MOJOK.CO – Beberapa teman muslim saya di Amerika atau imigran dulunya cuek saja dengan politik, baru ketika Donald Trump betulan menang mereka menyesal. Ealah, telat, gobl~
Sebelum memasuki perkuliahan tahun 2017 lalu, saya mengikuti pre-academic training di San Diego, California. Tibalah salah satu materi tentang politik dan sistem Pemerintah Amerika Serikat oleh salah satu profesor yang—kebetulan—sepertinya begitu benci ke Trump.
“Stupid,” katanya.
Semua orang tertawa. Saya hanya senyum masam.
“Iya goblok tapi sekarang dia jadi presidenmu,” kata saya. Dalam hati pastinya.
“Not my president,” kata salah seorang teman Amerika saya pada waktu yang lain.
“Iya kamu bisa bilang gitu. Tapi suka tak suka kamu tetap terkena imbas kebijakannya,” kata saya.
Saya mengenal beberapa teman Amerika atau imigran yang sudah lama menetap di sini yang dulunya cuek saja dengan politik, salah satunya karena haqqul yaqqin Hillary Clinton bakal menang. Ketika kondisinya berbalik seperti sekarang, teman-teman saya jadi semakin intens mengikuti perkembangan politik karena merasa nggak mau kecolongan dua kali.
Trevoar Noah, seorang komedian, hampir tiap hari menjadikan Trump jadi bagian dari lelucon di programnya Daily Show. Meski bisa saja sewaktu-waktu Trump menendangnya pulang ke Afrika Selatan atau setidaknya terkena dampak yang merugikannya sendiri.
Paling tidak, Noah mengumbar kekhawatirannya pada sebuah wawancara. Teman-teman saya, termasuk para profesor itu, sekarang hanya bisa bilang presidennya stupid, idiot, termasuk menambahkan kata fucking di depannya.
Namun mau semenyesal apa pun, mereka tidak bisa menampik, bahwa Trump kali ini memimpin mereka semua. Mau sekesal apa pun, mereka harus terbiasa dengan maraknya isu rasial yang menimbulkan keresahan dan kegelisahan. Bukan cuma bagi minoritas tetapi juga mayoritas yang mencoba tetap waras.
Trump—seperti yang kita juga tahu—sering menggunakan politik ketakutan dan kebencian dalam kampanyenya. Hal yang cukup sukses menakut-nakuti masyarakat bahwa problem Amerika semuanya dari luar—atau orang-orang yang disebut “bukan penduduk asli Amerika”.
Taglinenya Make America Great Again sukses mengacak-acak tatanan orang-orang Amerika yang sering terlalu kepedean dengan luasnya pergaulan internasional mereka, tapi tetap kalah ketika dibenturkan soal sentimen agama dan ras.
Trump menyebarkan ketakutan dan kebencian di saat bersamaan. Narasi seperti Islam itu teroris lalu imigran adalah ancaman, digalakkan sejak Trump mulai berkampanye.
Trump juga menggunakan sentimen agama Kristen untuk memusuhi mereka yang Islam dan Yahudi beserta kelompok minoritas lainnya. Bahkan pendukung Trump juga tak sungkan menyebarkan hoax melalui sosial media terutama Facebook dengan robot.
Tak banyak yang menyangka, Trump akan berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45 dengan cara-cara seperti itu. Banyak yang terkejut, terutama beberapa orang yang saya kenal di Indonesia, kecuali—tentu saja—Fadli Zon dan Setya Novanto.
Ketika kemudian Trump betulan jadi presiden dan masih banyak rakyatnya sendiri yang sedih dipimpin orang serasis dan seekstem itu. Rakyatnya sekarang ya harus menerima. Pada kenyataanya, Trump sukses menggunakan kepintarannya untuk membalikkan keadaan. Dan cuma orang jenius yang sanggup melakukan itu.
Padahal kan yah orang-orang Amrik kan selama ini dikenal sangat maju cara berpikirnya dan dianggap sudah melek literasi media. Tetapi masih kebobolan juga dan sekarang mereka cuma bisa misuh-misuh aja. Ealah, telat guoblok.
Maka ketika ada yang bilang Prabowo itu bodoh karena sering ketahuan pake data ngawur, saya kurang setuju. Sama tidak setujunya saya ketika Sandiaga disebut cuma asal cari sensasi karena sering bertingkah aneh seperti menjadikan pete wig—misalnya.
Catat, Bung.
Mau bagaimana pun juga, Prabowo merupakan mantan jenderal yang pernah sekolah di luar negeri. Sedangkan Sandiaga Uno merupakan alumni kampus di Amrik dari sarjana sampai master. Statusnya pun cumlaude. Udah gitu, keduanya memiliki sumber daya finansial yang oke punya lagi. Secara basic, keduanya tentu tidak bisa diremehkan sebagai ahli strategi politik.
Dan dari dua ratus sekian juta jiwa penduduk Indonesia, hanya mereka berdua yang cukup bernyali dan berani melawan petahana. Nah, kamu yang bilang mereka bodoh itu mau daftar jadi Ketua RT saja belum tentu punya suara lebih dari 10. Lha kok Ketua RT, daftar jadi Ketua Karang Taruna saja belum tentu jadi calon.
Selain itu, hal yang bikin saya tambah kagum, terutama kepada Bang Sandi, adalah kemampuannya menyatukan pecinta segala hal berbau Arab yang kebetulan juga benci setengah mati kepada segala hal yang terkait Amrik. Saya pikir hanya Bang Sandi saja yang bisa bikin dua kutub kontradiktif itu bisa menyatu.
Padahal di sisi yang lain, Bang Sandi ini alumni Amrik, negeri yang menyebutnya saja langsung berhamburan segala label negatif: anti-Islam, kafir, sekuler, sekunder, dan liberal. Tapi sekarang, mari diakui bahwa Prabowo-Sandi mampu menyatukan benci dan cinta dalam satu gerakan bernama #2019GantiPresiden. Canggih bukan?
Bahkan bukan hanya menyatukan tetapi juga jadi kekuatan pendukung yang luar biasa beringas.
Mereka yang meledek Prabowo-Sandi sebagai capres-cawapres tak berkualitas itu bisa jadi nanti hanya akan gigit jari ketika mereka betulan terpilih. Lho jangan salah, buktinya Trump aja bisa menang tuh di Pilpres Amrik. Salah satu timses mereka pun, Fadli Zon, bahkan dulu sudah pernah ketemu dengan Trump untuk menyerap aura kampanye.
Jangan lupa strategi kampanye Trump mirip dengan Prabowo. Slogannya saja njiplak mirip; Make Indonesia Great Again.
Narasi-narasi yang dibangun pun senada. Seperti pribumi harus menjadi tuan di negeri sendiri, Prabowo biasa menghardik wartawan atau menggunakan analogi olok-olokan tertentu (muka Boyolali—misal).
Dan sama seperti Trump yang saat kampanye sering salah membaca data lalu klarifikasi sendiri atau menggunakan sosial media seperti Facebook untuk—tidak sengaja—sebar hoaks.
Masyarakat Indonesia juga sedikit banyaknya sama dengan gaya orang-orang Amrik pada Pilpres lalu. Mereka sering meremehkan Trump sembari meyakinkan diri dengan percaya diri, “Ah, masyarakat udah cerdas memilih.” Tapi ketika hari pilihan tiba, mereka malah nggak berangkat ke TPS karena sudah yakin bakalan menang atau memang tidak begitu peduli dengan politik sebelumnya.
Kepercayaan diri yang berlebihan itu pun semakin muncul saat Trump mulai mengampanyekan ide-ide yang kontradiktif. Hal yang bikin orang-orang pro-Hillary ini berpikir, “Idih, goblok amat sih ide kampanyenya? Nggak bakal menang lah kalau begitu caranya.”
Seperti ketika Trump menyebut para imigran adalah ancaman. Lah bukannya Trump dan istrinya sendiri adalah keturunan imigran? Lalu soal Trump yang anti-Islam tapi bergandengan tangan mesra dengan Arab Saudi saat menghancurkan Yaman?
Sikap seperti ini—sayangnya—juga dialami oleh sebagian saudara-saudara muslim kita tersayang yang sangat marah ketika Trump terpilih dan menyusahkan umat Islam, tetapi di satu sisi ingin memilih Presiden yang malah agak-agak mirip seperti Trump.
Melihat bagaimana berhasilnya Trump sukses memobilisasi segala rasa curiga dan kebencian tersebut sampai akhirnya mengantarkannya ke singgasana, saya kok jadi curiga kalau kampanye ugal-ugalan Prabowo-Sandi itu memang dimaksudkan dengan cara yang sama.
Kalau betulan jadi, maka meski berat harus diakui tim kampanye mereka betulan brilian karena bisa bekerja sesuai dengan yang ditargetkan klien mereka. Eh.