MOJOK.CO – Sejarah Indonesia berisi banyak berita duka. Berisi luka yang diwariskan, yang membuat kita lelah, dan dipaksa negara untuk melupakannya.
Sejarah Indonesia adalah lembar-lembar kelelahan. Kelelahan dari siklus kekerasan yang berulang, atas impunitas yang terus diwariskan lintasgenerasi, dan dari trauma yang tak pernah selesai diproses.
Bahasa kekerasan mendominasi sejarah Indonesia. Bahasa yang efektif untuk mempertahankan tatanan dan impunitas. Persis seperti kata Munir, “Kami sudah lelah dengan kekerasan.”
Orde Baru bukan sekadar catatan sejarah yang telah berlalu. Ia adalah jelmaan dari seluloid kekerasan, cetak biru hegemoni yang terus diwariskan hingga generasi paling mutakhir bangsa kita.
Opera kekerasan dengan lakon watak yang tak pernah berubah terus ada. Mulai dari demonstrasi yang penuh sesak dengan label “anarkis”. Kita juga menyaksikan aktivis lingkungan terbunuh. Lalu, opera kekerasan itu juga menghantam minoritas hingga setiap deretan nama yang meregang nyawa, dalam moncong senjata hingga gas air mata.
Lantas, apa yang masih tersisa dari segala berita buruk kekerasan yang selalu mengambil korban? Hanya data, deretan nama, rentetan peristiwa, atau koran usang dari tahun-tahun yang berlalu?
Inilah yang membuat sejarah Indonesia menjadi beban yang melelahkan. Ia bukan masa lalu yang selesai. Sejarah negara ini adalah trauma kolektif yang terus bergelayut lebih dekat dari takdir kita sebagai manusia. Tapi, melupakan sejarah yang ditulis dengan tinta amis darah atau selongsong peluru bukan jalan keluar dari kelelahan.
Saat mereka sibuk melupakan, kita memilih untuk terus mengingat
Saat mereka sibuk menuliskan sejarah Indonesia “versi aman” penguasa, kita memilih terus mengingat. Ingatan adalah kemewahan terakhir untuk memutus rantai trauma yang mengikat. Ingatan telah bertransformasi menjadi cinta. Cinta dengan segala sejarah yang rumpang.
Untuk memahami luka yang diwariskan hingga hari ini; rasa was-was yang laten, ketidakpercayaan pada institusi, amnesia kolektif yang dipelihara, kita bisa mengemas ulang dan menyusun anatomi kekerasan Orde Baru.
Ia adalah mesin yang tidak dibangun dalam semalam. Orde Baru dirakit secara perlahan, disempurnakan melalui serangkaian tragedi yang membentang dari ujung timur hingga barat. Ini adalah anatomi dari mesin tersebut. Sebuah upaya untuk memetakan cara kerja trauma dari teror, yang jejaknya masih tersisa hingga saat ini.
Menziarahi barisan nisan tanpa nama, sekali lagi!
Pondasi pertama, tragedi 1965-1966, bukan cuma lembar-lembar sejarah Indonesia yang usang. Ia adalah founding moment dari apa yang Antonio Gramsci sebut sebagai hegemoni, lanskap dominasi yang menunjukkan wajah kekerasan amat nyata nan benderang. Dalam pelenyapan jutaan nyawa, Indonesia tidak sekadar mengalami kekerasan fisik, tapi juga kekerasan epistemik.
Boaventura de Sousa Santos menyebutnya sebagai epistemicide, sisi lain dari genosida yang harus dibayar mahal hingga hari ini. Penghancuran cara pandang ilmu pengetahuan yang bebas dan majemuk, tiap kepala dipaksa untuk bergantung penuh apa yang disuapi rezim melalui dominasi pengetahuan dan warta.
Operasi kekerasan hingga pembunuhan massal bertransformasi menjadi mitos penyelamat dalam sejarah sejarah Indonesia. Penguasa membungkusnya dengan rapi sebagai sikap patriotik. Dan yang paling mengerikan adalah warisan narasi “resmi” tentang kebenaran.
Dari sungai di Jawa hingga Bali berubah menjadi merah mengalir jauh. Di pematang sawah desa-desa dipaksa merayakan kematian tetangga mereka.
Inilah pondasi kekerasan pertama era Orde Baru. Pondasi kekerasan dan trauma kolektif. Bahwa kekerasan itu normal dan membunuh bisa menjadi mantra untuk menjaga moral bangsa.
Secara otodidak, kita belajar untuk hidup dengan split consciousness, kesadaran yang terbelah antara apa yang dialami dan apa yang boleh diingat. Antara kebenaran yang dihayati dan kebenaran yang diizinkan untuk diartikulasi-tuliskan. Sebarisan nisan tanpa nama menjadi pondasi sebuah rezim di sepanjang sejarah Indonesia.
Pondasi kekerasan dalam sejarah Indonesia
Selanjutnya, pondasi kedua. Menziarahi luka di tepian sejarah Indonesia. Mari memulainya dari ujung barat Indonesia: Aceh.
Sebelum itu, hafal dan eja pelan-pelan dalam kepala tiga huruf ini: D-O-M. hanya tiga huruf tapi traumanya lebih dari tiga dekade.
DOM bukan sekadar operasi kontrainsurgensi. Alih-alih, DOM berdiri sebagai semacam laboratorium penyempurnaan kekerasan untuk menciptakan dominasi hegemoni. Seni untuk teror mewujud; setiap hari seseorang bisa menghilang, seorang istri bisa menjadi janda tanpa mayat, seorang anak dipaksa menerima bapak mereka tidak pulang tanpa ada kejelasan.
Hingga alam murka pada 24 Mei 2004, memuntahkan air rob (baca: Tsunami), seolah jengah dengan teatrikal kekerasan. Alamlah yang menghentikan DOM. Lagi, sebarisan nisan tanpa nama ada di Aceh!
Berkunjung ke Papua
Ziarah berpindah ke ujung timur Indonesia, Papua. Tanah paling kaya raya, dibalut dengan operasi kekerasan yang menyelimuti.
Dalam sejarah Indonesia, dimensi kekerasan di sini lebih kompleks karena penghilangan nyawa hanyalah satu tindakan. Papua juga mengalami genosida budaya (cultural genocide). Tanah itu dipaksa putus dari tradisi sakral antara manusia dengan tanahnya, merenggut kosmologi yang telah bertahan jauh sebelum nama “Indonesia” tercipta, memberangus tiap kepala yang memiliki cara pandang dunia yang berbeda.
Wajah militeristik Orde Baru menganggap sebuah kelompok kesenian Mambesak berpotensi jadi bahaya. Bukan hal mengejutkan bila Arnold Clemens Aps, sang motor gerakan, tewas ditembak militer.
Arnold dan Membasak bukan sekadar satu titik mula kekerasan di Papua dalam sejarah Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, Papua menjadi gelanggang penindasan yang membentang luas dan eskalasinya terus meningkat.
Papua menempati posisi yang mengerikan dalam geografi kekerasan di sepanjang sejarah Indonesia. Inilah ruang di mana semua eksperimen kekerasan dan penindasan berjalan simultan melampaui yang pernah terjadi di wilayah lain. Sebarisan nisan tanpa nama ada di Papua!
Mari kita menziarahi sebarisan nisan tanpa nama. Mengeja satu per satu nama tragedi dari ujung timur hingga barat.
Mengapa mengingat itu penting?
Jejak darah telah dicetak dalam lembar-lembar sejarah Indonesia. Jejak luka telah ditulis di sepanjang jalan “pembangunan”, kita menginjak luka dan trauma yang berserakan.
Setiap lapisan-lapisan warta dan sejarah telah diamputasi dari kesadaran kolektif. Begitulah ruang kita hari ini, tidak pernah netral.
Henri Lefebvre menjelaskan dalam bukunya The Production of Space, bahwa ruang berfungsi untuk bertindak dan mengontrol dominasi dan kekuasaan. Lebih jauh lagi, dia adalah produk sosial yang merekam jejak kekuasaan, konflik, dan segala perjuangan yang pernah berlangsung.
Dan dalam ruang yang dibangun di atas pondasi kekerasan penguasa, para impunitas lenggang kangkung dan menganggap rakyatnya pandai melupa.
Bagi mereka, para impunitas, melupakan adalah sebuah kemewahan. Ia menjelma bantal empuk bagi mereka yang tidur di atas tumpukan nyawa yang telah ditebas dengan tangan yang berlumuran darah; selimut hangat bagi mereka yang kariernya ditanam di atas kuburan massal tanpa nisan.
Lupa adalah mesin pembersih paling efektif dalam sejarah Indonesia. Sebuah orasi politik untuk membersihkan sejarah menjadi putih dan berkilau serupa lantai istana. Melupakan adalah kemewahan semacam itu. Kemewahan yang hanya dimiliki para impunitas dan pewaris tahta kekuasaan.
Namun kami, rakyat yang mewarisi luka dan trauma, tidak memiliki kemewahan itu. Bagi kami, melupakan bukan lagi pilihan.
Melupakan berarti mengizinkan para algojo menulis bab terakhir dari riwayat para korban, tentang epilog kekerasan dan ketidakadilan yang dipoles. Bagi kami, mengingat adalah satu-satunya alat pertahanan diri yang tersisa.
Mengingat adalah satu-satunya keberanian yang terus kami rawat di tengah kepungan amnesia sejarah Indonesia yang disponsori negara. Mengingat adalah penegasan bahwa kami telah lelah dengan kekerasan.
Kami menolak menjadi bangsa bebal yang tersandung trauma berkali kali karena sengaja memicingkan mata dari jejak darah yang tidak pernah kering. Kami ditakdirkan mengingat sepanjang waktu. Mengingat adalah satu-satunya kemewahan yang tidak akan pernah diwariskan oleh negara.
Transformasi luka dan trauma di sepanjang sejarah Indonesia
Kami jengah dengan narasi kekerasan yang tidak berkesudahan di sepanjang sejarah Indonesia. Lelah mendengar cerita keadilan yang selalu dimakan lapuk oleh janji lima tahun sekali. Kelelahan ini bukanlah apatisme buta, bukan pula tanda ketidakpedulian yang dangkal.
Kelelahan ini adalah warisan yang panjang. Ia serupa kutukan yang terus menghantui. Sebuah beban psikologis dari trauma yang tidak hanya dialami oleh para korban, tetapi juga diembuskan dari generasi ke generasi melalui keheningan di meja makan, melalui tatapan kosong para orang tua, dan ketakutan-ketakutan tak bernama yang kita serap dari udara yang kita hirup.
Mesin impunitas milik negara menghendaki rakyatnya bertaruh pada kelelahan semacam ini. Mereka berharap kita akan terlalu lelah untuk bertanya, terlalu letih untuk melawan, terlalu takut untuk sekadar mengeja nama-nama korban dan tragedi yang telah terjadi. Pada akhirnya mereka memberikan pil penenang berupa narasi, “Mari kita terus berjalan ke depan, jangan terlalu menengok ke masa lalu.”
Namun, mengakui kelelahan kita bukanlah tanda menyerah. Ini adalah titik awal untuk menemukan cara baru dalam berjuang. Sebuah perjuangan yang tidak lagi hanya beradu otot dengan kekuasaan, tetapi sebuah perjuangan yang berakar pada merawat ingatan, merawat satu sama lain, dan menjaga harapan bahwa lingkaran kekerasan yang terus bergulir.
Ini adalah catatan tentang bagaimana kita bisa mengubah warisan luka sejarah Indonesia menjadi sebuah etika cinta yang radikal, sebuah perlawanan yang energinya tidak bersumber dari amarah yang membakar, tetapi dari kepedulian yang menghidupkan. Dan sekali lagi, melupakan bukanlah kemewahan yang kita miliki. Bukan.
Persoalan etis
Melupakan bukan lagi sekadar persoalan teknis memori. Ia menjalar jadi persoalan etis. Memilih lupa sama saja memalingkan wajah pada barisan nisan tanpa nama, dan tanpa sadar telah menjadi kaki tangan dari mesin impunitas.
Meski takut bergelayut dalam tiap napas, jangan pernah palingkan wajah untuk melupa. Sebab mesin kekerasaan terus menggilas di sepanjang sejarah Indonesia, dalam bentuk undang-undang yang represif, aparat arogan, dan logika kekuasaan yang memandang nyawa rakyat sebagai komoditas dan deretan data semata, hingga hari ini.
Di balik trauma atas luka yang menjalar dalam sobekan buku sejarah Indonesia, mengingat bertransformasi menjadi cinta. Cinta seorang ibu pada anaknya yang tak kunjung pulang dan seorang istri pada suaminya yang tidak jelas keberadaannya.
Namun, ini bukan cinta yang pasif dan sentimental. Ini adalah cinta yang menuntut, yang bertahan, menjadi bahan bakar bagi ingatan untuk terus menyala. Cinta yang menolak membiarkan yang terkasih hilang dan mati dua kali: pertama oleh peluru negara, dan kedua oleh pelupaan kita dan generasi setelah kita.
Pada ujungnya, kemewahan yang tidak bisa dilindas mesin kekerasan hanyalah ingatan dan cinta.
Penulis: Deby Hermawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jerat Warisan Bahasa Orde Baru dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
