MOJOK.CO – 1 Ramadan di Tokyo tak jauh beda dengan Jakarta. Padahal Tokyo ada di negara kafir. Eh, memangnya Jakarta tidak?
Terakhir kali saya menyambut Ramadan di Jepang adalah tahun 2006. Itu tahun kesepuluh masa tinggal saya di Jepang. Tahun ini kebetulan saya mendapat tugas ke Jepang cukup lama, yaitu 3 minggu. Setelah 12 tahun berlalu, saya kembali merasakan suasana menyambut bulan puasa di Jepang lagi. Orang Jepang akan mengatakan, juninen buri.
Tempat tugas saya tak jauh dari stasiun Shibuya. Tempat menginap saya, sebuah apartemen kecil juga tak jauh dari stasiun itu. Shibuya adalah bagian dari jantung kota Tokyo. Ini kawasan yang padat dengan gedung-gedung perkantoran. Stasiun Shibuya merupakan salah satu stasiun yang sangat ramai di Tokyo, setara dengan stasiun lain seperti Shinjuku, Tokyo, Shinagawa, dan lain-lain.
Pusat kota adalah pusat bisnis. Begitulah adanya Shibuya, Shinjuku, Shinagawa, dan sebagainya itu. Daerah ini dipadati oleh gedung-gedung perkantoran, juga tempat-tempat belanja, kuliner, dan hiburan malam. Orang-orang bekerja, malam hari mereka bersantai, makan dan minum bersama rekan kerja, rekan bisnis, atau teman-teman pribadi. Usai makan ada pula yang mencari hiburan.
Petang kemarin saya pulang dari tempat kerja pukul 6 petang. Ada kawan lama, orang Jepang yang sudah saya kenal lebih dari 20 tahun, mengajak bertemu dan makan malam bersama. Setiap kali saya ke Tokyo kami selalu bertemu. Saya memang selalu bertemu dengan kawan-kawan lama, setiap kali saya ke Jepang. Jadi, usai kerja, saya langsung menuju restoran yang sudah ditentukan oleh kawan saya tadi, untuk makan malam.
Sepanjang jalan menuju restoran, saya melewati kawasan kedai minum. Orang Jepang menyebutnya shotengai. Di situ berjajar restoran-restoran dengan aneka masakan. Juga ada izakaya (kedai sake), bar, panti pijat, klub malam, hotel short time, dan sebagainya.
Kok kedengarannya mesum? What do you expect? Ini Tokyo, Bung! Kan, negeri kafir.
Tapi, sebaiknya jangan gampang bilang ini kafir, itu kafir. Coba kita tengok Jakarta. Apa yang tidak ada di Jakarta? Nyatanya sama saja. Bahkan dalam beberapa sisi, Jakarta lebih gila. Di Jepang secara resmi pelacuran itu dilarang sehingga tempat-tempat hiburan yang menyediakan jasa layanan seksual tegas-tegas menyatakan “tidak menyediakan layanan sanggama“. Mereka menyebutnya honban koi, layanan menu utama.
Lha terus ngapain dong? Ya, dilayani pakai tangan, mulut, atau bagian apa saja, yang penting tidak masuk ke “menu utama”. Sejauh mana ketentuan itu dipatuhi, saya tidak tahu karena tidak pernah mencobanya. Kalaupun pernah, tentu tidak akan saya nyatakan di sini.
Sedangkan di Jakarta, situasi justru lebih parah karena terbalik. Panti pijat menyediakan layanan seksual secara lengkap. Tidak hanya panti pijat, salon-salon juga banyak yang begitu. Secara resmi di negara kita pelacuran juga dilarang, tapi mencari jasa pelacuran di Jakarta semudah mencari penjual tempe mendoan. Eh, maaf, salah. Sebenarnya lebih sulit mencari penjual tempe mendoan.
Menghabiskan malam 1 Ramadan di Shibuya juga terasa sama seperti di Jakarta. Sama-sama tempat yang heterogen. Ada yang puasa, ada yang tidak. Ada yang minum minuman keras, ada yang tidak. Di tempat heterogen, semuanya boleh ada. Dalam bahasa Inggris disebut co-exist.
Pada kawasan industri lendir di daerah Shinjuku bahkan terdapat sebuah masjid. Itulah co-exist tadi. Yang mau cari hiburan sampai berlendir, silakan. Yang mau ibadah, silakan. Jangan saling mengganggu.
Apakah itu tidak mengganggu kesucian masjid? Tidak. Yang akan mengganggu adalah apabila kamu, ya kamu, sehabis salat di masjid lalu mampir ke tempat berlendir atau sebaliknya, sehabis mengeluarkan lendir lalu masuk masjid. Dua amaliah yang berbeda 180 derajat itu tidak boleh co-exist dalam dirimu.
Seputar berbagai larangan untuk menghormati orang yang berpuasa, ada beberapa kekonyolan Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia.
Misal, selama puasa, panti pijat harus tutup. Bukankah itu menegaskan bahwa panti pijat itu selama bulan bukan Ramadan adalah tempat pelacuran, bukan panti pijat? Selama 11 bulan dalam setahun, mereka boleh beroperasi dengan melanggar izin yang diberikan pemerintah. Kita diam-diam mengakui itu.
Kenapa harus tutup selama Ramadan? Ya, tutupnya tempat-tempat itu adalah pernyataan tersirat bahwa banyak dari kita yang sebenarnya menjalankan amal-amal yang berlawanan tadi secara co-exist. Ibadah jalan, maksiat juga jalan. Cuma, selama bulan puasa ini ya istirahat dululah maksiatnya. Nanti kalau sudah lebaran, tancap lagi. Atau kita menjadikan Ramadan sebagai musim ibadah. Ibadahnya ya cuma selama Ramadan.
Sebagaimana tetap bukanya kedai-kedai minum, tak ada orang yang peduli kalau kita puasa di Tokyo. Jangankan peduli, tahu juga tidak. Mereka makan dan minum seperti biasa. Karena ini Tokyo? Tidak juga. Di Jakarta juga begitu. Banyak orang tidak puasa, baik karena mereka bukan muslim, juga karena mereka muslim yang tidak mau berpuasa. Mereka boleh makan dan minum, tanpa kita perlu meminta penghormatan. Yaelah, puasa aja minta dihormati. Masih ngiler kalau lagi puasa melihat orang makan? Emang umurmu berapa sih?