MOJOK.CO – Katanya Prabowo mau merancang kabinet zaken. Tapi, pada akhirnya malah jadi kabinet gemoy yang membawa banyak bahaya bagi kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana dugaan banyak pihak, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-VII masa persidangan I tahun sidang 2024-2025. Rapat tersebut digelar di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis, 19 September 20 24.
Dengan regulasi baru tersebut, presiden terpilih, Prabowo Subianto, nantinya bisa menambah jumlah kementerian tanpa batas. Artinya, keinginan beliau untuk menambah jumlah kursi kabinet menjadi 44 kursi, sudah tidak akan terhalang lagi oleh perundangan yang ada.
Aspirasi Prabowo sebagai presiden terpilih
Berdasarkan Pasal 15 RUU Kementerian Negara tersebut, Prabowo bisa membentuk kementerian berdasarkan kebutuhan. Tidak lagi ada lagi batasan 34 kursi kementerian.
“Jumlah keseluruhan Kementerian yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden,” bunyi RUU Kementerian Negara tersebut. Sebelum diubah, pada Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008, jumlah kementerian dibatasi hanya 34. Sehingga dengan revisi tersebut, tak ada lagi batasan jumlah kementerian. Prabowo bisa membentuk sebanyak-banyaknya kementerian sesuai keperluan.
Sebagaimana diketahui, revisi UU kementerian ini tak bisa lepas dari aspirasi presiden terpilih yang ingin memiliki postur “kabinet gemoy”. Kita banyak mendengar bahwa Prabowo dan tim mengusulkan jumlah 44 kursi kabinet.
Tujuannya untuk merepresentasikan rencana “intervensionis” beliau. Rencana tersebut nampaknya akan merentang luas, dari berbagai sisi, sektor, dan bidang. Sayangnya, keinginan tersebut terbentur oleh perundangan yang ada.
Sehingga, jalan satu-satunya untuk itu adalah dengan merevisi UU Kementerian. Nah, dengan “kegemoyan” koalisi pendukung Prabowo-Gibran, tentu hal itu sangat mudah dilakukan di Senayan. Dan itulah yang terjadi pada akhirnya. UU Kementerian pun berubah, angka 44 untuk kursi kabinet akhirnya memungkinkan.
Akomodasi untuk politik koalisional
Selain itu, dalam hemat saya, latar “politik koalisional” sebagai infrastruktur politik menjadi pendorong keinginan Prabowo untuk menginisiasi nomenklatur kabinet yang “gemoy”. Koalisi yang gemuk dan gemoy, yang nyaris menelan semua partai peserta pemilu tempo hari ke dalamnya, tentu akan membutuhkan ruang akomodasi yang luas juga.
Dan, bentuk akomodasi yang paling acceptable untuk sebuah partai agar dianggap in di dalam sebuah koalisi tentu berupa “kursi kabinet”. Kursi kabinet akan menjadi parameter bagi partai pendukung pemerintah sebagai alat ukur atas membership-nya. Kursi kabinet juga menjadi “hadiah” sekaligus “pengikat” dari presiden terpilih untuk “mengapresiasi” dukungan di satu sisi dan “memastikan” kesetiaan” political loyalty di sisi lain.
Namun demikian, terlepas dari aspirasi Prabowo sebagai presiden terpilih dan konfigurasi politik yang membayanginya, jumlah 44 kursi untuk “kabinet zaken” tersebut terlalu besar di satu sisi. Tidak ada jaminan akan bekerja secara efektif di sisi lain. Kabinet zaken sendiri adalah suatu kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi dari suatu partai politik tertentu.
Belum tentu sebanding dengan kinerja
Melihat dari sisi manajerial, besarnya jumlah kabinet belum tentu berbanding lurus dengan kinerja baik dan efektif. Apalagi karena motifnya sangat politis, yakni untuk “menyenangkan” hati anggota koalisi. Oleh sebab itu, Prabowo hanya bisa memastikan hasil maksimum berupa stabilitas politik dan pemerintahan.
Prabowo memang membutuhkan stabilitas politik. Khususnya untuk membangun, katakanlah, angka pertumbuhan 8%. Tapi ini bukan sebagai sebab keberhasilan pembangunan di satu sisi, alih-alih sebab pertumbuhan ekonomi 8% di sisi lain.
Ketahuilah, stabilitas hanya salah satu prasyarat untuk bisa menjalankan pemerintahan tanpa gangguan berarti. Kondisi ini bukan sebab efektif atau tidaknya pemerintahan dalam mendatangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Nomenklatur yang terlalu besar akan sangat berpotensi terjadi overlapping peran dan fungsi. Selain itu, terjadi juga pembengkakan anggaran negara. Ini akan memperumit berbagai urusan, terutama pembangunan ekonomi.
Semuanya karena terlalu banyak meja dan terlalu banyak tangan. Dan saya akan sangat menyayangkan jika ujungnya justru kinerja ekonomi ternyata as usual. Maklum, pemerintah Prabowo nanti justru lebih banyak mengonsumsi anggaran untuk membiayai “kegemoyan” kabinetnya.
Manfaat dan risiko yang perlu diukur lebih lanjut oleh Prabowo
Secara teknis, kita bisa membayangkan, dari sisi APBN (fiskal), nilai plusnya akan ada penambahan belanja negara. Baik yang bersifat rutin dan operasional dari kementerian dan lembaga baru yang dibentuk, maupun anggaran belanja modal dan pembangunan dari kementerian dan lembaga baru tersebut.
Tapi risikonya, defisit akan melebar, utang yang ditanggung Prabowo akan bertambah, dan tingkat kerawanan korupsi meningkat. Anggaran untuk membayar cicilan utang serta bunganya akan semakin cepat membesar dari tahun ke tahun.
Karena kita mau mengakuinya atau tidak, agak sulit menambah kementerian tanpa menambah anggaran. Ketika hal itu terjadi, kementerian dan lembaga lain pasti akan mengurangi anggaran.
Dengan kata lain, kita bisa memastikan bahwa pertambahan jumlah kabinet menyebabkan pertambahan anggaran belanja pemerintah. Namun jika dibenturkan dengan kondisi fiskal saat ini, mau tak mau, risikonya pemerintah Prabowo kelak harus melebarkan defisit dan menutupinya dengan segala cara.
Misalnya dengan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan negara. Bisa juga dengan penambahan penerbitan surat utang negara.
Intervensi yang akan dilakukan pemerintah
Selanjutnya, setelah “kabinet gemoy” terbentuk, maka akan ada penambahan “senjata” pemerintah untuk mengintervensi segala sendi kehidupan masyarakat. Bentuknya bisa macam-macam.
Mulai dari bantuan langsung, program-program terencana, sampai proyek-proyek fisik. Uang negara yang akan membiayai semua itu. Perubahan mendadak menjadi Big Government akan sejalan dengan ancaman penyalahgunaan kekuasaan negara dalam membelanjakannya.
Beberapa hal akan mengikuti situasi tersebut. Misalnya, memburuknya sistem pengawasan dan penindakan malpraktik wewenang pemerintah Prabowo kelak. Semuanya karena kekuatan oposisi, atau yang setara dengan oposisi, sudah nyaris tidak ada.
Sementara itu, lembaga-lembaga yudikatif yang seharusnya bertugas untuk memberikan counterbalance masuk ke dalam barisan “tidak resmi” koalisi. Hal itu wajar terjadi selama ini.
Potensi pengeroposan perekonomian negara
Ujung dari semua itu bukan lagi berbentuk potensi terjadinya pembangunan yang masif dan pertumbuhan yang “bombastis” seperti harapan Prabowo. Yang justru terjadi adalah pengeroposan perekonomian negara. Semuanya karena pendistribusian anggaran yang tidak adil antara pemerintah dan rakyat.
Untuk menutupi anggaran besar, pemerintah pasti memasukkan berbagai jenis pajak ke dalam daftar pemasukan. Sudah begitu, generasi muda juga akan merasakan utang masa depan yang meningkat. Itu baru satu sisi.
Di sisi lain, pemerintah Prabowo kelak akan mengonsumsi anggaran dari pajak tanpa ada kepastian. Apakah “aksi konsumsi ramai-ramai anggaran negara” tersebut akan berimbas secara langsung atau tidak langsung? Khususnya kepada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Saran dari saya untuk Prabowo
Pendeknya, menurut hemat saya, pertama, sebaiknya rencana menginisiasi 44 kursi menteri dipertimbangkan secara matang-matang terlebih dahulu. Amerika saja yang jumlah penduduknya di atas Indonesia hanya memiliki 15 menteri.
Memang angka tersebut sepadan dengan ideologi ekonomi dan politik yang mereka anut. Namun, jika menilik mendalam, Amerika sejak 1990an sudah melakukan intervensi sangat masif ke dalam kehidupan masyarakatnya.
Ini sebagai bentuk reaksi atas penurunan performa ekonomi negeri Paman Sam tersebut. Artinya, dengan intervensi masif itu, Amerika masih tetap bisa menanganinya dengan 15 kursi menteri (secretary).
Kedua, jika memang Prabowo memandang bangsa ini sangat membutuhkan “kabinet gemoy”, sebaiknya beliau memperhatikan beberapa hal. Misalnya, merumuskan kementerian secara detail dan spesifik. Khususnya soal peran dan fungsi.
Prabowo harus bisa memastikan bahwa peran dan fungsi tersebut bisa menambah daya gedor pemerintah. Khususnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Jika ujungnya hanya menambah rumit proses “berpemerintahan” di Indonesia yang selama ini memang sudah rumit, tentu sangat kontraproduktif. Sebagaimana sudah saya jelaskan di atas, sebenarnya rakyat tak memerlukan kabinet gemoy.
Rakyat lebih membutuhkan “kabinet zaken”. Sebuah kabinet yang mampu menghadirkan pemerintah secara nyata dalam mengatasi berbagai persoalan yang menghalangi masyarakat untuk menjadi maju dan sejahtera.
Penulis: Ronny P Sasmita
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Memilih Prabowo Subianto karena Gemoy Itu Sesat dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.