusun pelosok simbah saya ini.
Pemerintah sebetulnya bisa mencontoh iklan-iklan zaman orde baru dulu kok. Kita harus akui bahwa meski orde baru itu gelap gulita, tapi ada juga hal-hal yang bisa dicontoh di zamannya.
Salah satunya, misalnya, iklan layanan masyarakat yang biasanya sederhana tapi mengena. Bukannya malah pidato ndakik-ndakik atau ribut di acara debat tipi tapi malah nggak bikin paham bagi rakyat jelata kayak simbah saya.
BACA JUGA Epidemi Virus Corona dan Ketimpangan di Sekitarnya atau tulisan Nurhidayah lainnya.