Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Rendang Dikira Kalio, Sudah Salah Ngotot Pula: Ketika Orang Jawa Menista Warisan Masakan Padang

Teguh Nugroho oleh Teguh Nugroho
18 April 2024
A A
Jawa Ngatain “Polisi Rendang” ke Orang Sumatera. Nggak Sopan! MOJOK.CO

Ilustrasi Jawa Ngatain “Polisi Rendang” ke Orang Sumatera. Nggak Sopan! (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Makanan bukan sekadar pemuas perut

Bagi orang Sumatera, makanan tak hanya sekadar pemuas perut. Makanan adalah bentuk kesungguhan atau totalitas. Ia adalah bentuk pelestarian budaya dan harga diri di dalam masyarakat. Makanan juga wujud cinta, perayaan, dan penghormatan. 

Oleh sebab itu, wajar kalau orang Jawa dan Jogja memandang makanan orang Sumatera “cenderung berlebihan”. Jadi, ada perbedaan budaya di sini. Perbedaan yang kudu dipahami secara utuh, bukan untuk ngeyel dan malah ngata-ngatain “polisi rendang”. Itu namanya nggak sopan.

Kalau penasaran bagaimana seharusnya rendang itu, pergilah ke Sumatera. Nggak harus ke Sumatera Barat. Bisa ke Bengkulu, Sumatera Selatan, atau Sumatera Utara. Meski mungkin memang sudah agak melenceng juga, tapi minimal melencengnya nggak jauh-jauh amat seperti di Jawa. 

Sayangnya, banyak yang tidak memahami poin yang disampaikan di situ. Ada yang berkomentar, “Aku lebih suka gitu aja daripada kering, nanti seret.” 

Lho, sebentar sebentar, mereka orang-orang Sumatera itu nggak mempermasalahkan mana yang lebih sampeyan suka atau bagaimana selera sampeyan. Mereka hanya meluruskan pemahaman yang salah, yang sepertinya disalahartikan sebagai “ribet” dan “berlebihan” oleh sampeyan. 

Karena biasa ngomong bersayap, sih, orang Jawa, khususnya Jogja, jadi suka susah memahami maksud seseorang karena terbiasa menebak-nebak. Padahal, orang Sumatera berbicara blak-blakan. 

Perbandingannya dengan angkringan palsu dan bakpia kukus 

Nah, beberapa waktu lalu, Mojok menayangkan artikel soal “angkringan palsu” di Jakarta dan sekitarnya. Angkringan, tapi makanannya sate sosis dan nugget. Angkringan, tapi tidak ada kehangatan dari sang penjual.

Kurang dan lebihnya, seperti itulah emosi yang dirasakan oleh orang-orang Minang ketika melihat rendang kebanggaan mereka dimasak dengan keluar dari pakem. Malah, ada netizen yang bilang bahwa keluarganya memasak rendang dengan kecap agar warna gelapnya tercipta. 

Ehem, anu, mmm… sama seperti warna gelap rawon berasal dari kluwek dan bukan kecap. Warna gelap rendang juga tidak berasal dari kecap, Mas dan Mbak. 

Atau, mungkin padanan yang lebih sesuai untuk orang Jogja adalah bakpia kukus. Kenapa bisa sebuah bun, mirip bakpao, yang sama sekali tidak dipanggang, yang tekstur luar dan dalamnya sama-sama empuk, bisa disebut “bakpia”? 

Bakpia seharusnya dipanggang, tidak dikukus. Bagian dalamnya lembut, lapisan luarnya renyah. Kalau tidak seperti itu, silakan cari nama lain. Jangan menggunakan label bakpia. Kita kesal ‘kan ada bakpia gadungan yang melenceng dari pakem dan, parahnya lagi, mengacaukan referensi dan pengalaman wisatawan yang baru pertama kali ke Jogja dengan zero knowledge tentang bakpia. 

Kalau masih kurang paham, saya coba berikan perbandingan lagi dengan nasi dan bubur. Nasi dan bubur bahan pokoknya sama-sama dari beras. Bedanya, bubur itu basah dan benyek, nasi itu lebih kering.

Bentuknya beda, teksturnya beda, cara pembuatannya apalagi, sudah pasti beda. Kita tidak bisa menyebut bubur sebagai nasi, dan begitu pula sebaliknya. Sama halnya dengan rendang, kalio, dan gulai dalam kasus ini. Hanya karena kita tidak tahu, karena itu bukan produk budaya Jogja, tidak berarti kita lantas bisa semena-mena terhadapnya. 

Jangan menistakan budaya orang lain

Kalau kita sendiri tidak suka produk kebudayaan kita “dinistakan” dengan proses, bentuk, tampilan, dan rasa yang melenceng jauh dari pakem, kenapa tidak bisa kita menerapkannya untuk budaya orang lain? Sebuah makanan tidak hanya sekadar alat pemuas lapar. Ada tujuan untuk melestarikan adat, ada mimpi untuk menjaga eksistensi etnisnya di muka bumi ini. 

Iklan

Mungkin karena terbiasa permisif, dimaklumi, dan menghindari konflik, orang Jawa, khususnya Jogja, jadi terkesan menyepelekan hal-hal yang dilakukannya. “Halah, cuma gitu aja, kok.” 

Silakan, jika itu hanya di antara kita sesama orang Jawa sendiri. Namun kalau sudah menyangkut budaya orang lain, orang Jawa, khususnya Jogja, perlu menjalankan prinsip hormatnya. Menghormati budaya dan pelajaran dari sesama itu bentuk akhlak yang mulia. Jangan malah sok tahu dan ngata-ngatain “polisi rendang”. Adabnya kamu buang ke mana, sih?

Penulis: Teguh Nugroho 

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Tiga Karakter Orang Minang yang Ada Pada Rendang dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 19 April 2024 oleh

Tags: beda rendang dan kaliogulai padangjawaJogjakaliomasakan padangminangorang jawapadang murahrendangsumatera baratwarung Padang
Teguh Nugroho

Teguh Nugroho

Laki-laki yang suka kopi, pergi-pergi, dan kereta api.

Artikel Terkait

Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO
Esai

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO
Liputan

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO
Bidikan

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bagian terberat orang tua baru saat hadapi anak pertama (new born) bukan bergadang, tapi perasaan tak tega MOJOK.CO

Katanya Bagian Terberat bagi Bapak Baru saat Hadapi New Born adalah Jam Tidur Tak Teratur. Ternyata Sepele, Yang Berat Itu Rasa Tak Tega

18 Desember 2025
bantul, korupsi politik, budaya korupsi.MOJOK.CO

Raibnya Miliaran Dana Kalurahan di Bantul, Ada Penyelewengan

16 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Kegigihan bocah 11 tahun dalam kejuaraan panahan di Kudus MOJOK.CO

Kedewasaan Bocah 11 Tahun di Arena Panahan Kudus, Pelajaran di Balik Cedera dan Senar Busur Putus

16 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
ugm.mojok.co

UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar

20 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.