Pengalaman Saya Hadapi Aksi Teror di Prancis sebagai Minoritas dan di Indonesia sebagai Mayoritas

MOJOK.CO – Bagaimana hidup sebagai muslim di Prancis dan pada saat bersamaan muncul aksi teror yang mengatasnamakan Islam?

Sore itu saya tanya ke istri, “Bu, itu ada teror bom di Makassar, kok kamu ndak ketakutan seperti dulu sih?”

Pertanyaan ini tentu saja saya utarakan bukan tanpa alasan. Selama 4 tahun tinggal di Prancis, setidaknya kami sudah mengalami 24 kejadian aksi teror.

Mulai dari insiden penyerangan Charlie Hebdo dan bom Bataclan di Paris pada tahun 2015, hingga penembakan di Pasar Natal-nya Strasbourg pada tahun 2018. Ada 18 kejadian mengatasnamakan Islam dan mengucapkan takbir sebelum aksi.

Saya masih ingat pasca-serangan Charlie Hebdo tahun 2015, istri merasa sangat ketakutan sampai saya ndak tahu lagi harus bagaimana menenangkannya.

Lha gimana? Televisi Prancis menayangkan berita tentang aksi penembakan hampir 24 jam pada semua saluran. Belum lagi media sosial yang ndak berhenti fa-fi-fu membuat istri saya hampir gila dibuatnya.

Sebagai pendatang berwajah Asia dan mengenakan jilbab, istri sempat ndak mau berangkat kuliah dan terpikir untuk melepas jilbabnya. Malu dan takut dipersekusi. Apalagi KBRI Paris juga meniadakan salat jumat serta mengeluarkan anjuran bagi para WNI untuk tetap di rumah dan menghindari keramaian.

Slogan “Kami Tidak Takut” itu pada praktiknya cuma jadi omong kosong belaka bagi istri (dan saya tentunya). Tapi kan ya ndak mungkin saya tunjukkan di depan istri dong, harus ada satu gundul yang masih mampu berpikir jernih.

Melihat istri mulai terganggu pikirannya, saya pun berinisiatif mencabut kabel televisi dan menyimpannya di gudang. Saya juga minta dia rehat dulu dari dunia maya dan mengajaknya jalan-jalan ke pusat kota.

Tentu saja awalnya istri saya menolak karena takut dan kalut. Tapi sebagai suami yang baik, tentu saja saya paksa sampai dia mau lah, hehehe.

Mohon para aktivis perempuan kalau baca ini ndak usah ndebat dulu. Itu kondisinya darurat.

Istri menutupi jilbabnya dengan semacam topi rajut musim dingin, orang Prancis menyebutnya bonnet. Kami ke pasar dan pusat kota menggunakan transportasi umum, bertemu banyak orang. Tak ada yang berubah, hanya memang di beberapa tempat jadi lebih banyak polisi dan tentara yang berjaga-jaga.

Ndak ada tatapan sinis apalagi persekusi atas penampilan istri seperti yang dia takutkan. Tetangga dan kenalan yang warga Prancis pun ndak ada yang menyalahkan kami atas kejadian teror di Prancis.

Ketika bertemu di kampus, angkutan umum, atau papasan di apartemen, mereka ndak mbahas hal itu sama sekali. Kalaupun dibahas, mereka dengan santai menyampaikan bahwa pelaku hanyalah oknum yang memiliki jalan pikir ndak benar. Ayem.

Meskipun demikian, apa yang istri saya takutkan toh akhirnya terjadi juga.

Pada awal Juni 2017, istri baru pulang belanja sendirian di Paris 13 yang terkenal sebagai kawasan Asia. Saat di dalam tram, istri saya dimaki-maki oleh warga lokal, sebut saja Mas Prayit. Istri saya diminta untuk turun dan pulang ke negara asal karena dia muslim dan menggunakan jilbab. Luar biasa.

Untungnya ada warga Prancis lain, sebut saja Mas Agus. Dia adalah superhero yang menyelamatkan istri saya yang hanya terdiam dan berkaca-kaca udah mau nangis.

Mas Agus “menegur” Mas Prayit dan menyuruhnya turun dari tram. Setelah agak tenang, istri menelepon saya yang masih di kampus sambil menangis terisak menceritakan kejadian yang dia alami. Jingan emang Mas Prayit.

***

Pengalaman 4 tahun tinggal di Prancis (plus berkeliling 30 negara) sebagai muslim minoritas tentu saja membuat pikiran kami terbuka dan sadar bahwa rasa aman itu sungguh yang utama dan muahal harganya, MyLov.

Ndak enak lho dicurigai itu, apalagi gara-gara kelakuan gundul-gundul ndak jelas yang bikin rusak citra gundul sejenisnya.

Saya masih ingat bagaimana istri tertahan di Bandara Ceko tahun 2016 gara-gara berjilbab. Visa Amerika saya ditolak tanpa alasan yang jelas walaupun saya sudah mengisi from DS-5535 tentang riwayat perjalanan 10 tahun terakhir, siapa yang membiayai, daftar akun media sosial, dan tetek bengek lainnya.

Oh iya, kalau ada pihak Kedutaan Amerika yang baca tulisan ini, saya cuma mau bilang kalau saya cinta Amerika, Amerika adalah yang ter-bike! Hidup Amerika!

Ndak kebayang juga kalau di Indonesia saya harus mengimbau mahasiswa untuk ndak pergi dulu ke tempat ibadah karena takut ada aksi teror susulan, seperti yang pembimbing S3 saya dulu lakukan.

Istri harus copot jilbab dulu kalau mau pergi ke warung atau keluar rumah supaya ndak dipersekusi atau jadi korban rasisme. Demi keamanannya sendiri.

Jumatan juga harus dibuat dua shift seperti di Masjid Issy les Moulineaux, dekat tempat tinggal saya di Paris.

Lha gimana, izin pembangunan masjid baru tidak mendapat dukungan warga, padahal kapasitas masjid udah ndak cukup buat nampung jamaah plus ada aturan ndak boleh salat di jalanan.

Masjid di Indonesia apa pernah mengalami hal seperti itu? Muslim di Indonesia apa pernah merasakan itu?

Jadi muslim di Indonesia itu posisinya sangat strategis dan udah paling wuenak lho. Mayoritas dan punya privilese bejibun. Tinggal fokus dengan rukun iman, rukun Islam, hubungan dengan Tuhan, dan hubungan dengan manusia. Selesai.

Makanya saya suka heran, kok ya masih ada aja oknum yang bikin aksi teror dengan kerusuhan, nyerang gereja, memusuhi polisi, dan benci sampai mati ke pemerintah. Iki maksudnya apa?

Hidup sudah damai begini, bisa-bisanya malah merindukan peperangan. Hidup sudah tenang begini, kok ya kepikiran mau bikin permusuhan.

Padahal hidup di Indonesia sebagai muslim itu menyenangkan. Ketika tiba waktu salat, azan otomatis berkumandang dengan lantang. Bahkan kalau hari Jumat didahului dengan memutar rekaman bacaan Al-Quran satu jam sebelumnya.

Syahdu banget.

Sampai-sampai anak perempuan pertama saya, Hanum, yang lahir di Prancis, ketika pulang ke Indonesia pun kaget mendengar suara dari speaker masjid sering diaktifkan. Maklum, di Prancis ndak ada azan kecuali dari hape.

Itulah kenapa, ketika suatu hari saya izin ke Hanum untuk ke masjid depan rumah di Indonesia. Hanum bertanya dalam bahasa Prancis ke saya, “Oh, ke tempat yang suka bikin ribut-ribut itu ya, Yah?”

Heh? Gimana?

BACA JUGA Rasanya Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam atau tulisan Bachtiar W. Mutaqin lainnya.

Exit mobile version