MOJOK.CO – Sekolah kedinasan dapat anggaran Rp104 triliun, sementara sekolah formal cuma Rp92 triliun. Ini negara atau startup salah target pasar, sih?
Kita perlu ngobrol serius. Baru-baru ini DPR RI dari Komisi X bikin usulan yang memicu banyak perdebatan. Mereka mengusulkan kalau sekolah kedinasan sebaiknya nggak sepenuhnya gratis lagi. Selain itu, setelah siswa dan siswi mereka lulus, wajib tes CPNS. Tujuannya untuk menghilangkan status eksklusif sekolah kedinasan.
Hal lain yang menarik menjadi sorotan adalah anggaran sekolah kedinasan. Tapi tulisan ini bukan cuma semata “soal anggaran”. Kita bicara soal keadilan anggaran, distribusi sumber daya, dan nasib pendidikan nasional.
Buat kamu yang belum tahu, sekolah kedinasan adalah sekolah tinggi yang dikelola oleh instansi pemerintah. Misalnya seperti STAN, IPDN, STMKG, dan sejenisnya.
Nah, negara membiayai penuh pendidikan mereka, masih dapat uang saku, dapat fasilitas, dan setelah lulus bisa diangkat jadi PNS. Ya, intinya mereka tinggal terima beres tanpa harus mencari kerja lagi.
Nah, di balik glamornya fasilitas itu, terselip satu fakta yang mengganggu sekaligus menyakitkan. Kalian tahu anggaran sekolah kedinasan itu berapa? Sini saya kasih tau.
Jadi, anggaran untuk sekolah kedinasan di 2024 mencapai Rp104 triliun, khusus untuk 13 ribu mahasiswa. Sementara itu, untuk 62 juta pelajar di sekolah formal (dari SD sampai perguruan tinggi), alokasinya cuma Rp92 triliun.
Yuk, kita hitung. Sekolah kedinasan: Rp104.000.000.000.000 ÷ 13.000 orang = Rp8 miliar per mahasiswa. Sekolah formal: Rp92.000.000.000.000 ÷ 62.000.000 orang = Rp1,48 juta per siswa. Negara jor-joran buat segelintir, tapi irit pol buat mayoritas.
Sekolah kedinasan makan 30% dari anggaran pendidikan? Ini bukan miskalkulasi, tapi ketimpangan!
Secara konstitusional, 20% APBN wajib untuk sektor pendidikan. Sekitar Rp665 triliun dari total APBN Rp3.325 triliun (2024). Dari jumlah itu, Rp104 triliun (±15,6%) dikucurkan ke sekolah kedinasan saja.
Kalau ditarik ke porsi 20% wajib pendidikan, maka sekolah kedinasan itu menyerap hampir 30% dari seluruh anggaran pendidikan nasional. Padahal mereka cuma 0,02% dari total peserta didik nasional.
Sedangkan 99,98% sisanya harus berebut 70% lainnya buat gaji guru, rehab sekolah, pengadaan internet, alat belajar, sampai subsidi kampus. Sekolah kedinasan yang menyebabkan biaya UKT melonjak tinggi dan sekolah gratis itu hanya narasi.
Narasi gratisan bagi yang “kaya”?
Gratisnya sekolah kedinasan memang terdengar manis dan terkesan pemerintah peduli akan pendidikan. Tapi, penting untuk kritis. Contoh saja sebenarnya, siapa sih yang seharusnya menikmati “gratisan” itu?
Banyak yang masuk sekolah ini justru dari latar ekonomi menengah ke atas. Masuknya pun nggak mudah perlu bimbel mahal, try out, dan buku-buku persiapan yang harganya lumayan.
Di sisi lain, anak-anak di pelosok negeri yang sekolahnya masih pakai papan tulis dari triplek dan bangku bolong cuma dapat serpihan anggaran. Beasiswa juga sering tersangkut birokrasi, nggak sampai ke targetnya.
Subsidi yang seharusnya membantu yang tertinggal, malah memperkuat yang sudah di depan. Ini bukan pendidikan yang adil. Ini affirmative privilege bentuk diskriminasi era “penjajahan” yang masih dipertahankan.
Baca halaman selanjutnya: Ini bukan ketimpangan, tapi ketidakadilan!












