MOJOK.CO – Gimana? Pengalaman nyoblos di Pilpres 2019? Bukannya belum 17 April? Jangan-jangan ini salah satu surat suara terselubung antek aseng dari truk yang pernah disebut-sebut Andi Arief.
Tenang. Tenang, Saudara-saudara. Pilpres memang masih sebulan lebih lagi di Indonesia. Di Amrik juga sebenarnya sama, 17 April di TPS pada KJRI (Konsulat Jenderal RI) wilayah masing-masing.
Tetapi bagi yang lebih memilih lewat pos seperti saya, surat suaranya sudah tiba dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun—meminjam bahasa Mojok ketika menolak halus tulisan—di mailbox Selasa sore kemarin.
Alih-alih datang ke KJRI Chicago, saya lebih memilih mencoblos di rumah saja dan surat suaranya dikirimkan lewat mister pos. Biar lebih khusyuk, lebih rahasia, dan lebih lama menatap capres-cawapres junjungan saya. Oke, ini alasan kesekian sih. Alasan utamanya sebetulnya, karena jarak kota saya dengan Chicago adalah lima jam dan bertepatan tanggal 17 April akan menjadi hari-hari penuh deadline.
Tetapi, sepertinya memilih lewat pos memang memiliki keistimewaan tersendiri. Ketika para kampret dan cebong masih sibuk saling serang menyerang dan berusaha saling mempengaruhi setotal-totalnya, saya sudah bisa mencoblos lebih awal.
Bagaimanapun saya tidak rela suara saya hangus begitu saja. Yah, meski saya tahu dampaknya pada diri pribadi paling begitu-begitu saja. Siapa pun presidennya. Tetapi hak harus digunakan sebaik-sebaiknya dan berusaha memilih yang terbaik dari yang ada. Pasalnya, memilih pemimpin bukan memilih yang paling sempurna tetapi mencegah yang lebih buruk berkuasa. Wah, mestinya Kedubes Indonesia di Amrik memilih saya sebagai Duta KPU. Halooo Pak Dubes….
Sebenarnya, tak ada yang terlalu istimewa dengan amplop besar berwarna putih dari KPU lewat KJRI Chicago itu. Kurang lebih sama saja yang akan kamu temui di TPS nanti. Dalam paket itu berisi tujuh lembar kertas; masing-masing dua sampul dan surat suara (DPR dan Presiden-Wapres), sisanya surat tanda terima, pemberitahuan, dan petunjuk pencoblosan.
Seperti diduga dalam surat suara presiden dan wakil presiden. Ada dua calon. Nomor urut 01 ada Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. (H.C) KH. Ma’ruf Amin. Lalu, di nomor urut 02 ada H. Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Uno. Keempatnya kompak menggunakan gelar haji di depan nama masing-masing dengan peci hitam di kepala.
Keempatnya juga kompak tersenyum dengan gigi tampak, kecuali Prabowo yang mungkin tak terbiasa tersenyum ala Pepsodent. Jokowi-Ma’ruf dengan pakaian putih kebesaran. Sementara Prabowo-Sandi dengan setelan jas hitam dasi merah. Gagah. Semuanya.
Tadinya saya berharap ada ada paslon alternatif seperti Nurhadi-Aldo. Tetapi ternyata Nurhadi-Aldo hanya tim penggembira belaka dan sekadar numpang lewat. Sekarang saja gaungnya sudah meredup dan quote-quotenya sudah terdengar garing.
Saya tidak ada masalah dengan surat suara capres dan cawapres. Saya sudah mengenal kedua paslon dengan sungguh-sungguh. Meski mereka sama sekali tidak mengenal saya, tentu saja. Tetapi pada surat suara Pemilu DPR, lain lagi ceritanya. Untuk Pemilu di Amrik, terkhusus di wilayah saya, surat suara pemilu DPR hanya tersedia untuk Dapil Jakarta II; Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Tak ada dapil di wilayah Sulawesi Selatan, daerah asal saya. Entah apa pertimbangannya.
Tadinya saya berniat tidak mencoblos saja di pemilu DPR. Wong bukan dapil wilayah saya dan tidak akan mewakili saya juga, kan? Apalagi kandidatnya cukup banyak. Ada 105 calon dengan 16 partai. Tak ada foto seperti surat suara capres-cawapres. Setidaknya kalau tidak kenal kan saya bisa memilih lewat intuisi gambar. Yang gagah atau cantik, yang berpeci kalau laki-laki dan berjilbab jika perempuan, yang senyumnya lebar dan diedit tujuh hari tujuh malam. Lengkap dengan segala klaimnya.
Hanya saja, sayang jika suara tak saya manfaatkan juga untuk DPR. Maka saya iseng melihat sekilas nama-nama calonnya. Ternyata di sana ada Eggi Sudjana yang pernah terkenal dengan, “selain agama Islam harus dibubarkan”. Ada Hidayat Nur Wahid yang pernah curiga dengan Jan Ethes. Juga ada Tsamara Amany yang partainya kadang terlalu bersemangat berpolitik hingga bikin blunder. Sementara para calon sisanya, saya tidak tahu.
Sementara Caleg DPRD Provinsi dan Caleg Kabupaten/Kota tidak ada. Kalaupun ada, tidak akan ada yang benar-benar saya kenal.
Pemilu kali ini bagi saya jauh lebih menyenangkan dibandingkan tahun 2014 lalu. Saya tidak perlu berdebat dengan orang-orang di rumah karena hanya saya yang berbeda pilihan—bahkan sampai bikin saya nyaris tidak ke TPS saat itu. Tapi saya yang memang dasar keras kepala. Saya tetap ke TPS dan mencoblos pilihan saya sendiri.
Namun di TPS, hati saya juga tidak terlalu tenang karena banyaknya pendukung calon lain. Saya kan kurang khusyuk jadinya. Selain itu, waktu yang disediakan juga tak begitu banyak. Siapa tahu saja kan, saya bisa berubah pikiran. Namun kali ini, saya bahkan memiliki waktu sebulan lebih untuk mencoblos kandidat mana yang akan saya coblos. Saya bisa memilih dengan tenang. Kalau perlu salat istikharah dulu, biar lebih mantul.
Karena lewat pos, saya tak perlu repot keluar rumah menuju TPS. Juga tak perlu pake cap cinta tinta pula di jari. Yang jelas, batas pengiriman suaranya tidak melewati tanggal 17 April. Sementara penghitungan suaranya sendiri dilakukan bersamaan pada tanggal 17 April pagi hari atau ketika sudah malam di tanah air.
Hal menyenangkan lainnya dari pengalaman nyoblos duluan ini adalah tidak ada spanduk dan baliho di sepanjang jalan. Tak ada brosur atau flyer menyebalkan yang ditempel di tembok rumah tanpa izin. Spanduk yang saya lihat, palingan cuma muncul di timeline sosial media.
Keistimewaan-keistimewaan ini tentu tidak akan saya miliki ketika di tanah air. Hati dengan tenang dapat memilih. Selamat menanti mencoblos tanggal 17 April….