Dampak merusak dari framing busuk video pendek
Begini lho, kerusakan yang ditimbulkan oleh tayangan berdurasi sekian menit itu tidak serta-merta sembuh dengan selembar kertas berlogo Trans7. Jutaan pasang mata yang menonton acara itu, yang mungkin awam dengan dunia pesantren, sudah terlanjur menelan framing busuk tersebut.
Di benak mereka, citra Lirboyo dan “pesantren adalah tempat perbudakan terselubung” sudah tertanam. Butuh berapa puluh tahun untuk menetralisir racun pemikiran semacam itu? Surat maaf tidak punya daya magis untuk menghapus suudzon yang sudah kadung tersebar.
Apalagi jika permintaan maaf itu disampaikan dengan cara yang, yah, mari kita jujur, terasa seperti formalitas belaka. Kita sudah terlalu sering melihat permintaan maaf yang dibacakan dari teleprompter, dengan ekspresi datar dan intonasi yang diatur.
Permintaan maaf semacam itu tidak lahir dari penyesalan yang tulus. Ia lahir dari tekanan publik dan ketakutan akan anjloknya rating atau hengkangnya pengiklan. Itu bukan self-correction, itu damage control.
Pola yang berulang
Yang lebih menyebalkan adalah pola berulang ini. Media atau public figure bikin konten ngawur, menyinggung SARA atau merendahkan kelompok tertentu, lalu minta maaf, dan publik diharapkan melupakan segalanya.
Besok atau lusa, mereka akan melakukannya lagi dengan isu yang berbeda. Seolah-olah kata “maaf” adalah kartu bebas yang bisa dipakai kapan saja untuk menghapus dosa jurnalistik atau dosa kemanusiaan.
Framing kepada Lirboyo dan pesantren pada umumnya sebagai sarang perbudakan bukan sekadar keteledoran. Itu adalah buah dari kemalasan riset yang akut, digabung dengan arogansi untuk merasa paling tahu segalanya.
Mereka gagal total memahami konsep khidmah atau pengabdian santri kepada kiai. Padahal ini sebuah tradisi luhur yang didasari oleh cinta, penghormatan, dan keinginan untuk mendapatkan berkah ilmu. Tidak hanya di Lirboyo, tapi juga di semua pesantren.
Mengukurnya dengan kaca mata perburuhan modern adalah sebuah kekonyolan yang sama absurdnya dengan menilai resep rendang pakai standar gizi Eropa. Nggak nyambung sama sekali!
Media nasional sekelas second account IG
Ini semua bikin kita bertanya-tanya. Kode etik jurnalistik itu sebenarnya masih dipakai atau cuma jadi pajangan di dinding kantor redaksi yang merendahkan Lirboyo dan pesantren?
Sebab, kelakuan media nasional kok jadi mirip second account Instagram anak labil yang bebas ngebacot apa saja tanpa dipikir dampaknya. Pokoknya asal viral, asal jadi omongan. Soal akurasi, empati, dan tanggung jawab sosial kepada Lirboyo dan pesantren itu urusan belakangan.
Jadi, maaf kami tidak bisa memaafkan ini begitu saja. Surat dari Trans7 itu silakan diarsipkan. Tapi proses edukasi kepada tim mereka, dan mungkin kepada seluruh insan media di Indonesia, tentang bagaimana cara memandang dan meliput pesantren dengan adab dan ilmu, harus terus berjalan.
Sebab jika tidak, siklus “berulah, minta maaf, berulah lagi” ini akan terus terjadi. Dan kita, sebagai penonton, hanya akan terus-terusan mengelus dada sambil bergumam, “Ya Allah, gini amat ya cari rating.”
Penulis: Yusuf Fadlulloh
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Dari Sungkem hingga Minum Bekas Kiai, Dasar Etika Para Santri di Pondok Pesantren yang Belakangan Dicemooh dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












