Predikat Cum Laude Jadi Penting karena Manusia Terobsesi dengan Kecepatan

Predikat Cum Laude Jadi Penting karena Manusia Terobsesi dengan Kecepatan

Predikat Cum Laude Jadi Penting karena Manusia Terobsesi dengan Kecepatan

MOJOK.COManusia modern punya obsesi dengan kecepatan dan keteraturan. Siapa cepat, dia yang dapat. Mirip kayak predikat Cum Laude.

Layaknya menu restoran yang jadi mahal karena pakai bahasa asing, gelar Cum Laude pun tampak mewah karena tetap dalam bahasa asalnya. Cum Laude berasal dari bahasa Latin yang berarti “dengan pujian”. Istilah ini sudah cukup keren sehingga nggak perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Ya, bayangkan aja selempang wisudawan atau wisudawati tulisannya: “Dengan Pujian” bukan “Cum Laude”. Sangat tidak Instagram-able bukan?

Ibarat taksonomi animalia versi Carl Linnaeus, klaster wisudawan atau wisudawati adalah sebuah familia yang terdiri dari beberapa genus. Genus “Memuaskan” (IPK 2.00 – 2.75), “Sangat Memuaskan” (2.76-3.50) dan “Cum Laude” (3.5<).

Nah, di dalam genus Cum Laude ini terdapat tiga macam spesies lagi, yakni Cum Laude (3.51-3.6), Magna Cum Laude (3.61-3.79) dan Summa Cum Laude (3.8<).

Di Indonesia, yang dipakai hanya predikat Cum Laude saja dan untuk mendapat predikat tersebut harus memenuhi beberapa kriteria seperti IPK di atas 3.5, lulus “tepat waktu”, dan tidak mengulang mata kuliah.

Umumnya, Cum Laude hanya diperuntukkan bagi lulusan pascasarjana namun Amerika Serikat dan beberapa negara Asia Tenggara yang mengadopsi model “penghargaan” tersebut seperti Filipina dan Indonesia, menerapkannya pula pada lulusan tingkat sarjana dan diploma.

Di negara lain, penghargaan semacam itu sebenarnya juga ada, hanya berbeda istilah dan klasifikasi saja.

***

Pernah nggak kamu merasa kalau waktu 24 jam dalam sehari terasa cepat sekali berlalu?

Jika pernah merasakannya, hal itu sebenarnya merupakan kultur baru di kehidupan zaman modern ini. Perasaan kayak gitu bisa dibaca begini: ketimbang sebagai fenomena alam, perasaan itu lebih mengarah ke mentalitas manusia modern.

Filsuf sekaligus sejarawan perang asal Prancis, Paul Virilio mengatakan bahwa kecepatan cahaya tidak hanya mengubah dunia namun juga “menjadi” dunia itu sendiri. Nah, modernisasi itulah kecepatan cahayanya.

Seperti halnya orientasi zaman senantiasa dinamis, peradaban pun bergerak menganut asas dromologi: siapa cepat, dia yang dapat!

Itulah kenapa manusia modern memiliki ciri kerap mendewakan kecepatan. Lebih penting akselerasi daripada refleksi. Bahkan saat ini kepakaran terkesan tidak lagi lebih penting dari kecepatan.

Kecepatan merespons isu, kecepatan membahas gosip terbaru, kecepatan bikin berita terkini, kecepatan mengeluarkan dalil, kecepatan melabeli kekafiran, dan lain sebagainya. Balik ke asas dromologi tadi: siapa cepat, dia yang dapat!

Menengok relevansi tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pendidikan sebenarnya terlibat dalam cengkeraman yang sama. Coba tanyakan kepada kawanmu yang masih kuliah; berapa banyak dari mereka yang ingin cepat-cepat lulus?

Saya rasa, jumlahnya cukup dominan meski alasan-alasannya bervariasi. Entah karena muak dengan rutinitas yang stagnan dan monoton, emang punya ambisi jadi “Cumlauder” aja, atau desakan pacar yang ingin segera “dihalalkan”. Macam-macam.

Dan dalam usaha menuju menjadi seorang Cumlauder, usaha ekstra keras kerap digalakkan.

Mulai dari rajin begadang demi tugas, datang lebih awal di ruang ujian agar bisa menyalin diktat, jadi oportunis dengan merayu dosen ke sana-kemari, sampai kadang perlu menyontek ketika ujian agar tak perlu mengulang mata kuliah semester depan.

Jangankan mahasiswa kayak kamu, Sukarno saja ketika masih menempuh studi teknik di Bandung juga “bekerja sama” kok dengan kawannya ketika ujian berlangsung.

Kepada jurnalis cantik, Cindy Adams dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat”, Sukarno bahkan ngeles dengan menyebut aksi tersebut sebagai bentuk “gotong royong”. Hm, inspiratif sekali.

Tentu tidak semua mahasiswa seperti itu. Pasti masih ada cumlauder-cumlauder kaffah yang berjihad di jalan yang lurus. Meski pun jumlahnya tidak sebanyak buih di mulut Musailamah Al-Kazzab.

***

Masih ingat dengan Erica Goldson?

Buat kamu yang belum tahu, dia adalah siswa yang menjadi pembicara pidato perpisahan kelulusan SMA-nya di Coxsackie-Athens High School, New York, pada 25 Juni 2010 silam. Erica Goldson menjadi lulusan terbaik di sekolahnya.

Namun alih-alih menggaungkan perjuangan belajarnya, Erica justru mengkritik habis sistem pendidikan yang dijalaninya selama itu.

Begini kutipan pidatonya:

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik.

Namun, setelah saya renungkan kembali, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Yang bisa saya katakan adalah bahwa saya memang yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.”

Bagaimana? Sangat bagong sekali, bukan?

Kuliah adalah seni menghafal dosen. Jika ingin nilai bagus, laksanakanlah titah para dosen. Dosen menugaskan menulis makalah, tulislah jurnal internasional. Dosen suruh mengerjakan soal, buatlah kamus kunci jawaban.

Dosen minta kelas malam, berangkatlah sebelum Magrib sembari melukis senja… mengukir namamu di sana~, mendengar kamu bercerita~, menangis tertawaaaa~.

Ya, pada akhirnya semua kembali lagi ke diri kita masing-masing. Kembali kepada urgensi dan motif yang mendorong diri untuk memperoleh predikat Cum Laude atau cum-cum eksklusif lainnya.

Apakah hal tersebut dapat membantu dalam meraih beasiswa studi di luar negeri, mendaftar CPNS jalur khusus “Cumlauder”, memenuhi kualifikasi dari profesi yang dicita-citakan, sebagai wujud responsibilitas atau sekedar demi mengabadikan foto diri di platform-platform media sosial?

Tidak, belum tentu.

Terlalu naif juga rasanya jika melegitimasi bahwa seorang Cumlauder pasti akan mudah memperoleh pekerjaan tetapi akan terlampau imbisil juga kalau mengatakan bahwa Cum Laude tidak berguna sama sekali.

Cum Laude memang tidak menjamin masa depan tetapi boleh jadi hal tersebut ikut berkontribusi menentukan masa depan, meski barangkali hanya pada aspek administratif semata.

Dan karena capain ini bersifat administratif, Cum Laude bukanlah standar satu-satunya dalam mengukur kepandaian seseorang. Mengukur kecepatan orang lulus iya, mengukur skill dan passion bekerja? Oh, tidak.

Sebab, kalau hanya pakai capaian administrastif seseorang baru dipercaya kecerdasannya, maka tidak akan pernah ada nama-nama jenius seperti Srinivasa Ramajuan, Ray Bradbury, Thomas Alva Edison, Walt Disney, Leonardo Da Vinci, atau Buya Hamka.

***

Masa depan adalah misteri yang berjalan bersama zaman. Wajar kalau manusia, dan banyak mahasiswa, sering memiliki kekhawatiran tentang hari esok. Oleh sebab itu pula, banyak manusia cepat-cepat ingin menghadapi hari esok untuk menghilangkan kekhawatiran itu.

Lalu begitu sampai hari esok itu mereka mengeluh, kenapa ya waktu 24 jam dalam sehari terasa cepat sekali berlalu? Terus merasakan kekhawatiran yang berulang kembali. Begitu seterusnya.

Kalau kata Kurt Cobain, “Tidak ada orang yang takut akan ketinggian melainkan ketakutan akan terjatuh.”

Ya, saya setuju.

Tidak ada orang yang takut akan masa depan, yang ada adalah orang ketakutan jadi masa lalu.

BACA JUGA Peran Ibu Kos sebagai Tonggak Lahirnya Identitas Bangsa dan tulisan tentang Mahasiswa lainnya.

Exit mobile version