[MOJOK.CO] “Termasuk berjasa meningkatkan skill saya dalam cuci-mencuci baju dan memijit.”
Esai “balas dendam” Kiai Faizi yang ditayangkan Mojok kemarin mengingatkan saya perihal betapa berjasanya beliau ini dalam kehidupan spiritual saya dan perjalanan kepenulisan saya.
Ada dua poin yang ia sitir dalam esainya tentang saya: pertama, ketika saya “berantem biodata” sama K. Usman (itu beneran terjadi, redaktur K. Usman kala itu tak memuat cerpen saya, malah ngirim balik biodatanya dengan lebih panjang, hasyuh…); kedua, ketika saya ngirim cerpen yang panjangnya puluhan baris dalam satu paragraf. Jadi, kalau panjang cerpennya lima halaman, ya lima halaman jadi satu paragraf gitu. Itu bukan genre cerpen eksperimental, tapi ya bego aja. Sedihnya, sebagai guru menulis, K. Faizi ini membiarkan saya sebanyak itu melakukan kebegoan. Maka, ehem, jika murid adalah cermin guru, siapa yang bego murakab sebenarnya? Bhaaa….
Ya, ya, K. Faizi tak mengungkapkan semua fakta yang benar-benar terjadi masa itu. Tugas saya untuk melengkapinya: demi meluruskan sejarah.
Pertama, dari K. Faizi-lah saya tahu untuk pertama kalinya bahwa dengan menulis kita bisa mendapatkan honorarium. Oh, ada duitnya ternyata! Dia menukas, “Ya iyalah, mana ada orang nulis bisa awet tanpa honor, kamu kira itu semua gotong royong?”
Saya diam, menyimak saja, meski kesal. Sumpah, akutu kezel dengarnya, sebenarnya. Namanya orang nggak tahu, mbok ya jangan diledekin.
Dari dia pulalah saya lalu tahu bahwa honor terbanyak ada pada cerpen. Puisi kecil. Resensi juga. Yang besar cuma dua: artikel dan cerpen.
Saya pun milih cerpen. Mulailah menulis. Dan mesin ketik pertama-tama yang saya pakai menulis cerpen ialah punya K. Faizi. Kalau ndak salah ingat mereknya Big Brother. Bukan Brother doang. Sebab, katanya, karena mesin ketiknya besar banget. Maling jika sendirian takkan kuat mengangkatnya karena mesin ketik itu dirantai ke meja agar aman.
Dan, tahukah Anda, untuk memuluskan transaksi pinjam ngetik itu, saya membayarnya dengan bikin kopi, nyuciin bajunya (kecuali sempaknya, ya, bukan karena saya ndak mau, tapi semata karena beliau ndak pernah sempakan), dan tentu saja layaknya santri umum: mijitin. Begitulah, Abah, Ibu, anakmu ini dulunya diperlakukan Kiai Faizi di Jogja.
Cerpen pertama saya judulnya “Den Bagus”, dimuat di koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Maret 1996. Waw! Orang yang paling berjasa yang saya tunjukin koran tersebut siapa lagi jika bukan beliaunya.
Bagaimana responsnya?
Ini sebuah rahasia yang tak kalah pedihnya untuk dikenang. Baiklah, saya kuak saja. Dari jalan raya seberang Losmen Hantu—tempat beliau bernaung—saya setengah berlari sembari menenteng koran tersebut.
“Cerpenku dimuat!”
“Oh ya….” Suaranya kecil dan pendek saja. Lalu ia timang koran itu, dibuka-buka, dilihatnya cerpen saya mejeng. Manggut-manggut.
Saya sungguh berharap saat itu beliau akan berkata: “Selamat, selamat, selamat, keren, keren, keren, ikut senang saya, ikut senang saya, ikut senang saya…” layaknya teman jaman now jika ada teman fesbuk posting pemuatan karyanya.
Tapi, apa coba yang terjadi?
“Itu ada mi ayam di depan kos….”
“Maksudnya?”
“Ya beliin.”
Saya mengangguk. Usai menyantap mi ayam traktiran itu, beliau masuk kamar, lalu memanggil saya.
“Ed, tadi pagi aku rendam cucian, belum dibilas. Kalau ndak capek, abis itu pijitin ya….”
“Iya…,” sahut saya kecil. Begitu lagi, begitu lagi.
Saya heran: kenapa beliau ndak ada ekspresi senang atau excited sama sekali ya sama pemuatan karya perdana saya? Apakah beliau iri sama pencapaian ini? Ataukah itu hanya cara dia mendidik saya supaya saya ndak takabur saja?
Entahlah. Tapi, ia tetaplah guru saya, selalu saya kabari setiap ada karya saya yang kemudian dimuat bertubi-tubi di pelbagai media.
Kedua, tentang “perang biodata” dengan K. Usman itu saya ceritakan panjang lebar kepada Kiai Faizi. Beliau terbahak. Kacau, kacau, sahutnya. Sudah. Hingga di tahun 2017 ini, ya baru saja, saya mendapatkan email dari beliau, K. Usman. Dilengkapi kiriman naskah untuk Basabasi.
Saya spontan ngekek teringat kejadian puluhan tahun silam. Lalu, jelas, saya ceritakan kepada Kiai Faizi tatkala bersua dengannya di Rubaru beberapa waktu lalu.
“Diterbitkan jadinya?” tanyanya.
“Nggak.”
“Wah, jangan dendam gitulah, ndak baik.” Ia terkekeh, tetapi disertai muatan tausiah yang saya tangkap dengan baik.
“Bukan tentang dendam,” sahut saya, “cuma memang udah nggak zamannya gaya cerpen begituan.”
“Jelek, ya?”
“Bukan, bukan tentang jelek bagus. Tapi, gaya berkisahnya memang udah jadul, lawas, beda jauh dengan gaya cerpen anak-anak kekinian. Jadi, ya sudah out of date….”
“Wah, ngeri ya jika begitu pertimbangamu.”
“Ya, gimana lagi. Seorang Faizi L. Kaelan pun jika mengirimkan cerpen ke saya kini dengan gaya jadul begitu, ya saya tolak.”
Ia ngakak.
Dunia sungguh jenaka, hidup ini sungguh jenaka, maka santai sajalah, begitu kata judul sebuah buku. Hikayat lawas para penulis jadul, genereasi teklek dan mi ayam itu, memang riil adanya. Zaman terus berubah, hidup terus berotasi.
Kendati beliau adalah orang yang paling berjasa dalam perjalanan kepenulisan saya, tetap saja saya pernah menolak menayangkan esai-esainya. Persis, persis kelakuan Cik Prima yang beberapa kali menolak esai saya.
Asemnan!
Kiai Faizi mungkin kini sedang ngedumel demikian. Serahlah, serahlah, Pak Kiai, pokoknya aku tetap muridmu, yes….