MOJOK.CO – Fahmi Darmawansyah, penyuap Kalapas agar dapat sel mewah di Lapas Sukamiskin mendapat keringanan hukuman dari Hakim MA. Mantap.
Beberapa hari kemarin Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Fahmi Darmawansyah. Buat kamu yang nggak tahu siapa Fahmi ini, blio adalah terpidana kasus suap terkait proyek pengadaan monitoring satelit Bakamla.
Nah, saat menjalani hukuman, Fahmi Darmawansyah mendapat sel mewah di Lapas Sukamiskin dengan beragam fasilitas mumpuni. Jauh lebih mewah ketimbang napi-napi lainnya. Alhasil, KPK mengendus adanya kongkalikong antara suami Inneke Koesherawati ini dengan Kalapas Sukamiskin.
Saat persidangan kemudian, Fahmi terbukti secara sah dan meyakinkan telah memberi barang-barang mewah kepada Wahid Husen, Kalapas Sukamiskin. Fahmi pun divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bandung.
Dalam perkembangannya, Fahmi yang ketahuan mendapat sel mewah di Lapas Sukamiskin mengajukan PK kepada Mahkamah Agung. Setelah menimbang-nimbang dengan seksama, para Hakim MA sepakat, bahwa suap yang dilakukan Fahmi tergolong kecil dan sejatinya menunjukkan sifat kedermawanan blio.
Waw. Ajaib.
Dari kesimpulan suangat buijak sekaleee itu, Hakim MA lantas mengabulkan PK yang diajukan Fahmi dan hasilnya hukuman penyuap kebijakan negara ini pun mendapat korting spesial.
Lho kok bisa? Ya jelas bisa dong, karena menurut para hakim, barang yang diberikan Fahmi kepada Kalapas Sukamiskin nilainya tak seberapa. Yah, hanya barang-barang seperti tas Louis Vuitton, mobil Mitsubishi Triton serta sandal yang tentunya bukan bermerek Swallow.
Memangnya berapa sih harga barang-barang begitu? Mitsubishi Triton ya sekitar 400 jutaan lah, murah kan? Lalu tas LV, ya paling jutaan aja. Apalagi sandal, cincai lah.
Jangan dibandingkan sama kita yang kismin ini lah, barang-barang segitu buat horang kaya penyuap pejabat negara kan ya nggak seberapa.
Berdasar dari kisah inspiratif itu, saya semakin percaya dengan kredo, “Hukum itu buta.” Hooo, bukan, bukan hanya cinta yang buta. Yang buta kitanya lho, bukan para hakim.
Para hakim, yang terdiri dari ketua majelis Salman Luthan dengan anggota Abdul Latif dan Sofyan Sitompul, justru melihat kasus tersebut dengan kejernihan dan kejelian tiada tara.
Kejernihan itu ditandai sikap tidak hanya melihat suatu kasus dari sisi hukum positif saja, namun juga dari nilai-nilai luhur yang patut diteladani generasi mendatang. Salah satu nilai tersebut adalah kedermawanan.
(((kedermawanan)))
Sifat dermawan atau murah hati memang pada hakikatnya berhubungan dengan satu hukum dalam kehidupan manusia. Hukum itu bernama hukum tabur tuai. Apa yang kau tabur, itu yang kau tuai.
Orang yang dermawan pada sesamanya, akan mendapat kedermawanan balasan di dunia ini. Ini serius dan memiliki bukti empiris tak terbantahkan.
Lihat saja, Fahmi dermawan kepada sang kalapas, maka Fahmi pun akhirnya mendapat sel mewah di Lapas Sukamiskin plus kedermawanan dari para hakim agung. Hm, semesta sungguh adil.
Hukuman 3,5 tahun yang harusnya dijalani Fahmi pun disunat menjadi 1,5 tahun saja. Seandainya Fahmi lebih dermawan lagi kepada sang kalapas, bisa-bisa diskon vonisnya lebih besar lagi.
Kita tentu ingat, Artidjo Alkostar pernah menjadi hakim agung yang ditakuti oleh para koruptor. Biasanya, Artidjo Alkostar akan menambah hukuman bagi para terpidana kasus korupsi yang mengajukan banding. Nah, kebiasaan semacam ini sebenarnya sungguh tidak baik bagi citra dermawan Hakim Mahkamah Agung.
Atau, ada juga nama Albertina Ho, hakim yang gagal dalam proses seleksi untuk menjadi hakim agung. Jelas saja, wong Albertina dikenal sebagai hakim yang tak suka berkompromi dan tak dermawan. Bisa-bisa, dia malah merusak suasana di MA yang sudah adem ayem, gemah ripah loh jinawi.
Maka, dengan adanya keputusan pengabulan PK Fahmi, level keagungan Mahkamah Agung niscaya akan semakin memuncak. Ibarat cahaya yang terus merekah hingga rembang tengah hari. Cakep.
Selain itu, keputusan ini juga dapat menjadi solusi alternatif bagi para koruptor kelas kakap, bila ingin mendapat keringanan hukuman. Hakim MA yang sekarang dapat menjadi solusi praktis. Jadi bagi para pesakitan yang putus asa dan sesak hati akibat tertangkap dan dijebloskan ke penjara, silakan ajukan PK.
Setidaknya, melalui kasus Fahmi ini, Hakim MA terbukti bisa menjadi juru selamat bagi jiwa-jiwa yang merindukan kebebasan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Syaratnya, jadilah koruptor yang dermawan, jangan ragu. Semakin dermawan, akan semakin terang jalanmu. Fahmi telah membuktikannya, tentunya koruptor lain yang sudah jadi terpidana pun bisa mendapat hak tersebut.
Kelak, bila saatnya tiba, MA juga akan semakin dikenal sebagai lembaga tinggi negara paling dermawan di negeri ini.
Polri maupun KPK boleh saja menangkapi para koruptor, Kejaksaan Agung boleh saja mendakwa para terpidana, tapi untuk urusan kedermawanan semacam pengabulan PK dan pengurangan hukuman, Hakim MA-lah jawabannya.
Bila hukuman dirasa terlalu berat, Mahkamah Agung akan bertindak sesuai fungsi dan kedermawanannya. Jadi, kita lihat, semua lembaga tersebut bisa kelihatan bekerja maksimal. Win-win solution bagi koruptor semuanya, bukan?
Jangan khawatir soal independensi hakim-hakim MA, toh pada kenyataannya, MA tetap tegas menindak mereka yang menyelewengkan wewenang kok.
Buktinya, Kalapas Sukamiskin yang menerima suap pada kasus ini tetap dibui 8 tahun penjara. Kalapas Sukamiskin bahkan sudah dibui sejak tahun lalu dan masih menjalani hukuman sampai sekarang, meski Fahmi jelas-jelas dianggap hanya menyedekahkan sebagian hartanya.
Hal ini sebenarnya merupakan ajaran tingkat makrifat dari MA bagi masyarakat Indonesia selanjutnya. Yakni, “Tangan di atas lebih baik ketimbang tangan yang di bawah.”
Itu.
BACA JUGA Mahkamah Agung Jelaskan Kenapa Gemar ‘Sunat’ Hukuman Para Koruptor dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.