Saatnya Militer Masuk Kampus, Menjadi Diskursus, Dibedah Biar Nggak Jadi Hantu

Hanya universitas tempat yang tepat, pas, kondusif membedah militerisme. Karena di sana, regenerasi kaum terpelajar berlangsung secara ajeg.

Saatnya Militer Masuk Kampus, Menjadi Diskursus, Dibedah Biar Nggak Jadi Hantu MOJOK.CO

Ilustrasi Saatnya Militer Masuk Kampus, Menjadi Diskursus, Dibedah Biar Nggak Jadi Hantu. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSebagai diskursus di ranah akademik, dengan teori dan metode kritis, kita bisa mengulik banyak hal dari ilmu militer yang beyond itu.

Sebetulnya, saat-saat ini adalah puncak keputusasaan menyelesaikan HAM ‘65. Jangankan kalian, mulai dari B.J. Habibie hingga presiden saat ini tertatih-tatih. Mas Yoyok atau Rumekso Setyadi dalam Refleksi September Hitam yang diselenggarakan PBHI dan Pusdema di Sanata Dharma dengan sangat perlahan mengiris betapa tak berdayanya pimpinan Republik menyelesaikan kasus genosida ini.

Antiklimaks dari upaya “penyelesaian” ini adalah tatkala pemerintah menyelenggarakan Simposium 1965 yang diselenggarakan pada April 2016 di kawasan Banteng, Jakarta Pusat. Menteri, jenderal purnawirawan, panglima tentara hadir. Inilah simposium pertama di mana pejabat pemerintahan dan panglima TNI duduk dalam satu ruangan dengan para penyintas pencari keadilan membahas soal posisi negara dalam pelanggaran HAM berat itu.

Sedikit lagi. Dan, buuum! Simposium tandingan “Anti-PKI” juga diselenggarakan di tempat lain, di tempat yang biasa syuting Indonesian Idol dan Akademi Fantasi Indosiar: Balai Kartini.

Lalu, senyap. Antiklimaks. Sebagaimana cerita Julius Ibrani, produk antiklimaks itu yang “diterima” Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dalam beberapa pekan terakhir berupa “peredaran salinan” Keppres yang menyatakan bahwa kasus ‘65 diselesaikan secara non-yudisial. Maksudnya, para penyintas diberi, ya, Bantuan Langsung Tunai atau BLT. Kompensasi ekonomi ala kadarnya. Kayak gitulah.

Sudah seputus asa itu. Harapan bahwa Indonesia keluar dari kutukan pelanggaran HAM berat makin menjauh. Makin memiuh.

Menurut saya, penyelesaian sudah menemui jalan buntu. Di tengah jalan buntu itulah, saya memberikan usulan-usulan minimum yang boleh jadi nggak guna sama sekali. Ini usulan “satu muka berjalan maju dengan mata terpejam, satu muka lagi di belakang”. Seperti Dewa Janus yang jadi simbol intelektual.

Ya, usulan minimum itu berbunyi: menjadikan militerisme sebagai diskursus akademis di kampus.

Mesti disadari, peristiwa G 30 S atau dalam istilah Sukarno, dan ini yang paling tepat, Gestok (Gerakan Satu Oktober), bukan hanya momen kita membicarakan dan merefleksikan PKI atau semua isme yang mengikutinya (komunisme, marxisme, sosialisme), tetapi juga angkatan bersenjata, dunia militer, sekuriti, militerisme.

Di negeri pascakolonial seperti Indonesia, militer bukan kekuatan semata keamanan negara dengan tujuan awal dan akhir mempertahankan kedaulatan negara dari serangan musuh dari luar, melainkan tulang punggung negara yang bisa mengatur semuanya. Militer yang menentukan kamu itu pengkhianat atau pahlawan.

Termasuk, menempatkan kaum yang mana yang menjadi genderuwo sosial sampai kiamat, siapa tidak. Dalam militerisme, manusia terdidik terbaik bukanlah berasal dari kampus, melainkan madrasah bersenjata. Atlet terbaik beserta pengurus organisasinya bukan dari gelanggang kompetisi atau kampus yang ada FPOK-nya, melainkan dari barak.

Lihatlah, bagaimana induk olahraga kita diatur dan ditata para jenderal. Kecuali Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1967-1986) dan Rita Subowo (2007-2011), yang lain-lain adalah datang dari elite militer, seperti Jenderal TNI (Purn.) Surono Reksodimedjo, Jenderal TNI (Purn.) Wismoyo Arismunandar, Jenderal TNI (Purn.) Agum Gumelar, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Tono Suratman, dan yang terkini sejak 2019 adalah Letnan Jenderal TNI (Purn.) Marciano Norman yang merupakan bekas pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN).

Bahkan, ketika Desta bertanding ping pong melawan Abdel, pesannya adalah atlet ping pong terombang-ambing oleh 2 kepengurusan. Satu, Pengurus Besar PTMSI yang diketuai Peter Layardi Lay. Satunya lagi Pimpinan Pusat PTMSI yang, ini dia, diketuai Komjen Pol (Purn.) Oegroseno. Nah, kan.

Betapa kagetnya saya saat melakukan rekonstruksi debat plagiarisme Hamka dalam karya Tenggelamnya Kapal v.d. Wijk. Tahu siapa yang meniup peluit untuk menghentikan debat sengit yang sudah berlangsung setahun? Penguasa keamanan Jakarta Raya. Setelah peluit itu ditiup, ya, senyap.

Itu contoh-contoh pritilan bagaimana militerisme itu beroperasi di semua lapisan birokrasi hingga ke ranah media dan budaya seperti sastra, film, musik. Luar biasanya, kehadirannya “diterima” sebagai kebenaran yang (nyaris) mutlak. 

Jika Soeharto adalah operator lapangan terbaik dan pelaksana paling brilian, pemikir militerisme terbaik adalah Jenderal Abdul Haris Nasution. Dialah yang merumuskan apa yang disebut “dwifungsi” yang membolehkan tentara boleh masuk ke instansi publik mana pun secara soft, secara halus. “Dwifungsi” adalah penemuan paling penting Nasution setelah dia dikandangkan Sukarno setelah peristiwa 17 Oktober (1952).

Dalam proses tapa itu, Nasution bereksperimen mengikutkan tentara ikut pemilu 1955 lewat partai yang bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), seperti PS TNI dan Bhayangkara FC ikut Liga 1. Bukan hanya itu, dia juga mengeluarkan gagasan terbesarnya, terkuatnya, terlatennya, yakni “dwifungsi”. 

Bahwa, karena tentara lahir dari rahim Rakyat dan selalu bersama Rakyat (tesis Panglima Besar Soedirman), maka tentara boleh menata pranata sosial dalam semua aspek yang dikehendaki. Dalam “dwifungsi”, sipil tidak boleh masuk terlalu dalam mengatur dapur militer dari A-Z. Sebaliknya, militer tidak boleh jadi lembaga “kediktatoran militer”. Dalam bahasa halusnya, kalaupun masuk, nggak usah pakai seragam lengkap dengan bintang-bintang di pundak. Militer tak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.

Inilah sumur penting mengapa militerisme menjadi tulang punggung Republik dalam berpikir dan bertindak. Lihat, “tulang punggung”, yang artinya tulang pokok. Fungsi tulang ini membuat Republik menjadi “tegak”.

Sayang, kekuatan sehebat ini, sebesar ini, kekuatan yang bisa menentukan kamu bisa begini dan kamu bisa begitu, kita tak mengenalinya. Ia seperti struktur di luar sana, yang jauh, yang tak teraba. Kekuatan misterius. Sangat terasa ada, menepuk pundak, merabai dada, tapi tak bisa dilihat kasat mata.

Mengapa demikian? Musababnya adalah karena ia tak pernah menjadi diskursus. Kampus tak pernah membawanya ke dalam laboratorium dan apalagi menjadikannya sebagai mata kuliah umum. Matkul atau matpel Pancasila ada, tetapi militerisme tidak ada. Dan itu terjadi di seluruh kampus Indonesia sejak dahulu kala.

Menjadikan militerisme sebagai ilmu pengetahuan yang membentuk tatanan sosial dan politik menghindarkan kita berpikir “mistik”. Dengan menempatkan militerisme dalam diskursus, sang objek bisa dipelajari, bisa dikritik, bisa diketahui sampai sejauh mana keterlibatannya.

Sebagai sebuah diskursus yang dilakukan dalam ranah akademik, yang dilambari teori dan metode kritis, yang rupa-rupa namanya, kita bisa mengulik banyak hal dari militerisme yang beyond itu, yang jadi suprastruktur tak tersentuh itu, dalam rahim kehidupan sosial kita. Kita bisa menyelidiki tokoh-tokoh pentingnya, baik sebagai pemikir maupun operator lapangannya.

Dengan menjadikan militerisme sebagai diskursus, kita bisa mengenali dan dekat dengan lembaga-lembaga pembangun militerisme beserta seluruh jaringan ekosistem ekopolhukhamnya.

Namun, ada konsekuensi dari menjadikan militerisme sebagai diskursus. Semua arsip yang berhubungan dengan militer yang sudah berusia 50 tahun dibuka untuk publik. Prosedurnya mudah, seperti yang sudah disabdakan Undang-Undang, serahkan saja ke Arsip Nasional maupun Perpustakaan Nasional. Sebab, tanpa arsip, tak ada diskursus. Tanpa data, tak ada ilmu pengetahuan. Militerisme itu saat ini hidup dalam arsip-arsip entah berada di mana.

Selain itu, perlu disusun kronik lengkap yang terkait dengan dunia sekuriti kita secara hari demi hari supaya kita bisa menangkap detail seperti apa makhluk bernama “militerisme” ini. Kronik membantu kita melihat secara jelas dan cermat bagaimana postur militerisme dalam bentang sejarah yang sangat panjang. Hal itu berguna untuk mengeluarkan diagnosis.

Dengan kronik, bentang militerisme dari masa kolonial Inggris/Belanda, masa kerajaan, masa fasisme Jepang, revolusi kemerdekaan, masa parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, hingga saat ini kita bisa lihat secara utuh kesinambungannya. 

Lewat kronik, yang baik dan buruk akan terlihat secara jelas. Apa saja yang patut diwariskan dan apa saja yang mesti dikoreksi terlihat jelas. Dengan kronik, sekali lagi, kita berkesempatan menyiangi mana saja “gulma” yang menghambat pertumbuhan sehat institusi-institusi yang terkait dengan militerisme dan dunia sekuriti sebagai “tulang punggung” Republik.

Dan, semua itu mestilah dilakukan kampus sebagai madrasah di mana ilmu pengetahuan dipelajari, diuji, dikritik. Bukan oleh lembaga-lembaga di luar. Munir dan KontraS sudah melakukannya sejak 1997. Tapi, kalian tahu sendiri apa akibatnya. Hanya universitas tempat yang tepat, pas, kondusif. Karena di sana, regenerasi kaum terpelajar berlangsung secara ajeg.

Akhirul kalam, selama militerisme, juga, tentu saja, komunisme/marxisme/sosialisme, tidak menjadi diskursus akademik, selamanya akan jadi hantu. Bakal sesuatu yang terimajinasikan begitu besar dan menakutkan lantaran kita tidak tahu di mana, bagaimana, siapa; selamanya misterius. Hanya jika ia dibawa ke ranah diskursus sebagai ilmu pengetahuanlah yang membuatnya semua jadi terukur. Tentu saja, sehat.

BACA JUGA Pola Percintaan Perwira Muda di Lingkungan TNI dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version