MOJOK.CO – Setelah 6 tahun merantau ke luar Jawa, saya jadi takut untuk kembali kerja di Jakarta. Kangen, tapi bikin gentar bagi yang sudah lama merantau.
“Mau senyaman apapun tempat kita tinggal, tetap lebih nyaman di kampung sendiri.” Itu kata teman angkatan saya dengan logat Batak yang kental, ketika kami mendapatkan lokasi penempatan masing-masing.
Hari ini genap 5 tahun saya sudah merantau ke luar Jawa. Rasanya bagaimana? Nano-nano, rame rasanya. Dari SMA sebenarnya saya sudah merantau tapi belum pernah terbayang sampai sejauh ini. Sebelumnya saya sudah pengalaman untuk merantau ke Bandung, Surabaya, Jakarta, dan Madiun.
Di awal SMA, saya merantau ke Purwokerto, jaraknya 1 jam dari rumah. Kenapa saya hitung merantau? Karena saya perlu ngekos dan baru bisa mudik setiap Sabtu sore. Suasananya masih sama dengan di rumah saya. Paling bedanya di Purwokerto ada mall, di rumah saya hanya ada Ayam Goreng Lumbir, yang spanduknya ada tiap 1 kilometer sepanjang jalur selatan.
Merantau episode selanjutnya masih terasa nyaman-nyaman saja, karena ya memang merantaunya ke kota besar. Bandung dan Surabaya ketika saya kuliah, Jakarta dan Madiun ketika saya bekerja sebagai fresh graduate.
Paling tantangannya di Jakarta, sih. Karena ya Jakarta memang seperti itu. Tapi saya merasa masih nyaman-nyaman saja ketika hidup di sana. Buktinya dengan gaji “umr lebih sedikit” saya masih bisa survive sampai akhir bulan bahkan masih bisa rutin beli bakso di depan Indomaret Mampang 7 tiap malam.
Beda cerita begitu saya akhirnya harus merantau ke luar Jawa. Tidak terbayang sama sekali. Jangan-jangan nanti pas di sana ini dan itu. Kurang lebih hanya itu yang ada di pikiran saya bahkan ketika sudah sampai bandara.
Meninggalkan Jakarta
Singkat cerita akhirnya saya jadi meninggalkan Jakarta. Awal-awal merantau, ketakutan saya memang banyak benarnya.
Saya merantau ke sebuah desa bernama Pangkalan Susu di Sumatera Utara. Dari Jakarta, saya naik pesawat dengan tujuan mendarat di Medan karena memang bandara terdekat ada di situ. Ya, Medan menjadi salah satu alasan saya kenapa banyak “Jangan-jangan” di dalam kepala saya.
Sebelum berangkat, tentunya saya survei dulu, baik melalui Google Maps hingga tanya-tanya senior yang sudah bekerja di sana. Minimal untuk persiapan perjalanan biar lebih tenang begitu.
Kalau melihat dari Google Maps sih, ya standar saja. Jalan-jalannya terlihat tidak mencurigakan. Untuk angkutan darat juga relatif gampang. Dari bandara di Medan, naik kereta bandara, lalu turun di depan masjid sebelum terminal. Saya kemudian jalan sedikit ke depan toko roti, setelah itu tinggal naik Elf merek “Murni” jurusan Pangkalan Susu. Mudah dan minimal membuat saya jadi lebih tenang. Selama 5 menit saja tapi.
Setelahnya, ketenangan saya hilang berubah jadi banyak “jangan-jangan” lagi. Sudah begitu, senior saya malah cerita tentang pengalaman temannya yang kena todong pisau ketika baru sampai di Medan.
Sebelumnya saya hanya mendengar cerita kayak gini dari berita Patroli di Indosiar. Eh, ini kejadian beneran. Dompet dan hape mereka raib kena todong. Lah gimana saya nanti yang sendirian berangkat dari Jakarta.
Baca halaman selajutnya: Ada rindu, tapi di sana ada juga rasa takut.
Selamat sampai di Pangkalan Susu
Salah satu senior di Jakarta bercerita kalau Pangkalan Susu itu daerah yang rawan maling. Bukan maling basic seperti motor, ayam, atau sendal, tapi lebih advance. Salah satunya pagar rumah!
Jadi, pagar mess senior saya pernah kena gasak maling. Saya yang awalnya skeptis malah melihat sendiri akhir. Suatu ketika, rumah sebelah mess saya kehilangan tabung gas Elpiji, besi penutup got, sampai ban mobil. Mobilnya utuh, tapi ban hilang.
Saya yang merasa sudah cukup waspada ketika bekerja di Jakarta, ternyata harus berusaha lebih keras. Ibaratnya ketika naik sepeda buat beli makan, yang jadi fokus saya bukan makan, tapi mengawasi sepedanya.
Saya baru bisa merasa “aman” setelah 1,5 tahun tinggal di Pangkalan Susu. Untungnya, saya tidak pernah mengalami hal-hal buruk seperti yang saya bayangkan ketika masih di Jakarta.
Pindah ke Tanjung Pinang
Tanjung Pinang di Riau lebih nyaman dan tenang. Saya sering lupa mencabut kunci motor ketika parkir, dan tidak pernah kemalingan. Kotanya cenderung slow living, tidak terlalu ramai. Saya masuk kerja pukul 8, pukul 07:45 saya baru jalan, dan sampai kantor masih 07:50 padahal jarak rumah saya sekitar 5 sampai 6 kilometer.
Singkat cerita, saya tinggal selama 3 tahun di Tanjung Pinang dan merasa nyaman. Memang bisa slow living di sini, tapi mahal kalau mau mudik.
Makanya, frekuensi mudik jadi berkurang. Dulu, ketika masih di Jakarta, minimal saya bisa pulang 2 sampai 3 kali dalam 1 tahun. Selain dekat, biaya transportasi masih sangat terjangkau.
Sekarang, saya hanya bisa mudik 1 kali dalam setahun. Jarak yang jauh sudah pasti. Dan sekarang, saya butuh lebih banyak persiapan.
Ketika masih di Jakarta, saya mudik hanya menyiapkan tas berisi baju sedikit serta oleh-oleh. Sekarang, saya harus lihat tanggal dulu. Setelah menentukan tanggal, saya harus kira-kira dulu nantinya mau naik apa.
Setelah sudah jelas, baru menghitung biaya. Saya harus sudah menghitung biaya mudik sejak jauh-jauh hari. Biasanya di awal tahun untuk persiapan mudik 6 bulan kemudian. Eh, sudah capek sejak dalam pikiran.
Perkara mudik yang bikin rindu Jakarta
Kenapa harus begitu? Karena sebelum mudik kami perlu waktu untuk menabung dulu. Beli tiket pesawat tidak segampang beli tiket kereta Gaya Baru Malam tujuan Surabaya-Purwokerto. Hitungan biaya melenceng dikit, bisa-bisa tidak jadi mudik.
Kenapa perlu menabung? Ini karena pengalaman saya di tahun pertama mudik. Saya optimis hanya menggunakan uang THR. Eh, ternyata ketika sudah balik lagi ke Tanjung Pinang, uang saya habis. Padahal saya masih harus menunggu 2 minggu lagi untuk gajian.
Belajar dari itu, saya membuat hitungan lebih detail. Tapi tetap saja, biaya mudik bisa seharga 1 motor Beat. Itu kalau frekuensi mudik saya kaya pas masih merantau di Purwokerto atau Jakarta.
Saya akui, beberapa kota-kota di luar Jawa memang nyaman. Tidak ada polusi, jalanan lengang. Jauh berbeda ketika masih di Jakarta. Rasa rindu itu kadang muncul. Namun, kadang saya berpikir. Kalau misal tiba-tiba pindah ke Jakarta lagi apakah saya mampu.
Kangen, tapi takut balik ke Jakarta
Jakarta memang memberi banyak hal-hal baik. Fasilitas umum lengkap, jarak untuk mudik lebih dekat dan lebih murah. Tapi, setelah banyak artikel dan berita yang saya baca tentang Jakarta, kok saya jadi takut ya buat balik lagi, ya.
Setelah bekerja di sana 6 tahun yang lalu, saya kini merasa Jakarta jadi terasa lebih semrawut. Dari cerita tentang betapa macetnya jalanan Jakarta, galian kabel yang tidak kunjung selesai, hingga angka kriminal yang kayaknya nggak pernah turun.
Ditambah lagi ketika saya iseng-iseng mencari harga kontrakan atau kos, rasanya tidak sebanding dengan di sini. Dengan Rp1 juta per bulan, saya masih bisa sewa rumah dengan 2 kamar di Tanjung Pinang. Sedangkan di Jakarta, kayanya Rp1 juta hanya bisa untuk 1 kamar dilengkapi kasur, lemari plastik, dan kipas angin. Mungkin ada yang bisa dapat AC tapi di daerah agak pinggiran.
Belum lagi polusi di Jakarta terasa lebih ugal-ugalan sekarang ini. AQ Indeks Jakarta selalu masuk kategori buruk. Alasan meningkatnya produksi upil saya ketika dulu tinggal Jakarta jadi make sense. Saya jadi makin heran kenapa saya bisa betah tinggal di sana hampir 2 tahun.
Apakah saya berani kembali ke ibu kota?
Tapi saya pikir, jika pindah ke Jakarta lagi, saya akan tetap menerimanya dengan senang hati. Mungkin memang itu harga yang pantas dibayar supaya lebih sering dan mudah untuk mudik.
Merantau ke luar Jawa memang tidak seburuk itu. Beberapa teman saya yang awalnya tidak kerasan, berakhir nyaman. Tapi memang benar kata teman angkatan penempatan saya dulu. Mau senyaman apapun kita tinggal, tetap lebih nyaman di kampung sendiri. Atau, setidaknya, di tempat yang bisa kita sebut sebagai rumah.
Penulis: Hardika Ilhami
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jakarta Itu Menyebalkan dan Toxic, tapi Perantau Sulit Meninggalkannya dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
