MOJOK.CO – Suatu ketika, pidato-pidato rutin di pesantren saya mendadak ditebari kutipan-kutipan bijaksana dari seorang pujangga China. Masalahnya, yang berpidato tidak menyebut namanya. Siapa sih dia?
Kali ini saya ingin bercerita saja tentang seorang pujangga China yang dulu banyak dikutip teman-teman pesantren saya.
Seperti banyak pesantren, pesantren saya melarang santrinya membaca buku dan majalah. Biasanya kalau ada yang ketahuan membaca buku atau majalah, kiai kami akan segera menyitanya, bahkan kadang tak segan merobek dan membakarnya.
Bukan berarti pesantren saya itu anti dengan pengetahuan modern atau pentingnya informasi terbaru. Larangan itu lebih dimaksudkan agar para santri fokus untuk mengaji dan mempelajari kitab. Toh, kenyataannya, saban Jumat kami dibebaskan ke perpustakaan dan membaca buku-buku umum, termasuk karya sastra dan majalah.
Tentu saja pembatasan itu sangat tidak mencukupi. Oleh karena itu, bersama sejumlah teman yang juga senang membaca, kami mencari akal. Diam-diam selalu ada di antara kami yang menyelinapkan buku dari perpustakaan lalu membacanya bergantian secara rahasia.
Dalam keadaan seperti ini, buku seperti punya kaki. Berjalan dan berpindah dari satu teman ke teman lain. Kita sering sudah tidak tahu lagi siapa pemiliknya dan dari mana ia berasal. Hampir tidak ada buku yang tertulis nama pemiliknya. Tentu ini langkah pengamanan saja agar ketika buku itu kena OTT, pemiliknya aman sentosa. Yang jelas ketika kami bertemu lagi dengan buku tersebut setelah sekian hari atau minggu, wajahnya sudah lecek dan kumal sekali. Saya kira di pesantren inilah saya melihat buku demikian dibaca banyak orang. Sungguh terasa manfaatnya.
Di pesantrenlah saya membaca dua catatan harian anak muda yang sangat penting dan masih terus dibaca para aktivis mahasiswa hingga kini: catatan harian Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Dua buah bacaan yang mendorong hasrat untuk meneruskan kuliah ke perguruan tinggi. Banyak bagiannya yang sebenarnya yang tak saya mengerti dari buku-buku ini, tapi entah mengapa minat dan gairah membaca itu justru kian membara.
Membaca dan bermain bola adalah hiburan penting sebagai selingan di antara tuntutan utama: mengaji kitab dan melaksanakan ibadah secara rutin dan tepat waktu. Di luar waktu itu ada lagi satu kegiatan yang menyenangkan, yaitu muhadharah. Muhadharah adalah latihan berpidato. Tiap minggu selalu ada kegiatan ini. Karena itu, jangan heran, jebolan pesantren biasanya jago-jago berpidato karena mereka memang terlatih untuk itu. Di akhir tahun, biasanya ada lomba muhadharah.
Untuk memoles dan membuat pidato menarik, kami suka sekali menyelipkan kata-kata asing. Kalau bisa menyelipkan istilah-istilah asing rasanya keren sekali. Makin tidak bisa dimengerti malah makin hebat. Dalam hal ini, maka buku pegangan yang utama adalah Kamus Istilah Populer yang berisi daftar istilah asing beserta artinya. Mungkin ini salah satu buku terlaris di zamannya selain buku Surat Yasin dan Tuntunan Shalat. Tentu saja karena kegenitan berbahasa ini, banyak istilah yang tidak tepat penggunaannya.
Yang kedua adalah menyelipkan kutipan tokoh-tokoh besar. Semacam kata-kata mutiara, entah dari pemikir, politisi, pemimpin, cendekiawan, sastrawan, dan lain-lain. Tentu ini di luar rujukan Quran atau hadis. Setiap kali acara latihan pidato, setiap kali pula dikutip kata-kata tokoh yang baru. Tidak boleh ada pengulangan karena pengulangan berarti suatu tanda kemalasan dan kemunduran. Yang menarik, kami tak pernah peduli dari mana tokoh itu berasal, apa agamanya, dan apa ideologinya. Yang penting bagus dan menarik. Bahkan ada fenomena, kutipan dari tokoh-tokoh luar negeri lebih menarik, apalagi dikemukakan dalam bahasa asing: Inggris atau Arab.
Dalam suatu periode kami pernah keranjingan dengan kutipan dari pujangga China. Awalnya seorang kakak senior maju berpidato lalu ia menyitir perkataan seorang pujangga Cina tanpa menyebut siapa nama sang pujangga tersebut. Misal ketika ia membicarakan penting muhasabah, saling introspeksi, ia selipkan kata-kata pujangga China ini, “Mengerti akan orang lain adalah bijaksana. Mengerti akan diri sendiri adalah waspada. Mengalahkan orang lain adalah kuat. Mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa.”
Teman-teman yang mendengar pun bertepuk tangan, senang dan kagum. Besoknya, kakak tingkat yang lain lagi tampil pidato. Kembali ia mengutip ucapan pujangga China, seperti, “Manusia utama mencari kebenaran, manusia rendah mencari keuntungan. Manusia utama menyayang jiwanya, manusia rendah menyayang hartanya. Manusia utama ingat akan dosa-dosanya, manusia rendah ingat akan jasa-jasanya. Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri, manusia rendah mencari kesalahan orang lain.”
Sungguh luar biasa. Tepuk tangah membahana lagi. Kami terperangah dan heran. Berkali-kali teman silih berganti mengutip sang pujangga China itu tanpa menyebut siapakah dia. Saya jadi penasaran.
***
Pada suatu sore, di pojok sebuah kamar saya melihat dua tiga teman memegang masing-masing satu buku yang tak biasa. Buku itu berbentuk kecil dan tipis. Kertasnya buram dengan sampul bergambar pendekar berpakaian tradisional China sedang bertarung. Di muka tertulis nama pengarangnya: Asmaraman Kho Ping Hoo.
Saya heran karena mereka memegang buku yang sama. Tapi, setelah saya teliti, tidak, karena ternyata masing-masing mereka adalah jilid yang berbeda. Rupanya buku tipis kecil itu memiliki banyak jilid. Melihat bentuknya yang sudah lecek, jelas sekali buku-buku itu telah berkeliling dari satu teman ke teman lain. Rupanya inilah yang mereka sebut “pujangga China” tersebut.
Saya kemudian ikut membacanya. Bergantian, jilid per jilid. Saya segera jatuh cinta pada bacaan ini. Saya ingat sekali buku pertama dan kedua karya Kho Ping Hoo yang saya baca adalah Pendekar Mabuk (18 jilid) dan Bukek Siansu (24 jilid). Per jilid rata-rata 60 halaman dengan ukuran buku saku 10 x 14 cm.
Dari seorang teman saya tahu ternyata buku-buku ini berasal dari seorang teman santri keturunan Tionghoa yang baru masuk Islam. Ia sendiri menyewanya dari sebuah taman baca. Setelah itu, beberapa teman sendiri secara urunan berinisiatif menyewa sendiri.
***
Setelah beberapa hari keasyikan membaca Kho Ping Hoo, suatu kali seorang teman kepergok kiai murabbi ketika membacanya. Dua judul dengan puluhan jilid kemudian langsung disita. Buku-buku itu dirobek oleh kiai yang marah karena kami keranjingan membaca buku-buku tersebut.
Ini hal biasa dan sudah menjadi risiko yang harus diterima. Masalahnya, novel silat itu merupakan barang sewaan. Pemilik taman baca pasti marah dan mungkin tak mempercayai teman yang menyewa itu lagi. Ia juga pasti harus menggantinya. Jika harus diganti dengan duit, mungkin tak masalah karena kami bisa urunan, tapi bagaimana kalau harus dengan novel dengan judul yang sama? Ia bilang tak tahu harus ke mana membelinya. Wajahnya kecut dan takut. Tampak ada beban berat di kepalanya. Kami semua merasa ikut bersalah.
Saya sendiri sudah lupa bagaimana persoalan itu kami atasi. Yang jelas rencana saya untuk juga mengutip ucapan sang pujangga China pada acara muhadharah minggu berikutnya bubar jalan.
N.B.: Karena saya tidak bisa mengingat persis kutipan-kutipan Kho Ping Hoo, untuk kepentingan esai ini saya mengambilnya dari sumber-sumber internet.
Baca edisi sebelumnya: Dawam Rajardjo dan Anjing yang Masuk Surga dan tulisan di kolom Iqra lainnya.