MOJOK.CO – Mempertimbangkan banyaknya kecurangan dan tidak lagi sesuai dengan semangat awal, Pekan Olahraga Nasional (PON) sebaiknya dihapus saja.
Kemeriahan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara 2024 belum usai. Berbagai cerita dan drama kontroversial mewarnai pesta olahraga bangsa Indonesia yang kali pertama digelar di Bumi Sumatera, 9-20 September 2024.
Mulai dari keributan di sejumlah cabang olahraga hingga isu venue yang belum selesai dibangun sehingga kurang memadai untuk digunakan bertanding/berlomba. Sudah begitu, masih ada sampai masalah makanan yang disebut tidak layak konsumsi untuk atlet.
Sejumlah media memberitakan beberapa venue mengalami atap bocor saat hujan. Selain itu, akses jalan juga sangat becek, hingga menggunakan papan kayu sebagai pijakan.
Soal makanan lebih mengerikan. Media memberitakan pembatalan pesanan katering tiga ribu boks makanan oleh panitia. Tentu saja pemilik katering langsung merugi. Ada pula komplain tentang kelayakan menu makanan dari beberapa kontingen. Mereka memesan makanan sendiri, tapi isinya tidak sesuai dengan harga yang mereka bayarkan.
PON jalan, tapi venue belum beres
Ketua Harian Pengurus Besar PON XXI Aceh-Sumut, Baharuddin Siagian, angkat bicara. Ketika jumpa pers, dia meminta agar media tidak membesar-besarkan berita yang terlalu menyudutkan penyelenggaraan PON.
Selain itu, dia juga menyebut sudah melakukan perbaikan di venue bola voli indoor. Salah satunya dengan menambah videotron di luar arena pertandingan. Sebelumnya, banyak penonton yang tidak bisa masuk venue. Oleh sebab itu, panitia menambah videotron supaya yang tidak bisa masuk tetap bisa menonton.
Sudah begitu, panitia juga menambah penyejuk ruangan. Semua dilakukan supaya penonton tetap nyaman.
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Dito Ariotedjo, memberikan pujian untuk Sport Centre Sumut di Desa Sena, Kabupaten Deli Serdang. Desa Sena menjadi venue voli indoor. Dito menyampaikan pujiannya saat meninjau langsung progres pembangunan Sport Centre Sumut dan kondisi venue voli indoor, Jumat (13/9).
Iya, bayangkan saja. Pelaksanaan PON sudah berlangsung, namun pembangunan venue masih belum selesai 100%!
PON kini yang sudah melenceng dari tujuan
Penyelenggaraan PON seakan kian melenceng dari tujuan awal. Awalnya, PON memiliki tujuan untuk mempersatukan gerakan seluruh cabang olahraga dalam satu pertemuan besar yang diselenggarakan dua tahun sekali.
Saya mengutip kalimat di atas dari buku Indonesia Langkah Pertama ke Olympiade XV Helsinki 1952 karya C.J. Stalk. Adalah W.J.S. Poerwadarminta yang menerjemahkan buku ini. Buku ini merupakan terbitan Badan Penerbitan G. Kolff & Co, Bandung, tahun 1952.
Selain mempertandingkan dan memperlombakan berbagai cabang olahraga, PON juga bertujuan sebagai ajang latihan. Khususnya apabila Indonesia mendapat giliran menjadi tuan rumah olimpiade.
Di sisi lain, penyelenggaraan PON juga dimaksudkan untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, menjaring bibit atlet potensial, dan meningkatkan prestasi olahraga nasional menuju pentas internasional.
Kali pertama diselenggarakan di Surakarta pada 1948 dengan nama Pekan Olahraga Perserikatan, PON merupakan bentuk perlawanan moral terhadap penjajahan Belanda yang masih ingin mencengkeram Indonesia. Seiring berjalannya waktu, PON berkembang dan menjadi ajang olahraga nasional yang lebih besar.
Melihat kinerja penyelenggaraan PON, tujuan awal sebagai event latihan penyelenggaraan olimpiade jauh panggang dari api. Indonesia memang pernah sukses menjadi tuan rumah Asian Games 1962 dan 2008. Namun, penyelenggaraan PON (Aceh-Sumut) sangat carut-marut.
Berbagai praktik kecurangan
Selain itu, yang terjadi saat ini, PON lebih mempertontonkan praktik kecurangan. Apalagi sampai kekerasan yang bisa berakibat rusaknya rasa persaudaraan. Mirisnya, praktik bajak-membajak atlet daerah lain kerap terjadi. Semuanya demi gengsi perolehan medali emas dan juara umum bagi kontingen tertentu.
Sekilas fenomena ini seperti hal yang lazim, sebagaimana transfer pemain sepak bola dari klub satu ke klub lain. Namun, jika menelisik lebih detail, praktik bajak-membajak hingga terjadi sengketa perebutan atlet adalah untuk target medali emas dan juara umum PON.
Seorang kawan yang menjadi pengurus salah satu cabang olahraga curhat. Dia mengaku target medali emas harus tercapai. Tujuannya supaya anggaran pembinaan dari pemerintah daerah bisa bertambah di tahun-tahun mendatang seiring prestasi. Tentu saja atlet yang direkrut dari daerah lain harus berprestasi, menjanjikan perolehan medali, terutama emas.
Atlet kelas dunia
Tujuan mencari bibit-bibit atlet muda juga terbantahkan dalam penyelenggaraan PON. Padahal pesta olahraga ini sejatinya menjadi ajang pencarian dan mempersiapkan atlet-atlet yang akan mewakili Indonesia di ajang internasional.
Eko Yuli Irawan, atlet angkat besi asal Lampung yang saat ini memperkuat Jawa Timur menjadi contoh. Eko Yuli, yang memiliki kualitas persaingan kelas dunia dan beberapa kali menyabet medali di olimpiade, masih turun di PON XXI Aceh-Sumut. Semuanya hanya demi memuaskan hasrat medali emas bagi Provinsi Jawa Timur maupun dirinya pribadi.
Eko Yuli bukan satu-satunya. Rizky Juniansyah, sang peraih medali emas Olimpiade Paris 2024 di cabang angkat besi juga turun di PON XXI Aceh-Sumut mewakili Provinsi Banten.
Lalu ada Nurul Akmal (Angkat Besi-Aceh), Veddriq Leonardo (Panjat Tebing-Kalimantan Barat), hingga Megawati Hangestri (Bola Voli Indoor-Jawa Timur). Masih banyak atlet-atlet lain yang berstatus profesional di berbagai cabang olahraga.
Kita tahu bahwa salah satu tujuan PON adalah mencari atlet muda dengan target pembinaan. Kalau begitu, alangkah bijaknya jika para pengurus di seluruh daerah mengoptimalkan dan memaksimalkan potensi atlet muda asal daerahnya.
Para atlet senior seharusnya membantu persiapan atlet muda demi prestasi di kancah internasional. Biarkan atlet-atlet yang sudah profesional dan memiliki prestasi dunia fokus bersaing dengan atlet-atlet luar negeri. Jangan lagi bertanding atau berlomba di level PON!
Kejuaraan nasional dan daerah
Kemelencengan-kemelencengan tujuan penyelenggaraan ini perlu menjadi kajian. Khususnya bagi pemerintah dan pemangku kebijakan olahraga tanah air. Misalnya, tidak lagi menyelenggarakan PON di masa mendatang. Banyak cara dan upaya untuk mengembalikan ke tujuan semula mencari bibit-bibit atlet muda di Indonesia.
Untuk melahirkan atlet-atlet yang berbakat dan berprestasi, semua cabang olahraga wajib menyelenggarakan kejuaraan tingkat nasional hingga daerah. Semuanya wajib mempertandingkan atau memperlombakan semua kelompok umur.
Jika perlu, pemerintah bisa menggelar acara ini setiap setahun sekali. Tujuannya supaya regenerasi atlet Indonesia berjalan baik dan menghasilkan output yang berkualitas. Ingat, penyelenggaraan pesta olahraga bangsa-bangsa Asia Tenggara (SEA Games) digelar setiap dua tahun sekali.
Secara pembiayaan, mungkin “lebih murah” dibanding menyelenggarakan PON setiap empat tahun sekali. Untuk menyukseskan perhelatan PON Aceh-Sumut, pemerintah menggelontorkan dana Rp811 miliar. Ini untuk pembangunan dan renovasi sejumlah infrastruktur. Ada lagi sekitar Rp516 miliar untuk kepentingan pertandingan.
Ini bakal menjadi pengeluaran yang sia-sia jika kita berkaca pada venue-venue PON sebelumnya di Kalimantan Timur, Riau, dan Papua. Usai penyelenggaraan PON, sarana dan prasarana mahal itu mangkrak tidak terurus. Muncul guyonan yang menyebut bangunan bekas PON menjadi “candi” atau “rumah hantu”.
Hiperrealitas PON
Dalam masyarakat postmodern, hiperrealitas menjadikan interaksi dalam kehidupan masyarakat bercampur-aduk, saling tumpang tindih dan menciptakan masyarakat konsumtif. Jean Baudrillard menyebut hiperrealitas telah mengalahkan realitas yang riil dan menjadi model acuan baru bagi masyarakat.
Citra dinilai lebih nyata dan meyakinkan dibanding dengan fakta. Hiperrealitas bahkan menjadi penentu bagi eksistensi masyarakat di masa kini.
Dalam teori Baudrillard ini, penyelenggaraan PON seolah menjadi hiperrealitas yang sempurna. Penyelenggaraan adalah representasi simulasi yang bersifat ilusi dan fantasi. Penyelenggaraan PON disulap sebagai model hiperrealitas menarik masyarakat untuk merasakan kegembiraan dan kebahagian yang sifatnya semu melalui kemenangan, pembangunan infrastruktur, perolehan medali dan juara umum.
Media turut berperan membuat masyarakat melupakan realitas sesungguhnya. Pemberitaan berupa pencitraan yang berulang-ulang pada akhirnya membentuk komunikasi massa dan diterima serta diakui masyarakat sebagai realitas yang asli. Jadi, masihkah kita perlu PON?
Penulis: Rosnindar Prio Eko Rahardjo
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jika Belum Paham Angkat Besi, Mending Nonton Weightlifting Fairy: Kim Bok-joo. Nggak Usah Ngatain Nurul Akmal dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.