MOJOK.CO – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bandung keluarkan surat edaran agar masjid disterilkan dari korban penggusuran Tamansari.
Tak mungkin kita tak mengelus dada ketika mendengar Majelis Ulama Indonesia (MUI) tercinta cabang Bandung mengeluarkan fatwa untuk “sterilkan” masjid Al-Islam, yang jadi tempat pengungsian warga korban gusuran paksa Tamansari.
Semua ini demi kemaslahatan dan kondusif-nya umat. Padahal dari 55 pengungsi dari Tamansari tersebut, bahkan beberapa di antaranya adalah anak-anak dan bayi.
Subhanallah.
MUI seger waras?
Oh, tentunya.
Saat puluhan keluarga jadi korban penggusuran paksa, yang dalam prosesnya turut mengerahkan militer dan terjadi kekerasan fisik, dan akhirnya mengungsi ke rumah Allah, namun MUI sang pembimbing umat yang bijak bestari baik hati dan tidak sombong itu justru mengeluarkan fatwa yang luar biasa insensitif—kalau bukan terang-terangan musuh kelas.
Sekarang, ke mana lagi warga yang digusur dan diusir bak hama oleh pemerintahnya sendiri mencari tempat bernaung, kalau bukan ke rumah Allah, ke bangunan yang didirikan untuk menyembah Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang?
Lalu MUI bikin fatwa yang keblinger dilihat dari sudut manapun. Puadahal, ini lembaga yang konon tugasnya “mengayomi” umat di sekujur negeri, lho.
Sebagai lembaga yang luar biasa mapan, yang didengar oleh puluhan juta umat, tentunya MUI bisa berbuat lebih dari sekadar merilis fatwa-fatwa atau imbauan-imbauan ajaib semacam itu.
Tidakkah MUI menjadikan Nabi Muhammad sebagai model?
Tentu, saya yakin, bapak-bapak atau ibu-ibu di MUI tahu benar bahwa Nabi Muhammad berpihak pada mereka yang lemah dan tidak berdaya.
Pernah suatu kali Muhammad berkata pada sahabatnya: “Aku adalah bapaknya anak yatim dan sahabat bagi orang miskin.”
Bahkan, Nabi Muhammad telah jadi “SJW” sebelum kata itu dipakai secara sembarangan oleh libertarian-maya-edgy-tukang-sorak-tukang-gusur untuk mencemooh aktivis sosial.
Lho, lho, kalau MUI kesulitan sendiri untuk meneladani sikap dan perbuatan Nabi Muhammad, karena sibuk mempromosikan “muslimin ideal” yang abstrak itu, hambok minimal MUI mencontoh FPI.
Iya, FPI.
Kendati doyan labrak sana labrak sini, ormas satu itu tergolong tanggap dalam membantu korban bencana. Korban banjir besar tempo hari di Jakarta toh dibantu oleh FPI.
Walau bantuan FPI itu bisa juga dibaca sebagai stratak untuk menjual ideologi mereka, alias “membuat ideologi kita saleable”, kalau kata Nick Griffin, pentolan organ far-right di Inggris sana, tapi toh FPI—yang tampak saja—nggak pernah menunjukkan insensitifitasnya pada mereka yang terdampak bencana.
Kalau mau jujur juga, FPI dengan citranya yang “begitu”, sudah masuk ke isu-isu yang penting dan relevan bagi kalangan kelas menengah bawah perkotaan seperti isu perburuhan, pengangguran, bahkan penggusuran.
Itu isu-isu yang seperti dihindari para makelar kebhinekaan kaleng-kalengan (untuk membedakannya dengan pegiat toleransi dan pluralisme yang serius) atau MUI.
Sekarang gini, apakah ada suara MUI Bandung untuk warga yang tanahnya diserobot tentara?
MUI lebih tertarik mengharamkan ucapan selamat Natal, merayakan Valentine, bahkan salam agama lain. Lalu MUI menerbitkan fatwa yang berbunyi “sterilisasi” masjid dari pengungsi gusuran Tamansari.
Sekali lagi, apakah MUI sehat?
Pengungsi itu manusia, warga negara yang punya hak yang sama dengan bapak-bapak atau ibu-ibu MUI… di atas kertas. Memang. Tapi kenapa harus pakai kata ‘steril’?
Saya lupa kalau di jaman neoliberal begini, orang yang sonder materi, sonder kekuatan yang riil, disederajatkan dengan kuman.
Lantas apa fungsi masjid yang semestinya?
Kalau MUI nggak songong-songong amat jadi lembaga, ia mestinya tahu, fungsi masjid itu bukan sekadar sembahyang lima waktu atau panggung untuk menyampaikan ceramah kebencian saat pemilu.
Tuh, waktu badai Harvey menerjang Amerika, masjid-masjid di negara bagian Texas membuka pintu lebar-lebar sebagai tempat mengungsi korban bencana. Pimpinan Islamic Society of Greater Houston berkata: adalah kewajiban, kewajiban dalam agama, untuk membantu sesama.
Sebetulnya, tidak ada yang hebat dari tindakan tersebut. Karena pada dasarnya, begitulah seharusnya. Mengulurkan tangan untuk sesama itu bukan sekadar diomongkan, tapi dilakukan.
Namun, coba bandingkan. Masih seputar badai Harvey, saat masjid, gereja, pertokoan, dll jadi tempat mengungsi warga korban bencana, sebuah megachurch bernama Lakewood yang berkapasitas 17 ribu kursi di kota Houston menutup pintu rapat-rapat.
Gereja supergede itu dipimpin Joel Osteen, televangelis kesohor dan (jelas) kaya raya di Amrik sana.
Walhasil, Joel, selaku orang yang kerap berdakwah tinggi-tinggi dan pemimpin daripada gereja mewah berpenghasilan sekian juta dolar US dalam sebulan namun abai pada korban bencana, jadi sasaran kritik pedas dari khalayak karenanya. Baru setelah dikritik, pintu Lakewood terbuka untuk pengungsi.
Tentu, sekalipun tidak pernah ada surat edaran soal fatwa MUI untuk “sterilkan” masjid dari warga Tamansari yang digusur itu, tidak akan ada perubahan yang berarti juga.
Sebab masalahnya bukan di situ. Warga korban gusuran Tamansari nggak akan mengungsi ke masjid jika pemerintahnya, dengan kekuatan gabungan mahadahsyat satpol pp hingga tentara yang ‘demokratis’ itu tidak melakukan penggusuran paksa, penggusuran nir-solusi.
Sekali lagi, MUI bisa berbuat agak berguna sedikit ketimbang bertingkah aneh-aneh. Membiarkan masjid sebagai tempat penampungan sementara itu toh gak mengurangi sedikitpun esensi masjid sebagai rumah Allah.
Kendati tidak banyak, saya yakin untuk sementara, korban gusuran paksa Tamansari itu terbantu dengan tinggal di masjid. Tapi, tidak, MUI tidak senang dengan hal itu. MUI lebih senang mengeluarkan edaran-edaran ajaib yang menegaskan wajah aslinya.
Seperti pepatah lama, sometimes it’s not the people who change, it’s the mask that falls off.
Saran saja sih, ada baiknya sebelum meminta mensterilkan Masjid Al-Islam dari korban penggusuran Tamansari, ada baiknya MUI Bandung mensterilkan pikirannya sendiri.
BACA JUGA Alasan Kenapa Warga Tamansari Sebaiknya Tidak Usah Ikuti Fatwa MUI atau tulisan Keenan Nasution lainnya.