MOJOK.CO – Rachel Vennya dan kebanyakan selebgram lahir dari kemudahan. Kontras dengan wartawan magang zaman dulu. Perjuangan.
Gara-gara kepengin ikut tren bikin status di Facebook dengan paragraf pembuka berbunyi “Dari Rachel Vennya kita belajar”, saya sempatkan menonton podcast Deddy Corbuzier berturut-turut selama dua hari.
Hari pertama, dengan bintang tamu Nikita Mirzani, nyaris tidak ada info baru yang bisa dipetik dari obrolan berdurasi satu jam itu. Kecuali pernyataan Niki yang menyatakan bahwa ini adalah kali kedua Rachel Vennya menghindari karantina. “Yang pertama waktu dia pulang dari Dubai. Nggak ketahuan, makanya dia ulangin lagi,” ujar Sang Nyai.
Hari berikutnya, untuk membahas Rachel Vennya, Deddy Corbuzier menghadirkan dr. Tirta. Perasaan saya tiba-tiba diliputi nuansa tak biasa.
Bukan, bukan karena saya ngefans sama dr. Tirta, yang mukanya mirip oppa-oppa Korea. Tapi karena Profesor Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 IDI juga turut hadir di situ. Seketika saya dejavu.
Berkat kisruh Rachel Vennya, ingatan saya melayang ke dua dekade lalu. Ketika saya masih jadi wartawan magang di sebuah surat kabar harian yang berkantor di kawasan Jakarta Selatan. Waktu itu saya sedikit lebih muda dari Rachel Vennya.
Oleh redaktur, saya ditugaskan di rubrik Kesehatan. Profesor Zubairi yang saat itu menjadi Kepala Bagian Penyakit Dalam RSCM, adalah orang penting pertama yang menjadi narasumber saya. Setelah itu, beliau menjadi narasumber langganan setiap saya menulis artikel kesehatan yang berkaitan dengan penyakit dalam.
Romantika yang pernah saya alami selama menjalankan peliputan seolah kembali terputar dalam ingatan. Romantika yang tidak akan dialami wartawan-wartawan zaman sekarang.
Sebagai anak magang yang penghasilannya bergantung pada banyaknya artikel yang dimuat, saya nekat mengambil tambahan tugas mengisi beberapa rubrik ringan seputar kehidupan selebriti dan pesohor negeri. Awal 2000, medsos belum secanggih sekarang. Tidak ada fitur-fitur canggih semisal Instastory, yang memudahkan kita mengakses kabar terbaru dari selebriti.
Satu-satunya cara untuk mendapat berita terbaru adalah dengan memburu dan menembak pertanyaan secara langsung. Suatu ketika, saya diminta menulis artikel gaya parenting seorang artis senior. Kala itu, dia sedang laku-lakunya berperan sebagai ibu bijak di beberapa sinetron.
Proses menentukan tanggal wawancara berjalan agak alot. Saya maklum karena jadwal dia memang sangat padat. Dengan gaya negosiasi pantang menyerah, saya bilang wawancara akan berlangsung singkat saja, jadi sebenarnya bisa diselipkan di sela-sela waktu dia berolahraga. Dia setuju dan menetapkan sanggar senamnya sebagai lokasi wawancara.
Proses mendekati, membuat janji, dan meminta waktu khusus untuk wawancara adalah bagian paling berat dari alur pekerjaan saya yang cukup panjang. Beruntung, media tempat saya bekerja memiliki reputasi baik. Jika tidak, level kesulitan yang saya hadapi semakin bertambah lagi.
Namun betapa kagetnya saya ketika di hari H, si artis membatalkan begitu saja sesi wawancara. Ngenesnya, saya dapat kabar itu ketika sudah sampai di lokasi.
Padahal untuk sampai kesana, saya harus beberapa kali turun dan naik bus dan angkot. Ditambah setengah kilometer berjalan kaki. Sanggar senam itu berlokasi di sebuah perumahan mewah yang nggak punya pangkalan ojek di depan pintu masuknya.
Ah, betapa beruntung wartawan sekarang, yang memiliki abang ojek online yang selalu bisa diandalkan.
Ujung-ujungnya, si artis malah meminta wawancara via telepon saja. Saya menanggapinya seperti seorang kekasih yang tak kunjung mendapat kepastian kapan dinikahi. Saya hilang rasa. Tapi saya tetap berusaha bersikap sopan selama wawancara berlangsung.
Penderitaan saya tidak berhenti sampai di situ. Ketika hasil wawancara itu akhirnya terangkai menjadi sebuah jalinan cerita yang rapi dan siap cetak, dia mengajukan permintaan agar fakta bahwa pernikahan beda agama yang dia jalani harus disembunyikan. Padahal, sudut pandang tulisan saya justru berangkat dari situ.
Demi menghargai keinginan artis, jadilah saya lembur sampai dini hari. Tulisan itu harus secepatnya direstorasi.
Jika membaca berita-berita hiburan dari media online sekarang, muncul rasa iri dalam hati. Wartawan zaman sekarang bisa dengan mudah menemukan bahan tulisan tanpa harus repot mengejar artis atau ngotot membuat janji khusus untuk wawancara.
Duduk manis sambil menyimak sebuah konten di YouTube, mereka bisa menulis tiga berita sekaligus.
Misalnya, dari podcast Deddy Corbuzier dengan bintang tamu Rachel Vennya, lahir berita dengan beragam angle. Misalnya:
“Inilah Gaya Parenting Rachel Vennya, Ibu-ibu Perlu Tahu”
“5 Parfum Favorit Rachel Vennya, Nomor 5 Dibuat dari Buah Mengkudu”
“Hobi Rachel Venya Ternyata Bikin Kaget, Salah Satunya Jadi Pawang Unta”
Selain berita keseharian, berita amatan juga laku banget. Misalnya, berita yang ditulis setelah menonton room tour atau home tour Rachel Vennya. Berita yang muncu jadi kayak gini: “Begini Tampilan Rumah Sederhana Rachel Vennya, Ada Ikan Lumba-lumba di Kolam Renangnya”.
Dengan alur proses kerja yang lebih ringkas, kans mereka melakukan kesalahan teknis memalukan seperti yang saya alami ketika berencana meliput rumah seorang tokoh nasional ternama, menjadi sangat kecil.
Sebagaimana wartawan masa kini, Rachel Vennya dan kebanyakan selebgram juga produk dari zaman yang menawarkan banyak kemudahan. Berbeda dengan artis tempo dulu yang harus meniti “jalan ninja” berliku demi mencapai kesuksesan. Rata-rata mereka menjadi terkenal dan mendulang banyak pengikut setelah membuat skandal atau kehebohan. Meski tak mungkin ditampik, mereka juga memiliki segelintir kelebihan.
Dulu saya sempat insecure setiap melihat postingan Rachel Vennya di Instagram. Betapa hidup nyata-nyata berpihak kepadanya. Muda, cantik, kaya, dan memiliki keluarga bahagia.
Namun, begitu melihat wajahnya yang sayu dan gerakan jemarinya yang saling meremas tak menentu, persis bocah nakal lugu yang dipaksa membuat pengakuan, saat menyampaikan permohonan maaf di hadapan Boy William, saya malah berbalik (agak) merasa kasihan.
Terkadang saya merasa tagar #bunaberhakbahagia layak ditujukan kepadanya. Namun, kalau ingat ada anggota TNI yang kehilangan pekerjaan akibat ulahnya, wajar juga kalau sampai keluar ujaran ajaib semisal “Buna memang berhak bahagia, tapi netizen juga berhak benci melihat kelakuannya.”
Saat ini, Rachel Vennya terancam hukuman satu tahun penjara. Netizen mengamini kabar itu dengan riang gembira.
Namun, seperti kata Profesor Zubairi, tanpa dipenjara pun sebenarnya Rachel Vennya telah menjalani hukuman yang setimpal. Sanksi sosial berupa hujatan, sumpah serapah, dan aksi unfollow adalah ganjaran tertinggi bagi seorang yang hidupnya ditopang oleh sanjung puja warga dunia maya.
Seandainya ibu dari Xabiru dan Chava itu pernah jadi wartawan magang seperti saya dulu, mungkin dia akan lebih sigap dan bijak menyikapi privilese yang dia nikmati sekarang. Bukan malah tercebur ke dalam kubangan kesalahan yang sama berulang-ulang. Mungkin lho, ya….
Saya jadi teringat ucapan almarhum ayah yang pernah berkata: “Kemudahan itu seperti kamu berutang, suatu saat kamu akan ditagih dan wajib membayar. Tapi kesulitan ibarat kamu menabung, suatu ketika kamu akan menikmati manfaatnya.”
Ngomong-ngomong, ayah saya meninggal November tahun lalu karena Covid-19…..
BACA JUGA Nggak Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.