Membongkar Stigma “Chindo Pelit” yang Sebetulnya Berbahaya dan Menimbulkan Prasangka

Rahasia di Balik “Chindo Pelit” Sebagai Kecerdasan Finansial MOJOK.CO

Ilustrasi Rahasia di Balik “Chindo Pelit” Sebagai Kecerdasan Finansial. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COStigma “Chindo pelit” adalah stigma yang berbahaya karena menimbulkan prasangka dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Ada sebuah kelakar yang begitu akrab di telinga kita. Jadi, saat tiba waktunya membayar tagihan di rumah makan, kawan dari etnis Tionghoa akan menjadi yang paling akhir mengeluarkan dompet.

Bahkan dia yang paling gigih menyarankan agar kita semua membagi tagihan secara rata hingga ke rupiah terkecil. Adegan ini, bersama puluhan variasi lainnya, telah mengkristal menjadi sebuah stereotip yang menempel erat: “Chindo itu pelit.” Label ini diucapkan dalam canda, dilempar sebagai sindiran, dan terkadang, menjadi pemantik prasangka yang lebih serius.

Namun, seperti kebanyakan stereotip, label “Chindo pelit” adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya. Ia mereduksi sebuah perilaku kompleks menjadi karikatur satu dimensi, tanpa mau menyelami lautan konteks di baliknya. 

Apa yang kita cap sebagai “pelit” sesungguhnya adalah manifestasi dari persimpangan tiga jalan besar. Yaitu, etos kultural tentang frugalitas, respons pragmatis atas ketidakpastian sejarah, dan strategi jitu untuk akumulasi modal. Membongkar stereotip ini bukan berarti membenarkan kekikiran, melainkan mengajak kita untuk memahami logika dan sejarah yang membentuk sebuah mentalitas.

Frugalitas, bukan kikir, adalah sebuah filosofi hidup di balik stigma “Chindo pelit”

Langkah pertama untuk membongkar mitos “Chindo pelit” adalah dengan membedakan secara tegas antara frugalitas (hemat) dan kikir (pelit). Kikir adalah keengganan patologis untuk membelanjakan uang, bahkan untuk kebutuhan dasar yang merugikan diri sendiri dan orang lain. 

Sementara itu, frugalitas adalah sebuah seni mengelola sumber daya secara bijak, efisien, dan penuh kesadaran. Ini bukan tentang tidak membelanjakan uang, melainkan tentang memastikan setiap rupiah yang keluar memberikan nilai yang maksimal.

Kita bisa menelusuri akar frugalitas ini sampai ke nilai-nilai filosofis yang telah berusia ribuan tahun. Salah satunya adalah Konfusianisme. 

Ajaran ini menekankan pentingnya kerja keras, hidup sederhana, perencanaan masa depan, dan tanggung jawab terhadap keluarga. Mereka memandang kemewahan yang berlebihan sebagai sesuatu yang tidak bijaksana dan berpotensi merusak keharmonisan. 

Prinsip ini terinternalisasi dalam praktik sehari-hari. Misalnya, menghabiskan makanan hingga tak bersisa sebagai bentuk penghormatan terhadap rezeki, merawat barang agar awet dan tidak perlu membeli baru, atau menawar harga bukan karena serakah. Ini semua yang sebenarnya terjadi, bukan sesederhana stigma “Chindo pelit”.

Bagi banyak keluarga Tionghoa, uang bukanlah tujuan akhir. Uang adalah alat untuk mencapai stabilitas, keamanan, dan yang terpenting, memberikan fondasi yang lebih baik bagi generasi berikutnya. 

Sikap hemat ini adalah bentuk disiplin diri, sebuah latihan untuk menunda gratifikasi sesaat demi tujuan jangka panjang yang lebih besar. Jadi, ketika seseorang memilih untuk tidak membeli kopi mahal setiap hari, itu bukanlah wujud stigma “Chindo pelit”. Dia melihat nilai Rp50.000 itu lebih strategis jika diakumulasikan untuk dana pendidikan anak atau modal usaha.

Pragmatisme: Respons atas ketidakpastian sejarah

Stigma “Chindo pelit” itu sebenarnya juga lahir dari lapisan kedua yang membentuk perilaku. Namanya adalah pragmatisme, yang lahir dari tempaan sejarah. 

Kita harus mengingat bahwa posisi etnis Tionghoa di Indonesia tidak selamanya stabil. Periode penuh ketidakpastian, diskriminasi, dan kekerasan mewarnai sejarah mereka. 

Sejak era kolonial, mereka diposisikan sebagai middleman minority. Mereka juga menderita karena kebijakan represif di masa Orde Baru. Rezim membatasi akses mereka ke ranah politik, militer, dan birokrasi.

Kondisi historis yang rentan ini secara alamiah memaksa mereka untuk mencari bentuk keamanan di luar struktur negara. Ketika perlindungan politik dan sosial terasa begitu rapuh, satu-satunya benteng pertahanan yang paling bisa diandalkan adalah kekuatan ekonomi. Sebuah kondisi yang pada akhirnya melahirkan stigma “Chindo pelit”.

Uang dan aset tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat tukar. Uang, menjelma menjadi dana darurat, jaring pengaman sosial, dan tiket untuk “membeli” keamanan saat situasi genting. Mentalitas ini terpatri begitu dalam: “Jika terjadi sesuatu, siapa yang akan menolong kita selain diri kita sendiri?”

Sikap hati-hati dalam membelanjakan uang adalah respons logis terhadap trauma kolektif. Setiap pengeluaran yang tidak esensial diperhitungkan risikonya terhadap ketahanan finansial keluarga. 

Sikap ini mungkin terlihat berlebihan bagi mereka yang memiliki privilese akses terhadap jaring pengaman lain. Misalnya seperti pekerjaan stabil di sektor pemerintahan atau jaringan sosial yang kuat di luar basis ekonomi. 

Namun, bagi komunitas yang berkali-kali menjadi kambing hitam saat krisis, pragmatisme finansial adalah strategi bertahan hidup yang paling masuk akal. Mereka belajar dari sejarah bahwa stabilitas ekonomi adalah satu-satunya variabel yang bisa mereka kendalikan di tengah dunia yang seringkali tidak bersahabat. Dan, lahirlah istilah “Chindo pelit”.

Akumulasi modal: Mesin pertumbuhan lintas generasi

Frugalitas sebagai filosofi dan pragmatisme sebagai strategi bertahan hidup kemudian bermuara pada tujuan ketiga yang paling fundamental, yaitu akumulasi modal. Perilaku hemat yang melahirkan stigma “Chindo pelit” sesungguhnya adalah bagian krusial dari sebuah mesin ekonomi yang dirancang untuk terus berputar dan bertumbuh melintasi generasi.

Dalam banyak model bisnis keluarga Tionghoa, keuntungan yang didapat jarang sekali dihabiskan untuk konsumsi yang bersifat pamer. Sebagian besar akan diputar kembali sebagai modal kerja untuk ekspansi usaha (re-investment). 

Uang yang dihemat dari pengeluaran sehari-hari tidak disimpan mati di bawah bantal. Mereka menggunakan uang untuk membuka cabang baru, membeli mesin produksi yang lebih efisien, atau mendanai pendidikan tinggi anak-anak mereka agar kelak dapat mengelola bisnis dengan lebih baik.

Pola pikirnya bersifat komunal dan berorientasi masa depan. Pengorbanan generasi pertama yang hidup sangat sederhana adalah investasi bagi kenyamanan generasi kedua. Kerja keras generasi kedua adalah fondasi bagi kemakmuran generasi ketiga. 

Ada sebuah pemahaman tak tertulis bahwa kekayaan keluarga bukanlah milik individu. Kekayaan adalah sebuah amanah yang harus dikelola dan dikembangkan untuk diwariskan. 

Oleh karena itu, setiap keputusan finansial, sekecil apapun, dilihat dalam kerangka besar: “Apakah ini akan menambah atau mengurangi modal pertumbuhan keluarga?” 

Logika inilah yang membuat mereka berpikir dua kali sebelum melakukan pengeluaran impulsif. Sebuah kalkulasi yang sering disalahpahami oleh pengamat luar dan melahirkan stigma “Chindo pelit”.

Menuju pemahaman yang lebih jernih tentang stigma “Chindo pelit”

Pada akhirnya, melabeli sebuah kelompok etnis dengan stigma “Chindo pelit” adalah sebuah kemalasan intelektual. Di balik label tersebut, terbentang sebuah lanskap sejarah, filosofi, dan strategi ekonomi yang kaya dan kompleks. 

Apa yang tampak di permukaan sebagai keengganan untuk berbagi atau membelanjakan uang, sesungguhnya adalah cerminan dari disiplin frugalitas, pragmatisme historis, dan visi jangka panjang untuk akumulasi modal.

Tentu saja, seperti dalam setiap komunitas, individu dengan sifat kikir yang sesungguhnya pasti ada. Namun, menggeneralisasi perilaku individu tersebut menjadi ciri sebuah etnis adalah tindakan yang tidak adil dan melanggengkan prasangka.

Sudah saatnya kita memensiunkan kelakar usang tentang “Chindo pelit”. Dengan memahaminya sebagai perpaduan antara sikap hemat, kewaspadaan historis, dan kecerdasan finansial, kita tidak hanya menjadi lebih bijaksana, tetapi juga membuka pintu dialog antar-etnis yang lebih sehat dan saling menghargai. Karena di balik setiap tindakan, seringkali ada cerita yang jauh lebih dalam dari yang terlihat di permukaan.

Penulis: Jeremy Aditya Susanto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pesan-Pesan Hidup Orang Cina buat Gen Z Indonesia, Biar Nggak Lembek dan Menye-Menye karena Kehidupan Memang Keras! dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version