[MOJOK.CO] “Mengorek formula cerita silat yang dipakai Wiro Sableng lewat jilid pertamanya.”
Siapa tahu dalam satu abad ke depan catatan ini masih terselamatkan dan seseorang masih menemukan beberapa jilid atau satu seri lengkap (menurut catatan, mencapai 191 judul) kisah Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Pada masa itu mungkin saja cerita silat merupakan sesuatu yang asing, dan siapa tahu bahkan nyaris tak ada orang yang membaca novel.
Bagi yang asing dengan cerita silat, di masa lalu kami menyebutnya cersil. Ia memang masih memiliki elemen-elemen cersil yang bisa kita bayangkan. Ada seorang kesatria yang memiliki kemampuan bela diri, dalam hal ini sosok utamanya tentu saja Wiro Sableng. Ada koreografi pertarungan, meskipun Bastian Tito sang penulis lebih menyukai adegan-adegan slapstik nan konyol daripada gerakan-gerakan sulit yang dibawakan dengan bahasa yang indah. Bagaimanapun, Wiro seorang pendekar yang rada gendeng seperti gurunya, dan bukan atlet senam irama.
Demikian pula ada konflik kebaikan melawan kebatilan, yang merupakan moral umum dari kisah jenis ini, dengan beragam filosofi bawaannya. Tentu tak ketinggalan beragam wejangan tentang tuntunan hidup, etika pribadi maupun masyarakat, meskipun dalam kasus Wiro Sableng, petatah-petitih ini hadir seadanya, dan saya merasa itu adalah salah satu hal yang baik.
Di masa sekarang, mungkin tak terbayangkan bahwa buku ini didistribusikan sebagian besar melalui taman bacaan, semacam perpustakaan kecil di mana orang membayar untuk meminjam buku selama satu atau dua hari. Wiro Sableng, sebagaimana novel-novel silat Asmaraman S. Kho Ping Hoo, novel horor Abdullah Harahap, maupun novel romansa Fredy S., juga komik-komik silat, lahir dalam tradisi seperti itu.
Berbeda dengan kebanyakan cersil, Wiro Sableng merupakan serial. Setiap judul baru terbit, para penggemarnya sudah menunggu dan berebutan. Siapa cepat dia dapat. Dan kalau dapat lebih dulu, biasanya hanya boleh baca dalam waktu singkat. Apa yang membuatnya demikian populer di tahun ’80-an? Untuk melihat formulanya, saya rasa kita bisa menengok saja ke judul pertama seri ini, 4 Berewok dari Goa Senggreng. Hampir segala yang dinikmati pembaca di berbagai judul Wiro Sableng, bisa kita lihat cikal bakalnya di judul ini.
Baiklah, serial ini sebenarnya dibuka dengan beragam klise, bahkan fastiche, dari formula yang umum di kisah-kisah sejenis. Pernah membaca kisah tentang seorang anak yang kedua orangtuanya dibunuh (atau ibunya diperkosa sebelum bunuh diri), lalu si anak (atau orok) diselamatkan seseorang, diajari ilmu bela diri, dan setelah dewasa turun gunung dan menuntut balas? Dalam banyak cersil, formula ini umum. Wiro Sableng salah satunya. Ia orok yang nyaris mati terbakar dan diselamatkan Sinto Gendeng.
Dan bagaimana dengan kisah seorang guru yang mengambil murid, tapi muridnya kemudian menjadi bengis dan jahat? Si guru merasa punya tanggung jawab untuk menghukum murid ini, dan mendidik murid baru untuk melawan si murid durhaka. Murid durhaka bisa ditemui juga di banyak cersil, bahkan jika satu abad ke depan orang masih menonton Star Wars, mereka juga bisa menemukannya di film itu. Penjahat terbesar di buku pertama (dan kedua) Wiro Sableng adalah murid durhaka Sinto Gendeng, sekaligus pembunuh orang tua Wiro.
Formula ketiga, sang pendekar bertemu gadis cantik. Seorang gadis cantik yang nyaris direnggut kehormatannya oleh seorang atau segerombol penjahat. Ia menolongnya, kemudian ia tahu, gadis itu anak dari musuhnya. Jika saya tak salah ingat, formula ini juga ada di komik Panji Tengkorak, dan tentu di berbagai cersil lainnya. Di buku ini Wiro bertemu dan menyelamatkan Nilamsuri, anak dari salah satu musuhnya, anak buah pembunuh bapaknya.
Soal Nilamsuri ini, agak brengsek juga si Wiro. Ketika tahu si gadis jatuh hati padanya, tanpa menimbang urusan dengan bapak si gadis, Wiro membawanya ke dangau di tengah sawah. Di sanalah pertama kali mereka menikmati gairah manusia (heh, kalian belum menikah! Pacaran saja belum!). Setelah itu, dengan dingin, ia bertarung dengan ayah si gadis, memotong tangannya, walau si gadis memohon, “Wiro, jangan. Itu ayahku!” Wiro memperoleh kedua-duanya: tubuh si gadis dan pembalasan dendam.
Urusan asmara yang agak jelimet ini tentu saja harus diselesaikan dengan mudah: Nilamsuri akhirnya mati dalam bopongannya. Enak sekali jadi lelaki dan pendekar, ya? Kelakuan Wiro yang genit ini memang berubah ketika ia semakin dewasa di jilid-jilid selanjutnya, ketika ia digambarkan semakin bijak.
Baiklah, semua formula itu muncul di buku pertama, dan menurut saya di sanalah keberhasilan serial ini. Keberhasilan yang bahkan bisa dilihat secara angka: judul-judulnya terjual rata-rata ratusan ribu kopi. Angka yang menurut ukuran pengarang sekarang, yang barangkali baru menerbitkan beberapa judul buku saja, mungkin bikin petentengan dan merasa sudah menjadi raja penulis.
Di abad yang akan datang, formula ini bisa saja tak pernah basi, sebagaimana Wiro Sableng membuktikannya sebelum ini. Tak ada yang baru di kolong langit, kata pepatah, asal kau tahu bagaimana mengolahnya. Satu hal yang membuatnya segar di tengah iklim dunia persilatan tanah air adalah gaya bahasanya yang konyol. Ia tak meromantisir dendam, pengelanaan, dan romansa yang terputus-putus. Dalam banyak cersil, pengembaraan sang pendekar sering kali memberi sejenis melankolia tentang ketercerabutan, ketiadaan “rumah” (dalam arti harfiah, kampung halaman, atau hati untuk berlabuh). Wiro memiliki aspek-aspek ketercerabutan atas rumah itu, tapi tidak membuatnya menjadi sejenis melankolia.
Itu terjadi karena kekonyolan bahasa (bahkan terasa kekinian, melawan bahasa realis di umumnya cersil), deksripsi tokoh-tokohnya yang sering kali grotesk (bayangkan, Sinto Gendeng digambarkan berambut tipis, tapi memiliki konde yang ditusukkan langsung ke kulit kepalanya), dan sekali lagi, koreografi pertarungan yang sering slapstik (biji kemaluan yang kena hantam, misalnya).
Terakhir, munculnya kode angka “212” merupakan strategi yang juga jitu, sejenis branding nama pendekar. Barangkali serupa angka “007” untuk James Bond. Anak zaman sekarang mungkin tak tahu atau tak peduli makna di belakang angka tersebut, dan sesederhana menganggapnya sebagai angka cantik. Dan pembaca di abad mendatang mungkin melihatnya sebagai kode biner yang aneh, sejenis kode biner yang mereka lebih akrab: angka 0 dan 1.
Tapi, itu memang sejenis kode biner, sejenis filosofi di belakang kisah Wiro Sableng. Sinto Gendenglah yang mengkhotbahkan tentang 212 ini, sekaligus saya kira merupakan landasan moral serial ini. Bahwa dunia ini hadir senantiasa berpasang-pasangan. Ada lelaki, ada perempuan. Baik dan jahat. Atas dan bawah. Itu berarti 2. Dan di atas segalanya, ada satu yang tertinggi. Gusti Allah. Angka 1. Agak Hegelian, kan?
Dan khotbah semacam ini, bahkan sampai hari ini, tampaknya masih disukai orang. Terutama, saya pikir, aman juga, mengingat di masa itu buku bacaan masyarakat semacam ini sering diawasi dengan saksama oleh negara melalui tentara dan berbagai perangkatnya. Coba apa jadinya kalau di masa itu, sebuah cersil berkhotbah tentang perjuangan kelas. Bahwa 212 bisa ditafsir sebagai pertarungan penindas melawan tertindas (2) yang menghasilkan masyarakat yang adil dan saling menghormati (1).
Yang penting, seperti kebanyakan cersil, memang harus ada sedikit khotbah, selain pertarungan dan romansa.