MOJOK.CO – Saya jadi lebih siaga semenjak seragam satpam baru mirip polisi digunakan luas. Warna cokelat berkelebat sedikit, saya buru-buru introspeksi.
Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan ini. Sampai suatu pagi saya dikagetkan dengan penampilan baru Bonar, satpam perumahan kami.
“Bang, lu jadi mirip polisi.”
“Iya, Pak, begini sekarang seragamnya.”
Tapi pagi itu, dari beberapa satpam yang berjaga, hanya Bonar sendiri yang sudah mirip polisi. Yang lain masih dengan seragam lamanya yang berwarna putih.
Kalau saja saya tidak mengenal Bonar, tentulah saya sudah berpikir ada polisi yang sedang ditugaskan berjaga di perumahan kami. Atau saya akan berpikir positif bahwa pengurus RW makin perhatian dengan keamanan perumahan. Apalagi akhir-akhir ini muncul keluhan warga di grup WA tentang lalu-lalang orang masuk ke perumahan. Mobil “belajar setir” juga sering bolak-balik berputar di jalanan perumahan. Semua harus ditertibkan. Masalah seperti itu, kunci mudahnya adalah personel keamanan yang berwibawa.
Rupanya impian saya ketinggian. Para satpam kami masihlah orang yang sama. Bedanya, seragam satpam baru membuat tampilan mereka serupa dengan anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Penasaran, saya mencari tahu dasar penggantian seragam satpam baru ini. Ternyata benar, sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa, seragam satpam sudah diganti dari putih-biru menjadi cokelat-cokelat persis polisi. Peraturan ini ditandatangani Kapolri saat itu, Jenderal Idham Azis, dan sudah diundangkan sejak 5 Agustus 2020.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri ketika aturan baru itu dibuat, Brigjen Awi Setiyono, mengatakan bahwa warna cokelat muda untuk baju dan cokelat tua untuk celana adalah warna-warna netral yang melambangkan kesahajaan, fondasi, stabilitas, kehangatan, rasa aman dan nyaman, serta rasa percaya, keanggunan, ketabahan, dan kejujuran.
Yhaaa.
Kalau ini soal filosofi warna, oke deh. Walau saya sebenarnya belum siap untuk tahu bahwa warna cokelat punya makna sebanyak dan seluhur itu. pertanyaannya, mengapa seragam satpam baru harus dibuat sedemikian identik dengan seragam polisi?
Pak Awi juga punya penjelasannya. Katanya, tujuan kemiripan ini beralasan. Pertama, untuk menjalin kedekatan emosional antara polisi dan satpam. Kedua, menumbuhkan kebanggaan satpam sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas. Ketiga, memuliakan profesi satpam. Keempat, menambah penggelaran (???) fungsi kepolisian di tengah-tengah masyarakat.
Oh, jadi memang sengaja, polisi ingin terlihat lebih banyak jumlahnya. Dari tadi bilang gitu kek.
Dan misi itu hampir saja menunjukkan hasilnya ketika saya dikejutkan dengan kehadiran polisi di samping saya saat menunggu lampu merah. Nah, ini ada satu lagi makna warna cokelat yang tadi terlewat disebut Pak Awi: begitu muncul kelebatan warna ini, saya langsung introspeksi apakah saya melakukan kesalahan. Mungkin berhenti melewati marka jalan atau apa. Kalau soal kelengkapan surat-surat motor, tidak ada masalah. Semuanya tak pernah bergeser dari dompet.
Tapi, polisi di sebelah santai saja. Kami sama-sama memperhatikan lampu merah. Dan kemudian saya terkejut, polisi kok tidak pakai helm? Bukankah harusnya ia jadi contoh bagi pengendara lainnya? Misteri ini segera terpecahkan. Rupanya pemotor di samping adalah seorang satpam. Mungkin tadi terburu-buru naik motor hingga helmnya kelupaan.
Waktu berlalu, saya makin terbiasa dengan kembaran polisi ini. Mereka ada di mana-mana, membuat dunia serasa milik berdua: polisi dan kembaran polisi. Kadang orang berseragam cokelat itu terlihat sedang lesehan minum kopi dan sarapan pagi. Sedang di perkantoran swasta, mereka benar-benar serupa dengan polisi sungguhan. Sulit untuk dibedakan apalagi ketika seragam satpam baru ini dilengkapi dengan rompi keamanan.
Rasa terbiasa itu juga tercampur kekhawatiran. Belakangan saya jadi banyak mikir. Misalnya, overthking malam-malam bagaimana ya kalau kemiripan ini disalahgunakan? Bukankah sudah sering kita lihat penipuan berkedok seragam anggota kepolisian? Polisi gadungan, istilahnya. Tak sedikit korbannya. Ditipu uangnya, dijanjikan akan dinikahi, macam-macam.
Pada suatu pagi, saya sedang berada dalam taksi online ketika perjalanan kami diinterupsi oleh petugas.
“Selamat pagi, Pak. Bapak melanggar rambu larangan. Coba lihat surat-suratnya.”
Rupanya pengemudi tidak melihat tanda dilarang melintas. Harusnya ia mengambil jalan memutar terlebih dahulu. Setelah menerima surat-surat, petugas meminta pengemudi memarkirkan mobil dan mengikutinya ke suatu tempat.
Saya hampir saja mengingatkan pengemudi untuk mengecek terlebih dahulu, apakah yang mencegat itu benar-benar polisi lalu lintas ataukah satpam. Tapi rasanya satpam belum akan seberani itu. Dan pengemudi juga sungkan untuk bertanya, “Maaf, bapak beneran polisi atau satpam?”
BACA JUGA Pentingnya Belajar Seni Membuat Alasan dan esai-esai menarik lainnya di Mojok.